Syarifah
Bagaikan halilintar tanpa hujan ataupun mendung. Tiba-tiba
saja dirimu pergi dari kehidupanku. Bagaimana aku tidak marah, dirimu selalu
kunantikan di tiap malamku. Bagaimana aku tak sedih, dirimu ternyata lebih
memilihnya untuk mendampingimu. Lalu, dimana rasa cinta yang dulu pernah kau
ungkapkan padaku. apakah karena aku terlalu angkuh untuk mengucapkan cinta
padamu, hingga kau campakkan aku.
Otakku tak bisa berpikir jernih. Masih juga aku bertanya,
apa salahku hingga membuatmu menjauhiku. Apa karena aku wanita yang hebat
hingga tak pantas bersanding denganmu? Tapi hatiku masih merindukanmu.
Bagaimana aku bisa sembunyi dari kepedihan hatiku ini. Hanya di tiap sujud aku
merasa tenang.
Dirimu, mungkin adalah sebagian kisahku. Mungkin suatu nanti
aku akan melupakanmu. Tapi tidak bisa sekarang, aku memerlukan waktu untuk
memenangkan hatiku kembali. Tanpa ada cinta darimu, tanpa ada kisah tentangmu.
“Jadi siapa wanita itu?” tanyaku lewat ponsel.
“Bukan siapa-siapa” jawabmu enteng.
Aku merasa ada banyak hal yang berubah darimu. Sejak nama
itu kerapkali muncul untuk membalas status facebookmu. Sudah sedalam apa
hubungan kalian. Hingga aku, wanita yang pernah kau cintai tiba tiba saja kau
lukai.
“Mas mencintainya?” tanyaku berusaha setegar mungkin untuk
mendengar jawabanmu.
“Aku tak bisa jawab itu Dik” balasmu.
Namun jawabanmu itu semakin menguatkan aku bahwa kau tengah
jatuh cinta padanya. Engkau tengah merajut kasih, atau mungkin juga telah
memutuskan dialah pelabuhan terakhirmu.
“Apa yang salah denganku?” tanyaku memelas. Kali ini
kubiarkan tangisku pecah. Paling tidak mungkin itu terakhir kalinya aku
menelponmu. Mungkin itu adalah terakhir kalinya aku mendengar suaramu.
Kubiarkan tangis sesenggukkan melandaku. Aku bahkan bingung harus berucap apa
lagi. Semua terjadi secara tiba-tiba. Ketika rasa cinta hampir hinggap
dihatiku, kau tiba-tiba ingin melupakanku.
“Tidak ada yang salah dengan Adik” jawabmu tenang.
“Tapi Mas harus janji satu hal”
“Apa itu?”
“Apapun yang terjadi nanti, aku mohon Mas jangan mengganti
nomer ponsel. Supaya nanti aku masih bisa menghubungi Mas” pintaku. Namun
dirimu hanya diam, hening, tanpa jawaban. Mungkin aku tak bisa mengharapkanmu
kembali mencintaiku, mungkin inilah memang saat-saat terakhir kisahku denganmu.
=====
Dua puluh lima tahun
kemudian
Salsabila
Aku terlalu kesal dengan apa yang tengah terjadi. Lelaki yang
sangat aku kagumi ternyata lebih memilih untuk menikahi sahabatku. Sungguh rasanya
hatiku sangat kecewa. Bertahun sudah aku mengenal lelaki santun itu, namun
akhirnya cintanya berlabuh pada seorang Raisya. Memang diantara lelaki itu dan
Raisya tak pernah pacaran, namun hal itu yang membuatku terkejut. Lelaki pujaanku
tiba-tiba melamar Raisya. Anehnya, Raisya yang terkenal tomboy dan cuek
terhadap kaum Adam langsung menerima lamaran lelaki itu.
Kali ini kuhabiskan waktuku dengan menangis di kamar. Biasanya,
aku selalu cerita pada Raisya jika diriku dirundung masalah. Namun untuk kali
ini saja, aku malah terdiam. Aku tak ingin membuat Raisya memikirkan
perasaanku. Walaupun kenyataannya hatiku hancur berkeping-keping. Sungguh, aku
masih merasa ini hanyalah mimpi. Namun, ini adalah kenyataan.
“Salsabila” tegur papiku dari depan kamar.
“Ya Pi….bentar lagi Salsa keluar kamar kok”
“Tapi kamu seharian belum makan. Kalau ada masalah Salsabila
cerita pada Papi”
Aku keluar seraya memeluk tubuh kekar Papiku. Sejak Mami
meninggal karena kanker setahun lalu, aku jadi amat dekat dengan Papi.
“Papi, cowok yang Salsa sukai mau nikah dengan Raisya”
“Raisya sahabat Salsabila, bukan?”
“Iya Pi”
Papi menenangkanku, “Sudahlah, mungkin lelaki itu bukan
jodohnya Salsabila”
“Tapi Pi…rasanya Salsa masih sakit hati. Mengapa mereka
tidak pacaran dulu, mengapa langsung menikah. Jadi kan rasa sakit di hati Salsa
lebih berat saat tahu mereka langsung menikah”
“Kapan mereka menikahnya?”
“Minggu depan Pi”
“Nanti Papi temani Salsabila buat datang ke acara nikahan
Raisya”
“Buat apa Pi? Nanti kalau Salsa menangis bagaimana?”
Papi menatapku seraya tersenyum. Aku tahu senyum itu
dipaksakan, namun aku merasa lebih tenang jika Papi ada di dekatku.
“Papi tahu, Salsa wanita yang tegar kok”
“Mengapa mesti seorang Raisya. Wanita yang begitu sempurna
di hadapan semua orang. Anak yang cantik, pintar dan sholihah”
“Memangnya anak Papi ndak begitu?”
“Aku selalu kalah dibandingkan Raisya Pi” keluhku
Papi memelukku erat, “Apapun kondisinya Papi bangga kepadamu
Salsabila”
Bertahun yang lalu, aku sempat marahan dengan Papi. Betapa tidak,
ternyata Papi menikahi Mami hanya karena Mami telah hamil di luar nikah. Namun kupikir
tak ada salahnya aku menghargai Papi yang masih mau bertanggung jawab atas
kehairanku di rahim Mama. Karena begitu banyak lelaki di luaran sana yang lepas
tanggung jawab terhadap pacarnya yang hamil. Karena itu pula, aku tak pernah
ingin pacaran. Aku takut kejadiannya akan sama sepeti Mami. Aku tak mau itu
terjadi.
=====
Aku pernah mencintai wanita itu, Syarifah Annisa. Wanita yang
kini ada di hadapanku. Rasanya bibirku kelu untuk mengucapkan selamat atas
pernikahan putrinya. Ya, Raisya adalah anak pertama dari Syarifah. Jadi selama
ini aku tak pernah tahu bahwa sahabat Salsabila itu adalah anak dari wanita
yang dulu pernah aku kagumi. Sosok wanita sederhana dan sholihah. Wanita yang
pernah aku tinggalkan dan pernah aku lukai hatinya.
“Syarifah, selamat atas pernikahan putrimu” ucapku.
Kamu memandangku heran. Apakah tampangku sudah melebihi
usiaku yang sebenarnya. Ataukah kamu benar-benar telah menghapus keberadaanku
dalam kehidupanmu.
“Trimakasih. Anda Papinya Salsa? Salsa sahabat Raisya”
“Aku Firmansyah” kataku.
Aku melihat tatapn terkejut dari kedua bola matamu. Aku sengaja
tersenyum untuk menutupi kegetiranku. Kulirik anakku yang mulai menyembunyikan
sedihnya. Seperti inikah perasaan Syarifah saat aku memutuskan untuk
meninggalkannya.
“Maaf, Mas Firman senior SMA-ku?”
“Iya”
“Apa kabar?”
“Alhamdulillah baik”
“Ayah kenalkan ini Papinya Salsa” katamu pada lelaki yang
berdiri gagah disampingmu.
Lelaki itu mengajakku bersalaman.
Aku menghela napas sejenak. Otakku masih belum bisa berpikir
jernih. Semua ini Bagaikan halilintar tanpa hujan ataupun mendung. Bagaimana
aku bisa sembunyi dari rasa sakit di hatiku ini. Apakah hatiku masih mencintai seorang Syarifah?