Senin, 28 Maret 2011

Kerinduanku karena Dukaku


Betapa hatiku sangat kacau. Dan yang kuingat saat kepedihan ini kurasakan hanya dirimu.
Betapa diriku sangat terluka. Dan yang ingin kudengar adalah suaramu.
Betapa diriku ini tak berdaya. Dan yang kuingin adalah bertemu denganmu.

Saat airmata ini tak ada harganya di depan mereka. Aku sangat merindukan pelukanmu.
Saat luka ini adalah kebahagiaan mereka. Aku sangat merindukan tatapan teduhmu.
Saat sedih ini tertawaan bagi mereka. Aku semakin rindu kehadiranmu.

Tapi yang bisa kulakukan hanya menangis.
Bercerita pada-Nya tanpa bisa berteduh di manapun.
Aku tak punya apapun.

Dalam bahagia, selalu kuingiin kau turut rasakan bahagiaku.
Saat sedih aku tak ingin kau turut bersedih.
Namun hatiku dan hatimu telah terpaut, dan kau pun merasakannya.

Airmata ini sudah tak ada artinya.
Kesedihan ini menusuk hatiku yang rapuh.
Tak ada yang peduli.

Aku merindukanmu , sangat rindu….
Mungkin kau kerap merasakannya.
Ketika tiap malam aku selalu bersujud pada-Nya untuk menegarkan hatiku.

Ibu….
Aku sayang pada Ibu.
Mereka takkan pernah mengerti dan terus menyakiti.
Dan airmata ini menjadi sia-sia.

Ibu…
Tiap detik aku merindukanmu.
Ketika hatiku semakin tak menentu.
Aku ingin mencium kedua tanganmu, bersimpuh di hadapanmu.
Aku ingin rasakan teduhnya tatapanmu.
Aku ingin rasakan tulusnya kasihmu.

Aku sangat merindukanmu.
Tiap kali kusebut dirimu di doaku.
Aku juga tak ingin menangis lagi.
Aku tak ingin terluka.

Ibu, maafkan anakmu ini.
Aku terlalu lemah.
Aku hanya bisa menangis.
Aku yang kerap terluka.
Aku mencintaimu.

Aku ingin pulang, aku ingin bertemu denganmu.
Melepas semua kepedihan jiwa.
Melepas semua amarah.
Menghapus segala airmata.
Aku sangat rindu denganmu.


Jakarta, 12 Maret 2011
Ananda Eka

FATAMORGANA KASIH


Kau tegarkan aku saat diriku terjatuh.
Dirimu…
Satu-satunya orang yang percaya padaku saat orang lain tak percaya.
Satu-satunya orang yang mampu membuatku tenang ketika aku menangis.
Satu-satunya orang yang bersedia menanggung sakitku ketika aku jatuh sakit.
Satu-satunya orang yang tak pernah lelah mendengar ceritaku.
Satu-satunya orang yang mampu membuatku bertahan.
Satu-satunya orang yang sangat kucintai dan mencintaiku.
Satu-satunya orang yang memiliki kasih tak terbatas padaku.
Satu-satunya orang yang selalu ingin kulihat tersenyum.
Satu-satunya orang yang kurindu dan selalu merindukanku.

Namun apa yang aku lakukan saat kau menangis.
Bahkan aku tak mampu memelukmu, menegarkanmu, atau membuatmu tersenyum.
Namun apa yang aku lakukan saat kau sakit.
Bahkan aku tak berada di sampingmu, mengabaikanmu.
Namun apa yang aku lakukan saat kau terjatuh.
Bahkan aku jauh darimu.
Tapi ini bukan kemauanku.
Aku ingin selalu di sampingmu, menegarkanmu, melihatmu tersenyum bahagia.
Aku ingin meringankan bebanmu, membantumu dan selalu ada saat kau butuh.
Aku ingin selalu mencintaimu, memelukmu, mencium kedua pipimu.

Aku mendoakan agar dirimu sehat selalu.
Aku selalu meminta pada Tuhan agar menyayangimu.
Aku tak ingin melihatmu menangis, melihatmu berduka, melihatmu kecewa.
Aku tak ingin melukaimu, menyakitimu bahkan mengabaikanmu.
Seandainya saja mampu kuberikan seluruh perhatianku padamu.
Tapi kenyataan ini terlalu egois.
Aku masih terkurung atas penjara keegoisan.
Di mana kasih sayang mungkin tiada berharga.
Di mana rasa cinta adalah hanya ucapan semata.
Di mana tiap janji selalu diingkari.
Di mana tiap senyum adalah luka bagi jiwa yang lain.

Bukankah membuat orang lain bahagia adalah pahala.
Bukankah melihat senyum orang lain adalah anugerah.
Bukankah setiap janji harus ditepati.
Tapi itu hanya ada dalam dunia mayaku, dunia yang sempurna.
Dunia yang kau ajarkan sejak aku dalam kandungan.
Sementara ini dunia nyata yang terlalu egois.
Dunia yang penuh fatamorgana keindahan.
Dunia yang terlalu sering membuatku meneteskan airmata.
Dunia yang terlalu sering membuatku terluka dan kecewa.

Di mana kesempurnaan sebuah kasih.
Untaian ketulusan jiwa yang tiada berakhir.
Apakah itu hanyalah mimpi bagiku.
Mimpi bagi jiwa-jiwa yang polos.
Mimpi bagi jiwa-jiwa yang lugu.
Dan rasa sakit bagi jiwa-jiwa yang rapuh.

Ibu….
Aku teriakkan kesalku atas fatamorgana kasih ini.
Namun teriakan itu hanya mampu terdengar oleh batinku.
Mungkin semua jiwa telah mengabaikan ketulusan kasih.
Mungkin semua jiwa sibuk mencari kebahagiaan masing-masing.
Mungkin semua jiwa tak ingin melihat kebahagiaan orang lain.
Mungkin semua jiwa telah menggilai dunia nyata.

Ibu…
Bukankah selalu kau katakan dunia ini hanya sementara.
Tempat berteduh yang kelak diminta pertanggung jawaban.
Lalu mengapa banyak jiwa yang terlena.
Terlalu banyak janji yang diingkari.
Terlalu banyak jiwa yang saling menyakiti.
Hingga aku hidup di dalam dunia penuh keegoisan.

Ibu…
Maafkan anandamu ini yang tidak disampingmu saat kau berduka.
Bahkan aku tak bisa melihat airmatamu.
Jauh dalam hatiku selalu mencintaimu, Bu.
Jauh dalam jiwaku merindukanmu, Bu.
Jangan menangis Ibu.
Maafkan ananda yang belum bisa pulang.
Salam sayang selalu untukmu.


Jakarta, 13 Maret 2011
Ananda Eka Sulistiyowati
Teruntuk Ibu di Surabaya

Pelabuhan Cinta


Kupandangi paras suamiku yang tampak berseri, “Abi, terlihat bahagia sekali”
Suamiku mencolek pipiku seraya tersenyum, “Umi, coba bayangkan bagaimana hiruk pikuknya kiamat”
“Masya Allah, semoga kita bukanlah termasuk umat akhir yang merasakan kiamat dalam kondisi masih bernyawa”
“Amin…”
“Memangnya kenapa Bi, tiba-tiba bicara kiamat?”
“Tadi ada pengajian di kantor, temanya musibah yang melanda dunia”
“Termasuk yang melanda Negara-negara islam Bi? Sungguh miris mendengar kabar Irak, Libya dan Mesir dalam kondisi seperti ini. Kerusuhan dan peperangan terjadi di Negara-negara islam”
“Iya betul”
Sejenak suamiku merenung. Tatapannya tertuju pada buah hati kami yang sedang berada pada pangkuanku. Muhammad Ibrahim adalah putra pertama kami, usianya baru tiga bulan. Kini ia tengah tertidur di pangkuanku. Terasa damai melihat paras lucunya.
“Bagaimana jika nanti Indonesia kelak merasakan hal yang sama seperti Negara-negara itu?”
Kata-kata suamiku seperti pisau yang ditusukkan ke dada. Perih dan luka. Bukan hal yang mustahil semua itu terjadi. Dan apa yang kelak dialami Muhammad Ibrahim, mujahid kecilku ini.
Tidak ada suatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah dan barangsiapa beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS At Taghabun : 11)” ucap suamiku
“Subhanallah, keimanankah yang akan menyelamatkan kita Bi?”
“Betul Mi. apa Umi ingat cerita tentang tujuh orang pemuda yang disebutkan dalam surat Al Kahfi. Ashabul kahfi yang bersembunyi di gua demi menyelamatkan iman ternyata ditidurkan oleh Allah selama tiga ratus sembilan tahun”
Tiba-tiba aku teringat akan doaku ketika belum juga dipertemukan dengan lelaki di hadapanku ini. Ketika segala harapanku menipis. Ketika airmata menjadi teman di setiap hariku.

Ya Rabb, berilah aku imam yang memiliki iman dan islam, shidiq amanah fatonah, yang mencintai-Mu lebih dari segalanya, yang mencintai dan menyayangi hamba serta keluarga hamba serta yang selalu menemani hamba

“Coba Umi pikirkan berapa lama kita diberi kesempatan hidup di dunia ini?” tanya suamiku.
“Hanya sebentar saja Bi”
Allah bertanya, “ Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” mereka menjawab, “ Kami tinggal di bumi sehari atau setengah hari, maka tanyalah pada orang yang menghitung”. Allah berfirman, “Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui” (QS Al Mu’minun :112-114)” sahut suamiku.
Subhanallah, jika hanya setengah hari mengapa manusia sering melalaikannya. Bahkan cenderung menuruti hawa nafsu”
Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan hawa nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah matinya. Dan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan banyak kepada Allah (HR Tirmidzi)
” sahut suamiku.
“Masya Allah, semoga kita termasuk orang-orang yang tidak lalai akan tugas dan kewajiban. Sebagai khalifah dan sebagai hamba Allah. Tugas kita adalah beribadah pada-Nya” kataku.
“Pembahasan saat pengajian tadi adalah tentang kiamat. Kiamat kubra…”

Apabila matahari digulung dan apabila bintang-bintang berjatuhan. Dan apabila gunung-gunung dihancurkan. Dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan. Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan. Dan apabila lautan dipanaskan. Dan apabila roh-roh dipertemukan (dengan tubuh). Dan apabila bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup ditanya karena dosa apa mereka dibunuh. Dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka. Dan apabila langit dilenyapkan. Dan apabila neraka jahim dinyalakan. Dan apabila surga didekatkan, maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya (QS At Takwir : 1-14)

Apabila langit terbelah dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan. Dan apabila lautan dijadikan meluap. Dan apabila kuburan-kuburan dibongkar, maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang dikerjakan dan yang dilalaikannya (QS Al Infithar : 1-5)


Hatiku bergetar saat suamiku membacakan ayat Allah tentang terjadinya kiamat. Sungguh Allah telah menerangkan dalam Al Qur’an betapa dahsyatnya kiamat. Dan tiada yang dapat menolong tiap-tiap jiwa melainkan dirinya sendiri. Seoarang ibu mungkin lupa pada suami dan anaknya, begitu pula sebaliknya. Semua disibukkan oleh urusan masing-masing. Semua berharap mendapat catatan amal dengan tangan kanan. Semua berharap mendapat rahmat dan ridha-Nya untuk bisa memasuki surga Allah.
Tidaklah bergeser telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga mereka ditanya tentang 5 perkara: tentang usianya untuk apa dia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya darimana dia peroleh dan dalam hal apa ia infakkan serta tentang ilmunya apa yang telah dia amalkan (HR Tirmidzi Ad Darami dari Ibnu Mas’ud)” lanjut suamiku.
“Umi, semoga kita dan keluarga kita termasuk orang-orang yang mendapat ridha dari-Nya” kata suamiku seraya menatapku.
“Amin”
“Karena terkadang ada hal yang diluar batas kemampuan kita. Masih ingatkah akan kekafiran yang ada pada isteri dan anak Nabi Nuh Alaihi salam. Masih ingatkan akan kekafiran ayah Nabi Ibrahim Alaihi salam. Masih ingatkah akan kekafiran paman Nabi Muhammad SAW yaitu Abu Thalib”
Kurasakan semangat juang dan jihad pada paras suamiku. Ada rasa syukur yang mendalam karena Allah benar-benar telah memberiku seorang imam yang amanah.
Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-oarang yang bertaqwa (QS Al Furqan : 74)” suamiku tampak serius dalam doanya yang kemudian ku-amini.
“Pelabuhan cinta yang sesungguhnya hanyalah pada-Nya, Allah SWT” ucapku.
“Ya, hanya pada-Nya cinta ini pantas dilabuhkan” sahut suamiku seraya mencium pipi putra pertama kami.
“Ana uhibka fillah Bi”
Suamiku tersenyum.

Jakarta. 27 Maret 2011