Senin, 25 September 2017

Mencari Cinta




Aku setengah berlari melewati lorong ini. Tampak gelap dan mataku tak dapat menangkap satu cahaya pun. Kapan kiranya aku sampai di ujung lorong ini, taka da yang tahu. Peluh dan keringatku sudah membasahi bajuku. Sampai kapan, sampai kapan teriakku dalam hati. Bahkan bibirku pun sudah tak sanggup teriak. Napasku semakin memburu seiring percepatan kakiku yang berlari.

“Hilda…” suara itu membuatku berhenti berlari. Suara yang menyebut namaku lalu diiringi sesenggukan tangis.
Aku menoleh ke kanan, ke kiri bahkan ke belakang namun tak kujumpai satu orangpun.
“Hilda…” suara yang begitu jelas, aku mengenalnya. Tapi otakku tak dapat berpikir itu suara siapa. Hanya saja aku merasa suara itu akrab di telingaku.
Siapakah…dimanakah…namun hanya hatiku yang berbicara. Mulutku masih kaku dan tidak mau mengeluarkan sepatah kata pun.
“Hilda…bangun sayang…” suara itu kembali muncul.
Jantungku berdegup kencang. Bulu kudukku pun merinding. Pikiranku tak hentinya mencoba mengenali suara siapakah tadi.
“Hilda..” lagi-lagi sura itu seolah bergema di lorong nan gelap ini.
Siapa, mulutku bisa terbuka namun untuk mengucapkan sesuatu sepertinya begitu berat dan susah. Ya Tuhan, di manakah ini, suara siapakah itu.
“Hilda…”
===

Dua hari yang lalu.

Kupu-kupu itu hinggap di sebuah bunga. Kupu-kupu yang begitu cantik. Aku ingat sekali Bram suka sengan kupu-kupu. Meskipun laki-laki, sahabatku satu itu memang melankolis dan suka sesuatu yang berbau wanita. Seperti warna merah muda. Andai saja ibunya tidak melarangnya untuk mengenakan pakaian wanita serta berhias, mungkin dirinya sudah menjadi waria nomer satu di desa ini. Ya di desa yang jauh dari keramaian kota, desa Rumpun Sunyi. Seperti namanya desa ini hanya dihuni oleh empat kepala keluarga, dan belum ada listrik yang masuk daerah kami. Kami terisolir dikarenakan letak desa kami yang berada di satu pulau terpencil. Jika engkau melihat peta, jangankan titik hitam, desa kami bahkan diwarnai warna biru, yaitu laut. Karena kecilnya desa kami, dan karena desa ini memang tidak menarik.

Lalu bagaimana bisa hanya ada empat kepala keluarga di sini. Sebenarnya cukup panjang untuk diceritakan. Singkatnya, ayah ibu kami adalah penumpang kapal yang mengalami kecelakaan di tengah lautan yang luas. Ayah ibu kami terus saja berenang hingga akhirnya menemukan daratan. Ya, disinilah mereka yang berdelapan yaitu empat perempuan dan empat laki-laki ini akhirnya bertemu. Berhari hari terdampar dan makan seadanya kami berusaha mencari cara untuk meminta pertolongan. Namun malang nian, sampai dengan minggu kesekian, tak lagi dijumpainya kapal melintasi kawasan dekat daratan tempat mereka berada.

Dengan sistem undian, akhirnya mereka menentukan pasangan masing-masing. Tentu saja mereka tidak mau menua  tanpa harapan, tanpa memiliki keturunan yang kelak bisa meneruskan cerita mereka yang begitu hebatnya bertahan di kawasan yang jauh dari peradaban.

Dari pernikahan seadanya itu dua dari empat keluargalah yang dipercaya Tuhan untuk mempunyai keturunan. Yaitu ayah dan ibuku, serta ayah dan ibu dari Bram. Umur kami pun tidak terpaut jauh,  Bram lebih muda empat bulan dariku. Tentu saja kamilah harapan mereka. Harapan orang-orang yang terdampar dua puluh tahun yang lalu.

“Bram, apa kau berpikir kita akan menikah?” tanyaku saat berdua bersama Bram seraya menikmati hamparan laut tanpa tepi. Tentu saja aku tidak melebih lebihkan suasana, kenyataannya aku tak tahu sampai mana tepian laut yang biru ini. Aku belum pernah kemana-mana. Aku belum tahu apapun tentang isi dunia ini, kecuali wilayah kecil ini. Wilayah yang hanya ditinggali empat keluarga.


Bram menggeleng pelan, “Aku tidak mau menikah denganmu Hilda. Aku tidak cinta denganmu”. Rasanya aku ingin tertawa mendengar ucapan Bram. Namun aku tahan tawaku karena melihat mimik serius di wajahnya yang polos. Bicara soal cinta, entah darimana Bram mendapat kosakata itu. Hal yang asing bagiku, sama asingnya dengan dunia di luaran pulau kami.

“Lalu?” pancingku. Jelas aku ingin tahu apa yang dipikirkan lelaki satu ini.
“Hilda, jangan mencariku esok hari ya” kata Bram.
“Memangnya kenapa? Toh selama ini kita bermain bersama-sama”
Bram menghela napas panjang, “Aku akan berenang ke pulau sebelah. Aku mau mencari cinta”
Aku tak bisa lagi menahan tawaku akhirnya tawa terbahak keluar dari mulutku. Kulihat wajah Bram pucat pasi menatapku.
“Aku tidak bercanda , aku akan mencari cinta” kata Bram membuatku menghentikan tawaku.
“Baiklah jika esok hari aku tidak menemukanmu, aku akan mencarimu di lautan” ucapku seraya pergi meninggalkannya.
====

Satu hari yang lalu.

Aku mencari Bram, tapi aku tidak menemukannya. Esok adalah hari pernikahan kami. Tapi Bram malah menghilang begitu saja. Bahkan dia tidak berpamitan padaku akan kemana.

Tunggu…sepertinya kemarin dia bilang kalau akan mencari cintanya di pulau sebelah. Pulau sebelah? Bukankah tidak ada pulau terdekat di sekitar sini. Atau mungkin dia sedang berenang di lautan. Aku akan menyusulnya. Segera. Aku akan menyusul Bram. Jangan sampai dia menemukan cintanya, karena aku sudah terlanjur menyayangi Bram. Mungkin juga diriku telah mencintai dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar