Aku setengah berlari melewati lorong ini. Tampak gelap dan
mataku tak dapat menangkap satu cahaya pun. Kapan kiranya aku sampai di ujung
lorong ini, taka da yang tahu. Peluh dan keringatku sudah membasahi bajuku.
Sampai kapan, sampai kapan teriakku dalam hati. Bahkan bibirku pun sudah tak
sanggup teriak. Napasku semakin memburu seiring percepatan kakiku yang berlari.
“Hilda…” suara itu membuatku berhenti berlari. Suara yang
menyebut namaku lalu diiringi sesenggukan tangis.
Aku menoleh ke kanan, ke kiri bahkan ke belakang namun tak
kujumpai satu orangpun.
“Hilda…” suara yang begitu jelas, aku mengenalnya. Tapi
otakku tak dapat berpikir itu suara siapa. Hanya saja aku merasa suara itu
akrab di telingaku.
Siapakah…dimanakah…namun hanya hatiku yang berbicara. Mulutku
masih kaku dan tidak mau mengeluarkan sepatah kata pun.
“Hilda…bangun sayang…” suara itu kembali muncul.
Jantungku berdegup kencang. Bulu kudukku pun merinding.
Pikiranku tak hentinya mencoba mengenali suara siapakah tadi.
“Hilda..” lagi-lagi sura itu seolah bergema di lorong nan
gelap ini.
Siapa, mulutku bisa terbuka namun untuk mengucapkan sesuatu
sepertinya begitu berat dan susah. Ya Tuhan, di manakah ini, suara siapakah
itu.
“Hilda…”
===
Dua hari yang lalu.
Kupu-kupu itu hinggap di sebuah bunga. Kupu-kupu yang begitu
cantik. Aku ingat sekali Bram suka sengan kupu-kupu. Meskipun laki-laki,
sahabatku satu itu memang melankolis dan suka sesuatu yang berbau wanita.
Seperti warna merah muda. Andai saja ibunya tidak melarangnya untuk mengenakan
pakaian wanita serta berhias, mungkin dirinya sudah menjadi waria nomer satu di
desa ini. Ya di desa yang jauh dari keramaian kota, desa Rumpun Sunyi. Seperti
namanya desa ini hanya dihuni oleh empat kepala keluarga, dan belum ada listrik
yang masuk daerah kami. Kami terisolir dikarenakan letak desa kami yang berada
di satu pulau terpencil. Jika engkau melihat peta, jangankan titik hitam, desa
kami bahkan diwarnai warna biru, yaitu laut. Karena kecilnya desa kami, dan
karena desa ini memang tidak menarik.
Lalu bagaimana bisa hanya ada empat kepala keluarga di sini.
Sebenarnya cukup panjang untuk diceritakan. Singkatnya, ayah ibu kami adalah
penumpang kapal yang mengalami kecelakaan di tengah lautan yang luas. Ayah ibu
kami terus saja berenang hingga akhirnya menemukan daratan. Ya, disinilah
mereka yang berdelapan yaitu empat perempuan dan empat laki-laki ini akhirnya
bertemu. Berhari hari terdampar dan makan seadanya kami berusaha mencari cara
untuk meminta pertolongan. Namun malang nian, sampai dengan minggu kesekian,
tak lagi dijumpainya kapal melintasi kawasan dekat daratan tempat mereka
berada.
Dengan sistem undian, akhirnya mereka menentukan pasangan
masing-masing. Tentu saja mereka tidak mau menua tanpa harapan, tanpa memiliki keturunan yang
kelak bisa meneruskan cerita mereka yang begitu hebatnya bertahan di kawasan
yang jauh dari peradaban.
Dari pernikahan seadanya itu dua dari empat keluargalah yang
dipercaya Tuhan untuk mempunyai keturunan. Yaitu ayah dan ibuku, serta ayah dan
ibu dari Bram. Umur kami pun tidak terpaut jauh, Bram lebih muda empat bulan dariku. Tentu
saja kamilah harapan mereka. Harapan orang-orang yang terdampar dua puluh tahun
yang lalu.
“Bram, apa kau berpikir kita akan menikah?” tanyaku saat
berdua bersama Bram seraya menikmati hamparan laut tanpa tepi. Tentu saja aku
tidak melebih lebihkan suasana, kenyataannya aku tak tahu sampai mana tepian
laut yang biru ini. Aku belum pernah kemana-mana. Aku belum tahu apapun tentang
isi dunia ini, kecuali wilayah kecil ini. Wilayah yang hanya ditinggali empat
keluarga.
Bram menggeleng pelan, “Aku tidak mau menikah denganmu
Hilda. Aku tidak cinta denganmu”. Rasanya aku ingin tertawa mendengar ucapan
Bram. Namun aku tahan tawaku karena melihat mimik serius di wajahnya yang
polos. Bicara soal cinta, entah darimana Bram mendapat kosakata itu. Hal yang
asing bagiku, sama asingnya dengan dunia di luaran pulau kami.
“Lalu?” pancingku. Jelas aku ingin tahu apa yang dipikirkan
lelaki satu ini.
“Hilda, jangan mencariku esok hari ya” kata Bram.
“Memangnya kenapa? Toh selama ini kita bermain bersama-sama”
Bram menghela napas panjang, “Aku akan berenang ke pulau
sebelah. Aku mau mencari cinta”
Aku tak bisa lagi menahan tawaku akhirnya tawa terbahak
keluar dari mulutku. Kulihat wajah Bram pucat pasi menatapku.
“Aku tidak bercanda , aku akan mencari cinta” kata Bram
membuatku menghentikan tawaku.
“Baiklah jika esok hari aku tidak menemukanmu, aku akan
mencarimu di lautan” ucapku seraya pergi meninggalkannya.
====
Satu hari yang lalu.
Aku mencari Bram, tapi aku tidak menemukannya. Esok adalah
hari pernikahan kami. Tapi Bram malah menghilang begitu saja. Bahkan dia tidak
berpamitan padaku akan kemana.
Tunggu…sepertinya kemarin dia bilang kalau akan mencari
cintanya di pulau sebelah. Pulau sebelah? Bukankah tidak ada pulau terdekat di
sekitar sini. Atau mungkin dia sedang berenang di lautan. Aku akan menyusulnya.
Segera. Aku akan menyusul Bram. Jangan sampai dia menemukan cintanya, karena
aku sudah terlanjur menyayangi Bram. Mungkin juga diriku telah mencintai
dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar