Kamis, 18 Agustus 2011

Aku dan Mas Agung


Aku sama sekali tidak tahu apa yang kini tengah Mas rasakan. Aku sungguh merindukan kehadiranmu. Apakah salah jika ternyata hatiku telah memilihmu. Apakah salah jika ternyata aku tak bisa melupakanmu. Biasanya tiap malam Mas menanyakan kabarku, menanyakan apa saja yang telah kulakukan seharian. Tapi saat ini Mas tiba-tiba menghilang. Aku tak tahu apa yang Mas pikirkan. Apakah telah ada wanita lain didekat Mas?

Mas, selama delapan tahun sejak pertemuan kita. Jujur aku masih sangat menyayangimu. Meski aku kerap meninggalkanmu, namun hatiku telah berjanji suatu saat nanti akan menemanimu. Mungkin janji ini hanya terucap dalam hati. Saat itu aku tak bisa mengatakan betapa aku sangat ingin mendampingimu. Mungkin mataku telah terpancar rasa sayangku, hingga mereka yang mampu meyakinkan, aku tak bisa tanpamu.

Mas Agung, jangan pernah meninggalkanku. Berulang kali kita telah berpisah Mas. Aku kerap menangis, aku sangat merindukanmu.

1 Desember 2003
Awal pertemuan denganmu. Mas menyapaku. Aku sudah menyembunyikan identitasku sebagai siswi SMA terfavorit di Surabaya, namun Mas masih mengenaliku sebagai salah satu siswi akselerasi. Saat itu aku sangat mengagumi cara Mas menatapku. Mungkin hatiku sebenarnya telah jatuh hati saat pertama bertemu denganmu. Namun logikaku menolak akan adanya rasa suka yang timbul saat pertama bertemu. Love at the first sight is impossible, right?

15 April 2004
Aku memegang kertas ulangan Fisika kelas IPA 1. Entah mengapa justru yang kupegang adalah kertas ulangan Mas Agung. Saat itu aku baru tahu nama lengkap Mas Agung. Sikap cuek Mas Agung terkadang membuatku kesal, namun Mas Agung belum juga menyadarinya.

8 Juni 2004
Sewaktu pulang bimbel, aku melihat Mas Agung berboncengan dengan cewek SMAN 2. Jujur saja, ada rasa cemburu di dalam hatiku. Wanita itu berjilbab dan sikapnya memang sangat ramah. Tapi tak tahukah Mas, aku benar-benar resah melihatmu bersamanya. Saat aku berbincang dengan wanita itu ternyata dia juga pernah jalan bareng sama kakak kelasku. Apa Mas Agung tidak tahu itu? Bukankah lebih baik jika Mas Agung percayakan putra-putrinya Mas lahir dari wanita yang cerdas, yang bisa mendidik putra-putrimu menjadi orang yang cerdas pula. Mengapa mesti wanita SMAN 2 jika ada wanita SMAN 5?


30 Juni 2004

Tak terasa kebersamaan kita harus berakhir juga. Setiap hari selasa dan jum’at kita bertemu di lembaga bimbingan belajar tak jauh dari sekolah. Aku dan Mas Agung sangat kompak. Meskipun tidak pernah duduk bersebelahan, namun kita selalu memiliki jawaban yang saling menguatkan, terutama saat tentor biologi menjawab soal dengan jawaban yang salah. Ingatkah Mas, bahwa kita sangat menyukai biologi. Sempat aku berpikir mungkin kita memang cocok untuk melanjutkan sekolah di bidang kedokteran.

Untuk fisika Mas memang lebih jago dalam bidang mekanika. Sementara aku sama sekali tidak bisa mekanika. Gerak para bola, keseimbangan, momentum atau apapun itu, Mas-lah tempatku bertanya. Pernah suatu ketika Mas menanyakan soal tentang listrik. Aku tak yakin bisa menjawabnya. Namun Mas malah marah dan menyuruhku untuk melihat soalnya dulu baru bilang bisa atau tidak bisa. Menyerah, kulihat soal itu. Aku masih ingat betul itu soal dari buku Bob Foster yang sebenarnya sudah ada jawabannya hanya saja tidak ditulis caranya. Ternyata aku bisa menjawabnya. Mas tersenyum dan hanya bilang “tuh kan bisa”, Mas menutup buku dan tanpa peduli jawaban yang sudah kutulis dalam secarik kertas. Rasanya itu pelajaran berharga dalam hidupku. Terkadang aku merasa tidak mampu namun sebenarnya aku bisa, dan orang lain bisa melihat itu semua. Terima kasih Mas Agung.

Hari pendaftaran SPMB, Mas sempat menawarkan aku untuk ikut SPMB. Padahal Mas tahu aku sudah diterima di jurusan Teknik Mesin ITS. Mas Agung ingin sekali aku satu jurusan dengan Mas. Biar bisa ngerjakan TA bareng, katamu. Saat itulah dengan tidak sengaja aku berjanji akan menemanimu tapi bukan saat ini. Kau kecewa, aku juga kecewa. Entah mengapa hatiku tak bisa melepasmu. Saat itu malah aku ingin menjadi pacarmu, suatu hal bodoh yang pernah aku pikirkan.

Harusnya dulu aku jujur padamu, Mas. Sebenarnya aku juga merasa enggan untuk meneruskan kuliah di jurusan teknik Mesin. Mas sendiri tahu bagaimana kemampuanku di bidang mekanika, NOL BESAR. Rasanya aku ingin menangis. Tapi itulah satu-satunya harapan agar aku bisa meneruskan sekolah. Aku bukan dari golongan orang kaya, Mas.

Januari 2005
Mas Agung … lama sudah aku tidak bertemu dan mataku seakan tak percaya melihatmu berada di depanku. Saat itu, kita bertemu di Bursa Mesin. Mas Agung mau fotokopi beberapa lembar kertas. Mas Agung menanyakan kabarku. Mas Agung juga tanya mungkin aku mau pindah jurusan. Aku benar-benar tak tahu apa yang mas pikirkan saat itu. Apa Mas masih berharap aku berada selalu di samping Mas?

Saat itu aku menjawab, aku sudah kerasan berada di jurusan teknik Mesin. Lagipula IPK-ku masih di atas tiga. Mas tersenyum dan beranjak pergi dariku. Ingin rasanya aku mengejarmu, ingin rasanya aku jujur mengapa aku mesti mengorbankan diri untuk bersekolah di juurusan yang aku sama sekali tidak ada minat. Ini terpaksa, Mas. Ini sama sekali bukanlah mimpiku.

Sejak saat itu aku hanya mengetahui kabar tentang Mas lewat cerita beberapa teman Elektro. Aku merindukan Mas Agung, aku merindukan kebersamaan kita. Sebenarnya bahkan aku memiliki nomer ponselmu, yang saat itu sama denganku memakai operator starone. Namun jangankan telpon, sms saja aku tidak berani. Mas sempat mencalonkan diri menjadi kahima. Saat itu aku hanya berdoa semoga Mas Agung mendapat yang terbaik. Andai saja bisa kukatakan pada semua orang, betapa hebatnya lelaki yang kukagumi ini. Ternyata aku memang benar-benar tidak bisa melupakanmu.

5 Agustus 2005
Kupikir jika kampus kita berdekatan kita masih sering bertemu, ternyata aku salah. aku dan Mas Agung makin jauh. Aku benar-benar sedih Mas.

2 Juni 2007
Bulan Mei kemarin Mas Agung mengikuti pemilihan calon Kahima Elektro. Aku mendoakan semoga Mas Agung mendapatkan yang terbaik dari-Nya. Aku tahu Mas Agung cerdas dan bisa membagi waktu antara kuliah dan organisasi. Namun Mas Agung belum terpilih menjadi Kahima. Pastinya Allah punya rencana yang lebih baik untuk Mas Agung. Walaupun begitu aku tetap bangga akan Mas Agung. Can you see how great this man?


Februari 2009

Sudah saatnya aku beranjak pergi dari kampus. Aku telah membuang waktu satu semester untuk menyelesaikan TA-ku. Aku tahu saat itu Mas sedang sibuk persiapan membuat TA. Aku mendengar cerita teman Elektro bahwa TA Mas Agung lumayan berat.

Tak disangka aku bertemu dengan Mas Agung. Kali ini kita bertemu di Bursa Elektro. Mas menatapku membawa berkas kelengkapan wisuda, memberikan selamat padaku. “Adek sih enggak mau nemani aku kuliah di Elektro, TA-ku belum kelar ini” kata Mas Agung. Seandainya Mas tahu betapa lukanya hatiku saat itu. Aku benar-benar masih berharap bisa mendampingimu, namun aku tak tahu harus berkata dan berbuat apa.

Februari 2011
Aku mengetik nama Mas Agung di kolom pencarian facebook. I’ve found you, and I still can’t believe. Mas Agung tinggal di Tangerang. Bukankah dulu kita sama-sama membenci Jakarta. Aku sangat senang, perasaanku sangat tenang. Walaupun sebenarnya pada bulan Januari kemarin aku sempat terpukul atas batalnya acara ta’arufku.

6 Februari 2011
Aku sengaja minta nomer ponsel Mas Agung. Karena kupikir tak mungkin Mas Agung masih menggunakan nomer starone. Padahal aku juga masih menyimpan nomer Mas Agung yang starone. Lewat message facebook Mas memberikan nomer ponsel yang baru dan Alhamdulillah ternyata kita satu operator yaitu IM3
Aku masih sibuk mengurus pembelian rumah. Ketika Mas Agung hadir di tiap malamku lewat sapaan sms. Tahukah, Mas-lah yang menguatkan aku ketika aku rapuh. Mas yang membuatku tersenyum ketika aku menangis. Alasan mengapa aku membeli rumah, karena jika aku pulang ke Surabaya paling lama hanya beberapa hari. Jika aku memiliki rumah di daerah sekitar Jakarta maka aku bisa membawa orangtuaku berlibur dan bisa bertemu mereka lebih lama. Jadi sama sekali tidak ada kepentingan untuk bersikap sok jagoan di hadapan kaum Adam.

April 2011
Aku begitu terkejut melihat perhatianmu padaku Mas. Awalnya kupikir tidaklah mungkin Mas Agung bisa ada hati untuk wanita sepertiku. Mungkin perkiraanku salah. Kenyataannya hatiku makin tenang saat Mas ada. Mas mengatakan akan libur ke Surabaya tanggal 22, 23 dan 24 april dan bertanya padaku apa aku akan pulang juga. Kukatakan aku belum bisa pulang, masih ada urusan di Jakarta yang perlu dibereskan. Aku masih merahasiakan tentang pembelian rumah di daerah cipondoh makmur.

Ternyata tanggal 15 April aku ada acara di kantor pusat. Ada rapat pra alokasi energy yang mesti kuhadiri. Biasanya ada dua orang yang dikirim ke rapat seperti ini, namun kali ini aku mesti jalan sendiri. Perusahaan tempatku berkerja sedang melakukan penghematan sppd. Apapun itu, aku tetap senang bisa sambang ke rumah Surabaya. Bukankah sudah lama aku nantikan. Setelah lebih dari tiga bulan kesempatanku untuk dinas ke Surabaya gagal. Akupun mengatakan kepadamu perihal dinas luarku yang mendadak ini.

Sesampai di bandara Juanda kunyalakan HP dan sms yang pertama muncul adalah darimu. Seandainya Mas Agung bisa melihat betapa sumringah parasku. Aku sangat bahagia, Mas. Semua perhatianmu, semua rasa pedulimu membuat aku merasa sangat berharga. Aku tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Tahukah Mas, aku tak pernah memiliki kisah cinta sebelumnya. Mungkin aku terlalu takut untuk terluka. Tapi kenyataannya aku malah ingin selalu Mas Agung ada dalam hidupku.

22 April 2011
Mas Agung pulang ke Surabaya sementara aku dan temanku dari Gresik asyik berjalan-jalan di Ragunan. Itu pertama kalinya aku ke Ragunan, ternyata kebun binatang itu jauh lebih baik daripada kebun binatang di Surabaya. Aku sempat menanyakan apa Mas Agung sudah sampai di Surabaya. Namun Mas menjawab pesawatnya delay selama 3 jam dari jadwal awal yaitu jam 08.00 WIB. Well, I can’t far from you, right?

Mei 2011

Setiap malam aku kerap menunggu sms dari Mas Agung. Sambil membaca Al Qur’an di pojok kamar kosku, sesekali aku melirik layar monitorku. Biasanya sekitar pukul 20.00-21.00 WIB sms darimu datang. Walaupun hanya sekedar bertanya “pa kabar?” atau “halo” namun itu cukup membuatku bersemangat. Mas, apa aku telah jatuh hati padamu. Seraya seluruh alam memandangku dengan tatapan aneh, ya…aku telah menaruh hati atas setiap perhatianmu.

16 Mei 2011
Aku masih menonton TV di ruang keluarga. Ketika sms dari Mas menghampiri Hp-ku. Kulihat jam terima sms tersebut 17:01 WIB. Tidak biasanya Mas Agung mengirim sms jam segitu. Dan yang paling membuat aku terkejut adalah isi sms tersebut
Kalau ak maen k kosmu jg g bisa
Serius? Tanyaku dalam hati. Bagaimana aku tidak bahagia Mas. Selama ini kita hanya salaing bertukar sms dan saat ini Mas ingin bertemu denganku. Aku mungkin sudah tidak seperti dulu lagi Mas. Berat badanku terus bertambah. Jantungku berdegup kencang. Namun kucoba netralkan suasana hatiku.
Emg berani maen ke Jkt? Ntar nyasar loh…
Lama tak ada jawaban darimu. wah, bisa jadi Mas Agung marah. Mas Agung kurang begitu bisa dicandain.
Kalo g mau ngasi tau ya gpp. Thx
Bener deh, Mas Agung marah padaku. Entah mengapa aku bisa membayangkan parasmu saat agak marah dan ada rasa takut dalam hatiku. Akhirnya kubalas dengan memberikan alamat dan jalan menuju tempat kosku di Jakarta Utara.
Ntar kl aku nyasar jemput ya
Aku tertawa kecil melihat sms balasan darimu. Dan besok mungkin adalah hari pertama aku bertemu dengan Mas Agung setelah lebih dari dua tahun tidak berjumpa. Bukankah terakhir kita bertemu pada saat aku akan diwisuda, sekita Maret 2009.

17 Mei 2011
Waktu terasa begitu lambat bagiku. Menunggu sms kepastian kedatangan dari Mas Agung. Pagi ini sengaja aku menuju ke pasar tradisional di Muara Angke untuk membeli kue. Mas tentunya masih ingat aku pernah janji akan memberi kue saat Mas menderita sakit typhus akhir bulan April lalu. Nah ini saatnya aku menepati janjiku. Aku membeli 3 kue ukuran besar. Kue pertama aku berikan pada teman kerjaku yang tinggal di pasar Muara Angke. Rumahnya kecil, namun isteri dan anaknya terlihat sangat tenang tinggal di dalamnya. Aku jadi trenyuh melihatnya. Teman kerjaku tadi hanya karyawan koperasi, dengan gaji yang menurutku belum layak. Namun temanku tadi punya semangat hidup yang tinggi. Dia bangga dengan rumahnya yang walaupun kecil tapi tidak ngontrak. Subhanallah.

Kue yang kedua untuk keluarga ibu kost. Tahukah Mas, mereka mengira itu hari ulangtahunku. Padahal kan aku ultah bulan Januari. Mas Agung tentunya ingat karena Mas sempat menulis met ultah di wall facebook-ku. Sebenarnya aku ingin membalas ucapan selamat itu, namun aku sudah lama tidak menulis status atau komentar pada facebookku, jadi kubiarkan begitu saja. Tapi satu kalimat itu saja cukup membuatku merasa senang.

Hingga pukul 08.00 WIB tidak ada kabar tentangmu. Entah mengapa aku takut Mas Agung tidak bisa datang. Bukankah Mas Agung sangat banyak pekerjaan di kantor. Kucoba beranikan diri menanyakan apa Mas Agung jadi ke Jakarta. Mas menjawab sekitar pukul 10.00 WIB Mas Agung berangkat dari rumah. Sempat hatiku bertanya apakah kiranya yang membuat Mas Agung mengundurkan waktu pertemuan kita. Atau mungkin malah aku yang sebenarnya tidak sabar menunggu bertemu denganmu, Mas.

Sekitar pukul 12.00 WIB aku menuju halte busway pluit. Aku tahu Mas Agung sedang berada di mal Pluit. Bergegas aku menuju ke dalam mal. Suasana mal yang dingin ternyata tidak mampu menenangkanku. Hatiku bertanya-tanya seperti apakah pertemuan ini nantinya. Aku benar-benar tak bisa mengendalikan diriku. Buncahan bahagia jelas akan terlihat dari parasku, apalagi mataku yang tak pernah bisa berdusta.

Aku melihat Mas turun dari tangga lift. Sejenak kualihkan pandanganku ke tempat yang lain. Aku tak mau terlihat sangat amat bahagia di depanmu. Aku malu, Mas. Dan bahkan sampai detik itu aku tak tahu apa yang akan kulakukan atau yang akan kutanyakan padamu. Ini pertama kalinya aku janji bertemu laki-laki yang bukan muhrimku. Hanya saja aku percaya kau orang yang amanah, jadi tidak ada satu kekhawatiranku padamu.

Kita berjalan. Ya berjalan, bukannya naik bajaj. Padahal aku tahu jarak antara mal pluit dan kos cukup jauh. Tapi aku masih tak mau duduk berdua denganmu. Aku mengajakmu berjalan menyusuri perumahan menuju tempat kerjaku. Sampai di tempat penjual siomay aku berhenti sejenak. Kutawari Mas makan siomay, Mas mengangguk dan saat itu Mas mentraktirku. Saat itu memang aku belum makan dari pagi. Rasanya tidak lapar, keterlaluan ya Mas… mungkin suasana hati yang senang membuat enzim di lambungku bekerja tak seperti biasanya.

Mas mengeluh tentang teriknya matahari siang di Jakarta. Kubilang manja banget. Mas hanya tersenyum menatapku. Kuperlihatkan kantorku yang berjejer cerobong. Kita berjalan menuju kosku. Dalam perjalanan kita mampir di Masjid raudhatul Jannah. Biasanya masjid itu sepi tapi entah ada kunjungan darimana sehingga masjid itu ramai sekali. Kita menunaikan solat dhuhur munfarid, karena sudah lewat dari jamaah.

Sesampainya di tempat kos. Aku sama sekali tidak berani menyuruh Mas Agung masuk rumah. Kondisi saat itu di rumah hanya ada ibu kos dan anak putrinya. Sementara anaknya yang laki-laki sedang ke luar rumah. Mohon maaf, menyuruh Mas duduk di beranda. Malahan Mas Agung memilih duduk di lantai. Aku jadi tidak enak hati. Saat itu Mas ceritakan pekerjaan Mas sambil makan siomay.

Tak berapa lama ibu kos menegurku dan menyuruh Mas masuk ke rumah. Akhirnya kita berbincang di ruang tamu. Leluasa aku melihat Mas bercerita. Serasa mengingatkanku akan beberapa tahun lalu. Di mana aku dan Mas saling berdiskusi pelajaran di lembaga bimbingan belajar.

Dua jam, namun semua terasa singkat … Mas Agung akhirnya mohon diri untuk pulang. Setelah mohon diri dari ibu kos, aku mengantar Mas sampai jalan raya dan memberhentikan sebuah bajaj. Satu hal yang tidak aku lupa saat kita berjalan meninggalkan rumah kos. Satu hal yang sering membuatku tersenyum sendiri saat mengingatnya.
“Coba tebak kemaren aku pulang kerja jam berapa?” kata Mas Agung
“Jam sebelas malam” jawabku asal saja
Mas Agung tersenyum dan mengatakan bahwa Mas baru pulang kerja tadi pagi jam delapan.

21 Mei 2011
Supervisor rendalku berbaik hati memberiku tiket pulang ke Surabaya untuk menghadiri pernikahan rekan kerjaku. Sebenarnya akhir bulan ini aku sudah ada rencana untuk menempati rumah di cipondoh. Setelah sekian lama pengurusan surat di notaris, akhirnya surat-surat tersebut sudah resmi balik nama.

No day without you … mungkin itu kalimat untukku yang benar-benar sudah kecanduan untuk selalu ber-sms-an dengan Mas Agung. Mas sempat tanya aku naik apa ke Mojokerto. Kujawab aku akan dijemput general manajerku untuk sama-sama menuju tempat resepsi. Benar-benar rezeki, karena sehari sebelumnya aku merasakan naik mobil berplat UJA (cita-citaku untuk naik mobil punya GM) lalu GM-ku menawari untuk pergi ke nikahan rekan kerjaku bersama dia.

Sepanjang perjalanan dari Mojokerto ke Surabaya aku mengirim sms untuk Mas Agung. Kulihat jam di ponselku menunjukkan pukul 21.00 WIB
Siapa yang nikah? Belum tidur?
Kujelaskan pada Mas Agung bahwa yang menikah adalah kakak dari Rossi, teman kuliah Mas Agung. Mas juga sempat bertanya apakah aku makan banyak di resepsi. Mas Agung mengingatkan aku akan diet yang kujalani selama ini. Kutanya mengapa sampai malam Mas agung belum tidur.
Gara2 km sms-an
Tapi akhirnya Mas Agung ngaku juga kalau sedang main game. Entah mengapa Mas Agung tidak merasa capek padahal seharian ini Mas kerja.

22 Mei 2011
Hari ini balik ya? Tadi malem rame?
Uda nyobain apa saja di resepsinya?
Ada apa saja? critain dong

Kulihat message tersebut diterima pukul 11.08 WIB. Kukatakan pada Mas bahwa aku balik ke Jakarta naik kereta, dan kereta Anggrek baru berangkat dari stasiun pasar Turi pukul 20.00WIB.

25 Mei 2011
Aku memberitahukan pada Mas Agung bahwa aku akan pindah ke Cipondoh Tangerang. Mungkin Mas Agung lupa saat berkunjung ke kosku beberapa hari yang lalu aku mengatakan akan pindah dari kos.
Bukannya malah lbh jauh dari tempat kerja?

Sebenarnya aku dapat amanah dari ibu untuk mengundang Mas Agung datang ke syukuran rumah di Cipondoh, namun aku belum punya kata-kata yang tepat untuk mengundang Mas. Apalagi sampai bertemu dengan kedua orangtuaku. Justru yang tidak siap atas pertemuan ini adalah aku. Ibu sangat ingin tahu tentang Mas Agung. Bahkan sewaktu di Surabaya, aku sempat menunjukkan album foto SMA di mana ada Mas Agung di sana.

Sore ini Ibu dan Bapakku datang dari Surabaya. Karena aku masih menginap di kos maka aku serahkan tugas jemput ke saudaraku yang rumahnya tak jauh dari Bandara Soekarno-Hatta. Wah rasanya tak sabar bertemu kedua orangtuaku, padahal baru tiga hari lalu aku pulang dari Surabaya.

26 Mei 2011
Kucoba sms Mas Agung memberitahu secara perlahan acara syukuran rumah. Awalnya aku mau merahasiakannya. Namun aku berpikir, takkan ada bedanya jika diberitahukan saat ini atau nanti.
Nggak da lembur, woi ada acara apa? Lamaran ya?
Aku tertawa kecil melihat reaksi berlebihan dari seorang Mas Agung. Dulu sewaktu aku nanya angkot menuju Kisamaun Tangerang dibilang mau ta’aruf.
Syukuran apa nih? Rumah baru ya? Klo eka ga bilang aku ga dateng wes
Akhirnya kubuat perjanjian, jika aku memberi tahu Mas Agung even apa, dia janji harus datang.
Ak usahain ya, alamatnya?

Seandainya saja Mas Agung tahu apa yang paling membuatku gelisah. Aku sudah mendapat pelukan dari ibu, sesuatu yang sangat menenangkanku. Aku sudah melihat senyum bapakku. Nampak lelah karena setengah hari membersihkan rumah. Aku benar-benar keterlaluan, rumah masih dalam kondisi kotor tapi aku malah asyik bekerja.

Oh ya, aku gelisah karena aku tak tahu apa yang akan terjadi saat Mas Agung hadir diantara keluargaku. Acara syukuran berjalan lancar. Surat Yaasin dan Al Waqi’ah pun dibacakan oleh ibu-ibu pengajian. Alhamdulillah, kedua surat itu aku pun hafal. Aku merasakan pandangan dari ibu-ibu kepadaku. Aku jadi merasa malu.

Usai pengajian, aku malah merasa gelisah campur bahagia. Aku gelisah karena takut reaksi bapak yang tidak bersahabat. Aku senang karena akan bertemu Mas Agung. Pukul 19.56 WIB sebuah message tertera di layar HP-ku.
Ak brgkt k rmhmu ya

27 Mei 2011
Assalamualaikum. Gmn kabar? Terimakasih ya bungkusannya kmrn. Sesuai pesan uda kukasi ke teman2 kos paginya. Weekend ngajak bapak ibu ke mana?
Habis ngobrol ama ortumu, ak jd ingat bapak ibu di rumah. Hiks2x…jadi pingin pulang ktm mereka


Hampir setiap jam kudengar semangat bapak mengulang kembali pembicaraan dengan Mas Agung tadi malam. Baru kali ini dia terlihat sangat senang sekali. Entah mengapa dia tidak antagonis atas kehadiran Mas dalam kehidupanku. Ibu terlihat sangat menyukai Mas Agung. Satu kekhawatiran dalam hatiku, aku takut membuat mereka kecewa. Andai saja bisa kukatakan pada Mas Agung seberapa sayangnya mereka pada Mas. Seandainya saja mampu kukatakan pada Mas Agung seberapa besar harapan mereka atas diri Mas.

Satu hal yang Mas tidak sadari. Saat kita sama-sama membenci Jakarta, namun ternyata kita dipertemukan di Jakarta. Tentunya ini bukanlah suatu kebetulan. Semua rahasia ini sudah ditetapkan Allah dalam Lauhul Mahfudznya. Pasti ada hikmah di balik setiap kejadian ini.

29 Mei 2011
Emg uda beli TV ya?
Mas, ternyata aku memang tidak bisa meluangkan satu haripun tanpa kehadiranmu.
D rmh baru masaknya gmn? Trus ibu bapak makannya gmn?
Kujawab masih beli lauk di luar rumah. Belum ada kompor di rumah. Lalu aku minta belikan Mas Agung kompor.
Maunya? Mosok beli rumah bisa, bl mio bisa, bl sendok piring kompor blm bisa?
Aku tersenyum melihat apa yang Mas tulis di sms. Memang aku sudah punya kendaraan sendiri. Namun aku belum melengkapi isi rumah karena masih ada renovasi saluran air. Rumah masih sangat berantakan. Aku sendiri jika melihat sesuatu yang berantakan bisa pusing. Maka dari itu orangtuaku masih berada di Tangerang sekitar dua minggu sampai urusan rumah beres. Kuajukan pertanyaan standar apa Mas Agung sudah makan mala mini.
Belum, Makan yuk.
Mas benar-benar tidak tahu ya… setiap sms yang Mas kirim cukup membuat hatiku dag dig dug tidak karuan. Mungkin itu terlalu berlebihan ya….
Makan bersama, km makan d rmh, ak makan di kos-an.

4 Juni 2011
Hari ini ada undangan nikahan dari putri rekan kerjaku, di Kotabumi Tangerang. Sebenarnya aku sudah lupa undangan tersebut, jika bukan diingatkan oleh supervisor listrik yang tinggal di depan rumah. Undangan itu pukul 11.00 WIB dan sekarang pukul 09.00 WIB. Aku tersenyum manja kepada kedua orangtuaku yang masih sekitar lima hari di Tangerang.
“Kenapa Nak?” tanya ibu
“Boleh aku ajak Mas Agung?” tanyaku balik
Seraya menatap kearah Bapak. Sungguh, aku masih takut Bapak bersikap kontra terhadap kehadiran Mas Agung. Namun Bapak tidak berkomentar apapun. Dengan ragu kucoba menulis sms pada Mas Agung. Awalnya aku bertanya apakah Mas Agung hari sabtu ini libur. Biasanya Mas agung lembur, dan jarang sekali weekend dalam kondisi free from job. Lalu aku menceritakan tentang undangan pernikahan anak dari rekan kerjaku. Kukatakan bahwa pasti nanti yang datang ke acara itu Bapak-Bapak, tidak ada teman-teman seusiaku yang datang. Jadi aku sangat berharap Mas Agung menemaniku.
Jam brp?
Ok. Tak siap2. Jam 11.30 nyampe rumahmu
Unbelievable…Mas Agung akan datang dan menemaniku ke acara nikahan. Aku tak pernah berpikir bahwa Mas Agung mau menemaniku, apalagi di acara yang sacral. Bukankah nanti di sana akan ada teman-teman kerjaku.

Sungguh, aku salah tingkah di depan kedua orangtuaku. Tanganku dingin, jantungku berdetak dengan ritme tak tentu. Mungkin sangat terbaca oleh mereka, rasa bahagia sekaligus kekhawatiran. Bukannya undangannya pukul 11.00 WIB? Aku tidak enak hati juga dengan supervisorku.
“Gimana sudah siap?” tanya supervisorku
“Bapak, bisa nunggu sepuluh menit lagi. Teman saya mau ikut” ucapku ragu.
“Teman yang ngekos di Pengayoman?” tegur istri supervisorku yang tampak anggun dengan busana warna krem.
“Iya Bu” jawabku tersipu.
“Yang waktu syukuran rumah dia datang juga kan?” lanjut wanita yang sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri,“Teman istimewa ya?”
Aku tertunduk, “Insya Allah…”
Aku sudah menceritakan sebagian kecil tentang Mas Agung pada mereka. Mas Agung adalah senior sewaktu SMA. Bertemu di sebuah lembaga bimbingan belajar, kami akrab karena sering diskusi soal bersama.

Akhirnya Mas Agung datang juga. Tepat sesuai perkiraan. Kami menunggu hampir setengah jam. Mobil supervisor sudah dipanasi setengah jam lalu. Aku malu pada supervisor dan isterinya. Tapi mereka tampak senang juga melihatmu datang.
Andai saja kau tahu mengapa aku malah terdiam menatapmu. Seolah semua ini mimpi bagiku. Kehadiranmu dalam kehidupanku adalah hal yang tak pernah aku perkirakan sebelumnya. Kebahagiaan yang tiba-tiba menghampiri hidupku. Ketenangan yang kurasakan saat Mas Agung selalu ada.
“Nyasar Mas?” tanyaku seraya melihat Mas Agung melepas helm dan jaket.
“Enggak” jawab Mas seraya tersenyum.
Kedua orangtuaku menyambut Mas Agung dengan senyuman termanis yang mereka miliki.

Di mobil, Mas duduk di sampingku. Entah mengapa aku seakan kehabisan kata-kata. Bahkan bertanya bagaimana kabar saja aku tak bisa. Akhirnya Mas Agung yang punya inisiatif mengajak supervisorku untuk berbincang mengenai pelebaran jalan serta pemilu walikota Tangerang. Lalu bicara tentang motor. Aku bersyukur dalam hati. Jujur saja, hatiku terus bertasbih dan beristighfar untuk menenangkan diri. Aku benar-benar tak tahu apa yang aku rasakan. Aku merasa senang, tenang dan malu saat Mas Agung ada.

Sulit sekali menemukan tempat resepsi. Mas harus bolak-balik keluar masuk mobil untuk bertanya pada orang letak tempat resepsi berdasarkan peta di undangan. Pukul 13.00 WIB barulah tiba di tempat resepsi. Sesampai di tempat resepsi Bapak-Bapak tampak melihatku dengan pandangan yang tak biasa. Karena kini aku bersama dengan Mas Agung. Mas Agung bersalaman dengan mereka. Sungguh, saat itu aku benar-benar tak habis pikir. Mas terlihat begitu nyaman masuk dalam kehidupanku. Mas terlihat tenang bergabung dengan rekan kerjaku. Aku merasa sangat bangga bersama dengan Mas Agung.
“Mas…ini loh cicipin kambingnya…” kata supervisor K3
“Enggak Pak…” jawab Mas Agung
“Kenapa, ga kuat ya?”
“Saya pusing kalau makan daging kambing”
Aku baru tahu Mas Agung ternyata tidak bisa makan daging kambing, Mas juga tidak bisa makan durian. Bersyukur karena Mas Agung suka ice cream, karena aku juga sangat suka ice cream. Mereka pasti berpikir Mas adalah calon suamiku. Wallahu a’lam bis shawab.

Setelah solat dhuhur di masjid dekat tempat resepsi, kita berempat pergi ke festival cisadane. Ada lomba dayung perahu di sungai Cisadane. Aku berjalan dengan Ibu. Mas Agung berjalan dengan Bapak. Wah….ingin sekali jalan bersama Mas Agung. Namun rupanya Mas sudah sibuk berbincang dengan Bapak sembari menikmati es dawet.

Entah aku yang mendekati Mas Agung atau Mas yang mendekatiku sehingga sempat kita membahas tentang listrik prabayar. Mas bilang kalau pegawai PLN tidak pakai bayar listrik. Mana ada seperti itu Mas, listrik saja biayanya sudah disubsidi Negara. Apalagi jika ada yang menikmati secara gratisan, bisa dibayangkan berapa banyak pengeluaran Negara nantinya.

Bapak mengeluarkan kamera. Sekilas kulihat dia sibuk jeprat-jepret suasana di kali cisadane. Lalu tiba-tiba Bapak memberikan kamera ke Mas Agung. Sejenak Mas sibuk dengan kamera itu. Mas Agung menatapku seraya mengalihkan pandangan ke Bapak dan Ibu yang memandangi kali Cisadane. Aku mengangguk pelan.

Mas Agung mengambil foto Bapak dan Ibu. Segera Bapak mengambil kamera dari tangan Mas Agung lalu menyuruh Mas dekat denganku. Semula Mas tidak mau, tapi akhirnya ada juga foto kita berdua.

Sampai saat ini aku belum juga melihat hasil foto itu Mas, masih tersimpan di computer supervisor listrik.

===
17 Agustus 2011
Aku tidak tahu Mas, apa yang mesti aku lakukan. Jujur, terasa sangat sakit di hati ini. Apa Mas tidak pernah berpikir sedikitpun tentangku? Andai saja kau tahu bahwa aku menunggumu terlalu lama.

Lalu, perasaan yang aku alami selama ini apa? Rasa aman, nyaman dan bahagia … aku yakin ini bukan sekedar fatamorgana.

Ya Rabb, aku benar-benar tidak sanggup menghadapi semua ini.
Hati ini masih terasa sakitnya.
Tiap sujud, tiap malam aku hanya bisa menangis.


Aku berdiri di tengah himpitan penumpang busway koridor 8 jurusan Lebak Bulus-Harmoni. Baru saja aku ada acara buka bersama dengan teman-teman SMA, kelas akselerasi. Saat ini jam tanganku menunjukkan pukul 20.45 WIB. Aku merasa sangat sepi. Rasa sakit ini membawaku dalam ketiadaan.


Akselerasi, remember at senior high school, about the promise. that's the reason why we meet after several years lost


Aku pernah berjanji akan menemani Mas Agung, seandainya saja Mas Agung tahu perihal janji itu.

===
Jakarta, 17 Agustus 2011

Jumat, 12 Agustus 2011

Ini Hanya Sebuah Kisah


Tentang Irfan

Watthayyibatu litthayyiban walkhabitsu lilkhabitsan …

Wanita itu terus berlari. Entah apa yang tengah ia kejar. Rasanya tak ada sesuatupun di depannya yang dia kejar. Namun wanita itu terus berlari. Jilbabnya berkibar, tampak lelah di parasnya. Sungguh, ingin sekali aku mendekatinya dan bertanya. Apa yang sebenarnya yang dia lakukan. Sungguh aneh melihat seorang wanita berlari ketika mentari belum sepenuhnya hadir menerangi bumi. Lagipula ini bukan sebuah taman melainkan pinggiran jalan.

Wanita itu tiba-tiba terdiam. Kulajukan mobil yang kukendarai sangat pelan. Sebenarnya, aku juga tidak akan pergi kemana-mana. Entah mengapa pagi ini aku ingin keliling komplek sebentar. Sekedar menghilangkan penat.

Kupinggirkan mobilku. Aku ke luar dari mobil. Kudekati wanita itu.
“Afwan…” ucapku
Wanita itu menatapku hingga gemetar hatiku menatapnya. Airmata mengalir membasahi jilbab putihnya.
“Assalamualaikum” sapaku
Wanita itu berusaha tersenyum, “ Wa’alaikumsalam warahmatullah”
“Afwan kalau saya mengganggu. Saya Irfan, saya melihat Ukhti berlari tanpa ada yang dikejar.”
“Saya hanya ingin menghilangkan penat di kepala. Dulu, sewaktu di Surabaya saya sering melakukannya dan berhasil. Namun entah mengapa saat ini sangat sulit bagiku.”
“Kalau saya boleh tahu apa Ukhti masih kuliah?”
“Memang kelihatan masih kuliah? Saya sudah berusia dua puluh empat, dan saya kerja di satu tempat di Jakarta”
“Hmm…pantes merasa penat”
Wanita itu mengerutkan dahi.
“Jakarta, sumber dari segala masalah….” Kataku
Wanita itu tersenyum ringan. Subhanallah mengapa aku tertarik menatapnya.
“Antum, tinggal di daerah sekitar sini?”
“Iya Ukh … “
“Pasti aneh melihat saya berlari tanpa tujuan ya? Mirip orang gila”
“Justru malah saya penasaran mengapa Ukhti lari begitu kencang tanpa ada yang dikejar. Jika memang pikiran Ukhti sedang penat, mengapa tidak mengembalikan semua permasalah kembali pada Allah. Ukhti bisa mendirikan sholat malam, memohon agar Allah memudahkan segala urusan. Wa man yattaqillaha yaj’al lahuu makhraja”
“Barangsiapa yang bertaqwa pada Allah maka Allah akan memberinya jalan ke luar”
“Na’am…Subhanallah, berarti benar dugaanku”
“Dugaan apa?”
“Ukhti bukan wanita yang biasa”
“Bagaimana bisa Antum menyimpulkan seperti itu. Antum baru bertemu saya sekali ini”
“Entahlah saya merasa telah mengenal Ukhti”
Wanita itu tersenyum lunak. Tampak aura cahaya parasnya mambiusku. Dia bukan wanita berkulit putih. Namun di mataku terlihat cemerlang.
“Ukhti wanita yang cerdas, yang mandiri, yang luar biasa. Sungguh beruntung lelaki yang bisa menjadi suami Ukhti”
Wanita itu menatapku tajam. Aku merasa tidak ada yang salah dengan perkataanku. Namun tiba-tiba matanya menjadi redup.
“Seandainya saja ada yang merasa beruntung untuk hidup bersamaku” pandangannya menerawang tak jelas. Walaupun begitu sebenarnya masih terlihat jelas kecerdasan dan kearifannya.
“Afwan Ukhti”
===
Tentang Irfan

Apakah dia, wanita yang dikirim Allah untuk mendampingiku. Wanita sederhana yang terlihat begitu cerdas. Aulia Rahmawati, mengapa aku kerap merindukannya. Pertemuan tanpa sengaja seminggu lalu membuatku tak pernah bisa melupakan bayangan wanita itu dari pelupuk mataku. Apakah aku tengah jatuh cinta?

“Mas Irfan?” tegur Akmal
“Eh, maaf Mal…”
“Wah, asyik melamun nih”
“Iya Mal… “
“Masih teringat wanita di pinggir jalan itu Mas?”
“Iya…”
“Lagi jatuh cinta rupanya?”
“Entahlah”
Kurasakan tatapan aneh dari Akmal. Mungkin parasku memerah.
“Apa minusku sudah bertambah ya? Kok aku lihat pipi Mas Irfan memerah?”
“Apa iya Mal?”
Akmal, juniorku di bidang perencanaan maintenance repair overhaul menatapku serius.
“Apa aku pantas mendapatkan wanita sholihah seperti dia ya…”
Akmal tersenyum, “Sudah sewajarnya Mas Irfan jatuh cinta lagi. Tak semestinya selalu teringat pada almarhumah isteri Mas”
“Aulia memang wanita yang indah Mal. Jika saja kamu bertemu dengannya, mungkin kamu juga jatuh cinta padanya”
“Aulia?”
“Iya…nama wanita itu Aulia”
Aku menatap keresahan di mata Akmal.
“Kenapa Mal?”
“Oh tidak ada apa-apa. Aku masih ada kerjaan”
“Ya sudah kembali kerja Mal”
“Makasih Mal”
“Eh… kapan undangan nikahmu disebar Mal?”
“Nikah sama siapa Mas?”
“Sama Anita, loh bukannya kalian pacaran?”
Kulihat paras Akmal memucat. Ingin rasanya aku bertanya atas sikapnya yang aneh itu, namun kuurungkan.

Afwan, bolehkah saya ke rumah Ukhti nanti sehabis isya’?
Tulisku dan mengirim message itu ke nomer ponsel Aulia. Dua menit, lima menit, tak ada balasan.
===

Tentang Akmal

Dan minta tolonglah pada Allah dalam sabar dan solat. Sesungguhnya hal itu berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (Al Baqarah : 45)

Aku hampir tidak mengerti apa yang tengah aku rasakan. Rasa khawatir itu menghampiriku lagi. Ketika kucoba untuk melupakan seorang aulia dalam kehidupanku. Apakah karena aku terlalu mengenalnya. Ataukah karena memang terlalu lama aku menunggu kehadirannya. Namun apakah ada rasa yang sama dari aulia untukku. Wanita sehebat dia tidaklah pantas untuk berdampingan dengan lelaki sepertiku.

Hampir tiap tengah malam aku bersujud meminta petunjuk pada-Nya. Berharap ada secercah jawaban atas hidupku. Aku masih sangat menyayangi Aulia. Namun entah mengapa hatiku ragu untuk memintanya bersanding denganku. Apa aku takut mendapat penolakan darinya. Ataukah aku takut mendapati Aulia terlalu hebat untukku.

Mungkin aku harus bersabar sejenak. Menunggu apa yang akan Allah berikan untukku. Entah wanita seperti apa yang kelak akan mendampingiku.

“Assalamualaikum….” Sapa Anita menghampiri meja kerjaku.
“Wa’alaikumsalam” jawabku tak mengalihkan pandangan dari layar monitor computer.
“Sudah makan Mas?”
“Belum. Masih banyak kerjaan”
“Makan dulu, kasihan itu tubuhnya”
“Iya. Bentar”

Bahkan rasa laparpun sekarang tak pernah aku rasakan. Aku makan ketika tiba waktunya makan. Apa aku sudah tidak dapat merasakan apapun. Terasa berat melupakan Aulia. Wanita yang kukenal delapan tahun yang lalu. Segala tentangnya masih melekat dalam ingatanku. Kebaikan bapak ibunya masih bisa kurasakan. Keteduhan tatapannya mambuatku tak bisa berpaling. Namun mengapa aku masih ada niat untuk meninggalkannya. Jika memang dia lebih baik dariku, itu bukan salah dia. Salahku karena tidak bisa sepertinya. Salahku karena aku tak pernah ungkapkan perasaanku. Salahku karena aku…meninggalkannya.

“Mas Akmal…” tegur Anita.
“Ya…” sahutku tersadar dari lamunanku.
“Aneh banget sih, melamun terus”
Sekilas kulihat paras cantik Anita, rekan kerjaku yang beberapa minggu ini akrab denganku. Hampir tiap malam kami bertukar sms. Namun entah mengapa sejak Mas Irfan mengucap nama Aulia, aku jadi teringat tentang Aulia-ku.
“Sori Nit…aku lagi sibuk” jawabku asal.
Kubuka saja folder-folder projectku supaya Anita tidak curiga sebenarnya aku sedang tidak mengerjakan apapun. Aku hanya ingin menenangkan diri.
“Okelah… aku ke kantin duluan ya. Entar Mas Akmal nyusul ya…” pinta Anita manja.
Aku tak menjawabnya. Andai saja Anita tahu bahwa otakku sudah penuh dengan nama Aulia.

- Mas Akmal kenapa? Marah ya sama Aulia?
- Enggak. Gpp kok Dek

Message terakhir aulia yang kubalas. Banyak message lain yang kuhapus begitu saja tanpa membalasnya. Aku, ternyata memang terlalu takut untuk jatuh hati pada seorang Aulia. Hingga akhirnya saat family gathering di Bandung semua teman-teman mencomblangkanku dengan Anita. Anita memang wanita cantik dan menarik, tapi terasa sangat berbeda ketika aku dekat dengan Aulia. Aulia memang lebih cenderung pendiam dan kaku dibandingkan Anita. Namun sorot matanya yang teduh menampakkan kejujuran dan kebeningan hatinya. Tak pernah kujumpai wanita seperti Aulia.

Aulia, andai saja mampu kukatakan rindu padamu. Bukankah dulu kau pernah mengatakan kangen padaku. Masihkah ada harapan untukku kembali hadir dalam kehidupanmu. Ataukah kini kau telah menemukan pengganti diriku. Bukankah kedua orangtuamu sudah menganggap aku sebagai anak mereka. masih adakah waktumu untukku. Seperti berbulan-bulan lalu. Rasanya tak lengkap hariku tanpa mendengar cerita darimu. Meski ceritamu itu begitu hebat terdengar di telingaku. Kau selalu jadi sorotan orang-orang sekitarmu. Kau mampu bersikap dewasa dan berpikir cerdas.

Aulia, andai saja saat itu aku tak membuatmu gelisah atas sikapku. Aku berharap masih ada kesempatan untukku kembali di sampingmu. Meski orang-orang lebih cenderung melihat kehebatanmu daripada diriku.

Kuhela napas panjang. Hatiku benar-benar gelisah. Seperti itukah perasaan aulia, saat aku menjalin kisah dengan Anita. Akankah rasa ini tumbuh kembali diantara kita. Akankah rasa ini bisa terjaga saat kita jauh. Akankah Allah ridha atas kasih diantara kita.

Aku harus bagaimana?
Aku benar-benar tak mengerti apa yang harus kulakukan.

===
Tentang Aulia

“Mbak, nanti minta tolong hasil rapatnya diupload di dashboard manajemen ya”
“Insya Allah Pak” ucapku seraya mohon diri dari ruangan GM
Sehari ini sudah dua kali aku meeting di tempat GM. Meetingku bersama dengan para manager lagi. Apa aku sepenting itu hingga mesti terlibat dalam system perusahaan. Jabatanku masih staff perencanaan dan pengendalian overhaul, namun terlalu sering ikut rapat manajemen.

Sms dari Irfan belum juga kubalas. Aku masih belum bisa membuka hati. Jujur, masih terasa sakit saat Mas Akmal pergi begitu saja dalam kehidupanku. Aku masih sangat menyayanginya. Perasaanku masih sama seperti pertama mengenalnya, delapan tahun yang lalu. Entah mengapa hati Mas Akmal mudah sekali berpaling. Mengapa harus ada wanita lain antara aku dan Mas Akmal.

Masih terasa airmata yang tiap malam mengalir. Bantal dan gulinglah yang menjadi saksi sesenggukan tangisku. Aku hanya tak ingin sendirian. Rasanya semua usaha telah aku lakukan untuk mengobatinya, namun aku masih juga merasakan sakit. Aku tak bisa kehilangan Mas Akmal.

Apakah karena aku terlalu hebat untuk seorang Mas Akmal. Apa hebatnya, jika tiap kali aku hanya bisa menangis. Aku terlalu takut untuk kembali menatap apa yang ada di hadapanku. Mungkin aku harus bersabar atas apa yang tengah terjadi.

Mas Akmal, ini sudah lebih dari sebulan tanpa kabar darimu. Apakah kau tengah merasakan cinta yang begitu indah dari seorang Anita. Aku hanya tahu sosok Anita dari facebook. Wanita yang kerap member komentar di status Mas Akmal.

Mas Akmal, apa yang salah dariku? Bukankah Mas tahu kedua orangtuaku sangat sayang sama Mas. Aku benar-benar tak habis berpikir mengapa Mas Akmal bisa berlalu begitu saja dari kehidupanku. Segala upaya sudah kulakukan untuk melupakanmu. Tapi aku tak bisa. Mungkinkah karena aku memang benar-benar membutuhkanmu ataukah sebenarnya apa yang kurasakan ini benar. Aku merasakan bahagia dan nyaman saat kau hadir dalam kehidupanku. Rasa syukur pada Allah yang tak berhenti aku panjatkan saat Mas Akmal mau menemaniku.

Mas Akmal, apa yang kini tengah terjadi padamu. Tak bisakah kau lihat betapa rasa sayangku padamu. Tak bisakah kau rasakan betapa dalamnya rasa rinduku. Setiap malam kunantikan message darimu. Rasanya ada yang kurang saat kau tiba-tiba tidak hadir di tiap malamku. Hidupku terasa begitu sepi. Seolah hati ini menyangsikan hilangnya kebahagian itu.

Mas Akmal, aku masih selalu ada di sini. Entah merupakan suatu kebodohan atau apa sehingga sampai detik ini aku tak mampu melupakanmu. Aku tak bisa merasakan lapar, aku tak bisa merasakan apapun saat kau tak ada.

Kembali airmata itu tiba-tiba menghampiri. Aku tidak sanggup menghadapi ini semua Ya Rabb. Ini terlalu berat bagiku. Aku benar-benar tak sanggup.

===

Tentang Akmal dan Irfan

“Mal, aku mau cabut dulu ya…” kata Irfan seraya menumpuk beberapa file di meja Akmal.
“Mau kemana Mas. Tumben sore-sore sudah cabut” tegur Akmal. Biasanya Irfan adalah pecandu kerja. Sejak istrinya meninggal sebulan lalu akibat meningitis, Irfan kerap menyibukkan diri dengan pekerjaan.
“ Minta doanya ya…aku mau ke tempat Aulia mengajar”
“Insya Allah. Memang profesi wanita itu sebagai guru ya Mas?”
“Iya…di salah satu bimbingan belajar”
“Wah mantappp…. Berarti dia termasuk wanita yang sabar ya Mas. Karena mengajar merupakan kegiatan yang butuh extra kesabaran”
“Alhamdulillah iya. Wah kalau aku terlalu banyak cerita tentang Aulia nanti malah kamu yang jatuh cinta sama dia”
Akmal tertawa kecil, “Mana mungkin Mas”
“Pokoknya dia adalah wanita yang luar biasa”
“Ya sudah semoga sukses ya Mas”
“Amin… kamu juga buru-buru lamar Anita, biar nggak sendirian terus”
“Hehe…”
“Biar nggak nyuci baju sendiri. Kamu tuh parah, nyuci baju jam sepuluh malam”
“Hehe…”
“Eh sebenarnya beruntung juga wanita yang jadi isterimu. Kamu tuh orangnya rajin”
“Mas Irfan juga rajin”
“Tapi enggak serajin kamu”
“Bisa saja”
“Betewe…emang Anita cocok kok sama kamu.”
“Semoga berjodoh ya Mas”
“Ya…semoga Aulia mampu melupakan masalalunya yang membuatnya kerap menangis”
Akmal tersenyum ramah. Berbeda jauh dengan kondisi hatinya uyang selalu berguncang saat mengingat Aulia.
“Wah sepertinya cerita tentang Aulia ini seru Mas. Kapan-kapan cerita ke aku ya”
“Nah itu takutnya nanti kamu jatuh cinta sama dia”
Akmal tertawa kecil.

Sebuah message tertera pada layar HP Akmal. Nama yang tertera di sana terasa begitu dekat. Akhirnya Aulia mengirim kabar juga. Buru-buru Akmal melihat isi message-nya.

- Mas Akmal, pa kabar? Malam ini Aulia mau taaruf dengan seseorang. Minta doanya ya…


Sungguh merupakan sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Akmal. Rasanya dia ingin berlari ke tempat di mana Aulia sekarang berada. Rasanya ingin dia menceritakan apa yang tengah terjadi padanya selama ini. Namun mungkin semua itu sudah terlambat.

===

Tentang Aulia

Kutatap jam tanganku. Sudah menunjukkan pukul delapan malam. Namun Irfan belum juga kelihatan.
“Assalamualaikum Ukhti, apa kabar?”
Aku menatap lelaki yang tiba-tiba muncul di hadapanku
“Bagaimana murid-muridnya? Suka godain Bu Gurunya ngga?”
“Bisa aja Mas….” sahutku
“Ehm… senengnya punya isteri yang sabar seperti Ukhti”
Aku hanya meringis.
“Aku anter Ukhti pulang ya…sekalian mau lihat rumah Ukhti”
“Boleh…kebetulan tadi sehabis kerja saya langsung ke sini nebeng teman, jadi nggak bawa motor”
“ Sekalian kita ngobrol sebentar”

Irfan menuju tempat parkir. Honda City warna hitam segera menghampiri tempatku berdiri. Ini semua mirip cerita dongeng. Seorang pangeran baik hati tiba-tiba datang menghampiri sang putri. Apa mungkin benar kata ibu, jodoh itu datangnya tidak disangka-sangka.

Sungguh, amat beruntungnya diriku yang kini mendapat penjagaan dari seorang lelaki seperti Irfan. Meski aku belum tahu latar belakangnya, namun aku mencoba percaya ini adalah jalan terbaik yang diberikan Allah padaku. Ini adalah buah kesabaran yang selama ini aku jalani.

Dalam perjalanan Irfan bercerita tentang kehidupan rumah tangganya yang baru dijalani selama tiga bulan. Dan kematian istrinya sebulan lalu. Aku merasa lelaki di sampingku ini sangat asing. Perasaanku bercampur aduk, resah dan gelisah. Bukankah aku harusnya bahagia?

Saat Irfan menceritakan pekerjaannya, tiba-tiba saja kepalaku terasa pusing. Ada rasa takut yang berlebih. Ada keresahan yang kian memuncak.

“Ukhti sakit?”
Aku menggeleng pelan.
“Ukhti terlihat pucat”
Aku hanya menatap Irfan.
“Ukhti kenapa?”
“Mungkin capek”
Irfan tersenyum ramah, “Rumah Ukhti yang mana?”
“Yang bercat pink”

“Loh, itu bukannya motor Akmal?” gumam Irfan.
“Mas Akmal?” ucapku pelan.

“Afwan…” Irfan menghampiri Akmal.
Akmal melihatku setengah tak percaya. Aku menundukkan kepala. Entah mengapa aku merasa sangat malu untuk berhadapan dengan Mas Akmal. Apa karena aku takut dia berprasangka buruk setelah aku jalan dengan Irfan. Aku tahu takkan baik jika Irfan ternyata satu kantor dan satu bagian dengan Akmal.
“Aku hanya mampir sebentar ke rumah teman” jawab Akmal dengan suara parau.
“Aulia ini temanmu?” pekik Irfan tak percaya
“Iya…”
“Wah baguslah berarti aku bisa nanya banyak tentang Aulia padamu ya…”
Akmal mengangguk, “ Jadi wanita yang luar biasa itu Aulia Rahmawati?”
“Iya…”
“Mas Irfan benar, dia memang wanita yang luar biasa”
“Tapi kamu jangan sampai jatuh cinta padanya loh Mal”
Akmal terdiam.
“Ah…Aulia kan hanya temanmu, tak mungkin kamu jatuh cinta padanya”
“Aku … “ Akmal menatap atasannya, “Aku sebenarnya baru sadar bahwa aku telah lama jatuh hati pada Aulia. Perasaan yang masih sama dengan perasaan saat pertama kami bertemu, meskipun itu sudah delapan tahun yang lalu”

Aku menatap ke arah Mas Akmal. Mata yang sama dengan mata yang selalu kurindukan. Sorotnya begitu teduh hingga membuatku merasa begitu nyaman.

===
Jakarta, 11 Agustus 2011







Kamis, 11 Agustus 2011

Andai saja kau tahu



Benar-benar malam yang berat. Pukul sepuluh malam aku beranjak tidur. Tiap jam aku terbangun. Terasa dingin malam menusuk tulangku, namun bukan itu yang membuatku resah. Mimpi di setiap kali aku tertidur. Mimpi tentang dirimu. Harus berapa kali aku akui jika aku telah menyerah. Hatiku telah tertawan oleh keberadaanmu. Sejak perjumpaan pertama kita setelah sekian tahun tak berjumpa. Apakah ini hanya dirasakan oleh hatiku saja. Dan dirimu begitu mudahnya berlalu.

Malam ini masih menyisakan keperihan bagiku. Aku terbangun pukul tiga pagi. Mata ini tak mampu terpejam lagi. Akhirnya kuputuskan untuk makan sahur. Kemudian kulanjutkan keramas. Dinginnya udara rupanya mengalahkan dinginnya air. Aku merasa kantukku hilang tak berbekas. Kulanjutkan tahajud. Sudah hampir seminggu aku berhalangan untuk sholat. Terasa sejuk kurasakan dalam hatiku, bertemu kembali dengan-Nya.

Apa yang Allah tulis tentang kita? Ingin sekali aku tahu apa yang tengah terjadi atas diriku. Rasa nyaman dan aman yang kurasakan. Rasa bahagia saat aku tahu kau ada. Namun aku benar-benar tidak tahu apa yang kelak terjadi diantara kita. Mungkinkah Allah menyatukan kita dalam ikatan jodoh?

Aku melihat begitu indah tatapanmu padaku. Aku melihat begitu tulusnya perhatianmu. Namun aku tak berani terlalu berharap. Aku tak ingin terluka. Aku hanya ingin diriku dan orang-orang disekitarku bahagia. Dunia ini begitu indah, bukan?

Seolah sang waktu kembali memojokkanku dalam keheningan hati. Kau makin menjauh. Aku tak bisa kehilanganmu. Walaupun dulu aku yang kerap meninggalkanmu. Namun kali ini aku tak pernah berpikir kau akan meninggalkanku. Entah apa yang tengah tertulis dalam Lauhul Mahfudz. Hatiku terluka saat ini. Dan aku tak mengerti apa yang harus kulakukan.

Aku membutuhkanmu, sangat butuh akan hadirmu. Tak pernahkah kau rasakan apa yang kini kurasakan. Ternyata hatiku tak mampu berdusta, aku merindukanmu. Mungkinkah aku telah salah memilih hatimu sementara kau berlalu begitu saja. Aku sungguh tak ingin kau pergi. Aku membutuhkanmu.

Entah mengapa pedih kurasakan saat tak ada kabar darimu. Tak biasa diriku melewatkan malam tanpa perhatianmu. Apa aku telah salah? Kuberharap tidak ada lagi tangis dari mataku ini. Aku tak sanggup untuk terluka.

Aku bahagia saat kau ada…

Andai saja kau tahu tentang janjiku bertahun lalu. Aku memang meninggalkanmu tapi saat itu aku berjanji akan menemanimu suatu saat nanti. Mungkinkah Allah kini menagih janjiku saat itu. Pertemuan ini bukanlah hal yang biasa. Kurasakan keteduhan saat bersamamu. Kurasakan nyaman dan indah saat kau hadir.

Andai saja kau tahu betapa ketulusan rasa kasihku ini. Mungkin kau takkan tega melihatku terluka. Namun mengapa kini kau biarkan aku sendiri. Aku sangat membutuhkanmu, sangat membutuhkanmu. Tak bisakah kau membuat seuntai senyum dalam kehidupanku yang penuh airmata. Aku tak setangguh yang terlihat. Aku tak sehebat yang mereka katakan. Bagaimanapun aku tetaplah seorang wanita yang membutuhkan imam dalam kehidupanku.

Andai saja kau tahu betapa bahagianya aku saat kau menemuiku. Aku berharap itu bukan hanya sebuah mimpi. Aku sangat membutuhkanmu, sangat butuh.

Apa yang kini harus kulakukan?
Andai saja kau tahu…

===
Tangerang, Agustus 2011

Dari Sujud ke Sujud



Sejuta doa kulebur untuk cinta …
Esa meletakkan ponselnya ke dalam tas. Hatinya gundah. Beberapa message yang dia tulis untuk Iman tidak berbalas. Kerinduan hatinya kian membuncah. Seandainya mampu dijelaskan semua rasa hatinya pada lelaki bernama lengkap Iman Akbar Al Aziz.

Masih terasa tatapan dari mata jernih Iman, meski terakhir bertemu lebih dari dua bulan yang lalu. Bagaimanapun Esa sudah mengenal Iman sejak semasa SMA. Ketika Iman masih menjadi senior Esa, dan mereka kerap akrab saat berada di bimbel (bimbingan belajar). Itu sudah hampir delapan tahun yang lalu.

Sebenarnya Esa sudah hampir melupakan Iman sejak dia meninggalkan kampus. Pekerjaannya yang jauh dari keluarga, membuatnya sedikit melupakan segala yang ada di daerah asalnya yaitu di Surabaya. Dan tiba-tiba sosok bernama Iman muncul di media share bernama facebook. Sejak saat itu hampir tiap hari Esa tersenyum bahagia. Tiap hari Iman menanyakan kabar dan kegiatan Esa. Bagaimanapun setiap orang akan bahagia jika ada yang memperhatikan, meski Esa tak yakin Iman mencintainya.

Pertemuan pertamanya dengan Iman membuat hatinya sangat berbunga-bunga. Tak pernah ada cinta yang menghampirinya. Tak pernah ada lelaki yang diizinkan untuk masuk ke ruang hatinya. Namun untuk Iman, semua terasa berbeda.

Tatapan Iman menyejukkan hati Esa. Apalagi demi kencan pertamanya itu Iman lembur kerja sampai pagi dan langsung menuju tempat kos Esa di Jakarta. Padahal jarak antara tempat kos Iman dan Esa cukup jauh. Iman sendiri merasa nyaman tinggal di Tangerang.

“Mas, aku sudah janji pada Allah untuk menemanimu. Janji itu telah begitu lama kuikrarkan, janji itu sudah tujuh tahun yang lalu.” Gumam Esa, “Tak tahukah aku kerap menangis karenamu, Mas. Aku sudah terlanjur sayang. Mas, bagaimana aku bisa meredakan rasa sakit ini. Mengapa harus ada seorang Nita diantara kita. Mengapa cinta ini sulit sekali untuk bersatu. Aku bisa merasakan cintamu, namun tak bisakah kau rasakan besarnya cintaku padamu?”

Materi pelatihan rupanya tidak bisa masuk ke otak Esa. Wanita bertubuh pendek itu akhirnya memohon izin untuk ke luar ruangan. Esa menelpon ibunya.

“Assalamualaikum Ibu”
“Waalaikumsalam Nduk”
“Ono opo tho, kok kowe nangis?”
“Mboten ngertos Bu, kula namung sumpek kemawon”
“Kudu sabar Nduk…” kata ibu Esa lewat telepon.
“Inggih Bu..” Esa menghapus airmata yang kini begitu akrab dengan parasnya.
“Insya Allah Iman ora suwe karo Nita”
“Ibu …”
“Iya Nduk…”
“Kok Mas Iman tego inggih Bu kale kula?”
“Ibu mesti ndungo kanggo kowe Nduk, cah ayu…”
Esa sekali lagi tak sanggup menahan kepedihan hatinya
“Esa klintu nggih Bu?”
“Ora Nduk, insya Allah Mas Iman sadar nek kowe luwih apik tinimbang Nita”
“Ibu, niki rasanipun sakit ing ati kula”
“Kudu sabar Nduk…”
“Nyuwun pandunganipun inggih Bu”
“Insya Allah anakku”
“Ibu, sampun nggih. Kula taksih pelatihan niki”
“Nduk … Ibu pesen, kowe ora usah sedih-sedih. Mengko nek loro sakno awakmu”
“Inggih Bu… Assalamualaikum”
“Wa’alaikumsalam. Barokallah Nduk”

Ini tentang seorang Esa. Wanita luar biasa yang kerap menemani-Nya ketika para makhluk lain tertidur pulas. Wanita yang luar biasa mandiri dengan segala kecerdasannya. Tak pernah ada kekasih di dekatnya, sebagai bukti cinta pada-Nya. Dan keyakinan hatinya saat Iman datang untuk menjadi pasangan hidupnya kini membuatnya terluka. Rasa sayang itu masih sama. Harapan itu masih tertuju pada seorang Iman.

Kini Esa tidak lagi tinggal di Jakarta. Semenjak Iman menyatakan bahwa dia suka tinggal di Tangerang, Esa memutuskan untuk tinggal di Tangerang. Bagaimanapun dia bersikap, namun di mata banyak orang dia adalah wanita tangguh.

Seharian Esa murung, seharian Esa bersikap dingin. Bagaimana bisa tersenyum jika lelaki yang diharapkannya kini mulai menjauh. Apakah Allah tidak ingin melihatnya bahagia?

Pikirannya kini berkecamuk tanya apa gerangan yang terjadi pada Iman? Tak pantas dia hanya memikirkan seorang makhluk-Nya. Tak pantas sekiranya dia berduka terlalu dalam. Tapi bagaimana dengan janji tujuh tahun lalu. Bukankah Iman tak pernah mendengar janji itu.

“Mas, aku sayang sama Mas Iman” gumam Esa.

Suara adzan dhuhur terdengar nyaring. Menyentuh tiap jiwa yang melabuhkan cinta pada-Nya.

Ya Rabb, dalam sujud ini hamba memohon
Hamba tak pernah merasakan sakit seperti ini sebelumnya
Hamba sangat mencintai-Mu
Hamba ingin selalu dalam naungan kasih-Mu
Ya Rabb, tunjukkan jalan terbaik untuk hamba
Pilihkan jodoh terbaik untukku
Jika memang Mas Iman jodohku maka mudahkan bagi kami untuk menikah atas rahmat dan ridha-Mu
Mudahkanlah kami membina keluarga sakinah mawadah warahmah atas cinta dan kasih-Mu


Bagaimana kujelaskan cinta karena itu tak dapat dijabarkan
Sesuatu yang indah terlahir dari rasa
Dan rasa itu karunia illahi
Bagaimana kujelaskan cinta
Bila malu selalu melandaku
Semua rasa itu mau resah bahagia takut dan cemburu karunia illahi
Dari sujud ke sujud sejuta doa kulebur untuk cinta
Dalam hati ada tanda manusia hablum minannaas
Dari sujud ke sujud kutasbihkan hanya untuk cinta
Subhanallah cinta kita terus bertasbih.

Lirik lagu “Dari sujud ke Sujud” membuat hati Esa semakin menangis

Tiba-tiba HP-nya bergetar, sebuah message.
“Gimana Mbak pelatihannya?”
Dari : Hamdan

===
Kantor perwakilan PT PJB
Jl Gatot Subroto Jak Sel

Selasa, 02 Agustus 2011

Arti Cinta 2


“Kamu anak akselerasi kan?” tegur Ikmal
Hasna tertegun, bagaimana bisa lelaki itu mengenalinya. Padahal dia sudah memakai jaket saat di bimbel (Bimbingan Belajar). Tentu saja Hasna tak ingin seorang pun tahu bahwa dia adalah salah satu siswi di sekolah terbaik se-Surabaya. Apalagi sampai tahu jika dia adalah siswi akselerasi yang menjalani masa SMA selama dua tahun saja.
“Kamu generasi satu kan?” tegur Ikmal kembali
“Kok Mas tahu?” tanya Hasna hati-hati
Ikmal tersenyum, “Aku tahu”
“Boleh Hasna tahu nama Mas siapa?”
“Aku Ikmal, generasi satu. Namamu Hasna?”
Hasna mengangguk pelan.

Ikmal masih membayangkan hari-hari yang dia lalui bersama Hasna. Keceriaan Hasna dan kecerdasan wanita itu kerap membiusnya. Entah mengapa hatinya selalu mengatakan Hasna adalah wanita yang tepat untuk menjadi ibu dari anak-anaknya.

Kini berita pernikahan Hasna membuat hati Ikmal bergetar hebat.
Hasna Arifah, ST dan Naufal Mumtaz Adz Dzaki, ST.

Jodoh memang sudah ditentukan Allah dalam Lauhul Mahfudz. Tak peduli seberapa besar rasa sayang Ikmal pada wanita bernama Hasna. Tak peduli seberapa lama Ikmal menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.

Pertemuan yang tak pernah disangka terjadi beberapa bulan lalu. Tatapan Hasna masih cerdas seperti tujuh tahun lalu. Senyum dan keramahannya masih sama. Pesonanya masih memukau. Sampai akhirnya Ikmal yakin Hasna memang tercipta untuknya. Apalagi perhatian Hasna lebih dari sekedar sahabat.

Teruntuk wanita yang luar biasa dalam kehidupanku
Bagaimana aku bisa melupakanmu
Tahun demi tahun kulewati untuk menanti keajaiban ini
Aku bahagia saat menemukanmu
Aku tak peduli seberapa sibuknya diriku
Aku selalu ingin bertemu denganmu
Menatap jernihnya matamu
Melihat manisnya senyumanmu
Mendengarkan celotehmu
Aku selalu merindukanmu


Teruntuk wanita yang istimewa
Bagaimana aku bisa mengikhlaskanmu bersamanya
Sementara aku menunggumu terlalu lama
Aku bahagia saat kau perhatikanku
Aku tak peduli apa yang orang katakan tentangmu
Bagiku, kau begitu hebat
Bagiku, kaulah wanita terbaik


Teruntuk wanita yang telah memikat hatiku
Tak cukupkah perhatianku selama ini
Tak bisakah mataku ungkapkan besar cintaku padamu
Mengapa justru dia yang mendapatkanmu
Padahal hatiku telah yakin kau tercipta untukku

Teruntuk wanita yang berarti dalam hidupku
Bagaimana meredakan kekecewaan ini
Melihatmu bersamanya, sungguh aku tak sanggup
Namun jika ini merupakan jalan yang telah Allah tentukan
Seharusnya hati ini ridha menghadapinya
Seharusnya aku bahagia jika dirimu bahagia
Tak peduli kau telah memilihnya
Tak peduli kau telah menyakitiku

Teruntuk wanita yang selama ini kurindukan
Semoga kau berbahagia selalu
Semoga Allah memberiku penggantimu
Wanita yang mampu meluluhkan hatiku
Wanita yang mampu meredakan amarahku
Wanita yang mampu memberiku kesejukan
Wanita yang mempu mengubah resahku menjadi bahagia
Wanita yang tangguh
Wanita yang luar biasa dalam kehidupanku


Teruntuk wanita yang pernah menjadi bagian dari cintaku
Aku masih mencintaimu

“Mas Ikmal” sapa Afham
“Hei, salam dulu dong” tegur Ikmal
“Assalamualaikum Mas…”
“Wa’alaikumsalam. Tumben malam-malam begini telpon?”
“Mas, gawat Mas…”
“Apanya yang gawat Dek?”
“Mbak Hasna tag undangan pernikahan di facebookku”
“Oh…”
“Mas Ikmal sudah tahu?”
“Mas juga baru tahu.”
“Bukannya Mbak Hasna suka sama Mas Ikmal”
“Wanita shalihah tidak akan menikah dengan lelaki yang dicintainya melainkan mencintai lelaki yang menikahinya”
“Mas Ikmal jujur dong sama Mbak Hasna, tentang perasaan Mas selama ini”
“Mas kan sudah bilang, Mas tidak tahu perasaan Hasna terhadap Mas”
“Afham yakin Mbak Hasna ada perasaan kepada Mas Ikmal”
“Kalaupun perasaan itu ada pastinya sudah terlambat”
“Mas Ikmal mesti berjuang untuk mendapatkan Mbak Hasna. Percuma saja waktu tujuh tahun untuk mencintai wanita yang kini malah akan menjadi istri lelaki lain”
“Sudahlah Dek”
“Afham tahu betapa terpukulnya Mas Ikmal”
“Afham, sudahlah”
“Mas harus menelpon Mbak Hasna”
“Apa yang harus aku bicarakan padanya Dek?”
Sejenak hening
“Mas Ikmal tanya apakah Mbak Hasna pernah ada perasaan suka sama Mas atau tidak”
“Gila…enggak mungkin”
“Mas…ayolah”
“Pernikahan Hasna dan Naufal tinggal seminggu lagi. Aku tak mau mengacaukannya”
“GeeR amat sih Mas, kan belum tentu juga Mbak Hasna suka sama Mas”
“Hehe…iya ya”
“Hanya sekedar cari tahu saja Mas”
“Aku nggak bisa Dek”
“Jangan membuat kesalahan untuk ketiga kalinya Mas”
“Tiga kesalahan, banyak amat?”
“Pertama, membiarkan tujuh tahun tanpa kepastian. Kedua, tidak silaturahim saat hari raya idul fitri sebulan lalu.”
“Ketiga?”
“Mas membiarkan diri Mas terus bertanya-tanya apakah Mbak Hasna benar-benar suka sama Mas”
“Kamu sok dewasa”
“Mas, just do it. Okay?”
“Aku nggak ngerti darimana mulainya Dek”
“Think about it”
Afham menutup telponnya tanpa salam. Ikmal menggeleng pelan. Terkadang Afham yang lima tahun lebih muda darinya memang memiliki pemikiran yang dewasa.

===
“Assalamualaikum….”
“Waalaikumsalam Mas Naufal”
“Gimana kabarnya Dek?”
“Alhamdulillah sehat”
“Syukurlah, gimana sudah siap untuk menjadi Nyonya Naufal?”
“Insya Allah”
“Ya sudah Dek, aku mau pulang dulu”
“Mas masih di kantor?”
“Iya…tadi lembur sebentar”
“Hati-hati di jalan Mas”
“Iya Dek, assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”

Hasna menatap layar monitor HP-nya yang tertulis called : Ikmal
Entah mengapa hatinya merasakan kecewa ketika nama itu muncul. Padahal dua bulan lalu dia begitu merindukan kehadiran Ikmal dalam hidupnya. Padahal dua bulan lalu dia begitu yakin akan cinta Ikmal. Padahal dua bulan lalu dia begitu yakin akan mendampingi hidup Ikmal.

“Assalamualaikum Mas Ikmal” suara Hasna terdengar tercekat.
“Waalaikumsalam Dek, gimana kabarmu?”
“Alhamdulillah sehat, Mas Ikmal sendiri gimana kabarnya?”
“Baik Dek…”
“Mas, minggu depan Hasna nikah. Kalau Mas Ikmal ada rencana liburan ke Surabaya, datang ya…”
“Naufal itu teman kerjamu?”
“Iya Mas…”
“Selamat ya Dek”
“Mohon doanya ya Mas”
“Insya Allah”
“Mas Ikmal…”
“Ya?”
“Kemarin lebaran kok nggak mampir ke rumah? Keluarga Hasna nunggu loh”
“Kemarin sibuk Dek”
“Waktu lebaran itu Hasna dilamar sama Mas Naufal”
“Wah…seru dong…”
“Sebenarnya Hasna saat itu berharap Mas Ikmal yang datang”
“Kenapa kok berharap aku datang? Memangnya sudah nyiapin kue banyak ya…”
“Mas Ikmal, Hasna menunggu Mas terlalu lama”
“Menunggu apa Dek?”
“Hasna senang sekali saat bertemu dengan Mas, Hasna pikir Mas Ikmal memang tercipta untukku”
Ikmal terdiam.
“Mungkin Mas Ikmal tidak pernah bisa merasakan apa yang Hasna sudah rasakan”
“Dek, aku benar-benar tidak mengerti apa yang kamu bicarakan”
“Sudahlah Mas… maafkan Hasna ya…”
“Adek enggak salah kok”
“Iya…mungkin memang tidak ada yang salah”
“Loh…kok Adek malah nangis”
“Maafkan Hasna Mas…”
Hasna mengakhiri pembicaraannya dengan Ikmal.

Wanita memang makhluk yang paling tidak dapat dimengerti. Dalam bahagia, dalam duka selalu saja ada airmata. Seharusnya Hasna bahagia atas pernikahaannya yang akan terlaksana seminggu lagi.

“Mbak Hasna suka sama Mas Ikmal” komentar Afham ketika melihat kakaknya yang tertegun menatap layar HP-nya.
“Percuma Dek” Ikmal menatap adeknya lalu tersenyum.
“Belum jodoh Mas…”
“Iya…hidup, mati, rezeki dan jodoh sudah ditetapkan oleh Allah”
Afham memeluk kakaknya.
“Berasa seperti kisah KCB ya?” Ikmal mencoba menenangkan suasana hatinya.
“Apaan KCB?”
“Ketika Cinta Bertasbih”
“Ngawur kamu Mas…berarti kamu masih berharap Mbak Hasna akan menikah denganmu dong”
“Itu kan ceritanya Azzam sama Anna, bukan antara Ikmal dan Hasna”
“Atau Mas mbuat aja ceritanya, lumayan seru sih”
“Seru apanya?”
“Nggak bisa mbayangin aja, sama-sama suka dan tidak berani mengungkapkan sampai lebih dari tujuh tahun. Apalagi rasa cinta itu masih sama ketika kalian lama tidak bertemu.”
“Lebay kamu Dek”
===

Jakarta, 2 Agustus 2011

Arti Cinta




Allah tak akan menyalahi janji …

Hasna Arifah tertegun di sepertiga terakhir malam. Bersujud setelah melaksanakan sholat tahajud. Airmata belum juga kering dari sudut matanya. Kini suara takbir bergema di seluruh pelosok dunia. Menyiratkan keagungan Alah SWT. Sudah bertahun ini doa di setiap sujudnya sama, Illahi syafarat yadayya fatrubhuma.

Bergulir kisah di sekitarnya, merapuhkan hati Hasna. Entah mengapa Allah masih juga membiarkan airmatanya kerap mengalir. Berharap akan ada seseorang yang menghapus airmata ini.

“Hasna” panggil ibunya.
Hasna terbangun dari sujudnya, “ Dalem”
“Siap-siap sholat subuh jama’ah”
“Inggih Bu”
Wanita berusia 50 tahun itu tersenyum seraya memeluk anak sulungnya, “Kudu sabar”
“Sampai kapan Ibu?”
“Ibu selalu berdoa”
“Nyuwun pangapunten ndamel Ibu kepikiran Hasna”
Wanita itu melepas pelukannya dan menatap mata anak sulungnya. Sebuah mata yang jernih tampak berkaca-kaca. Mata yang begitu cerdas. Mata yang selalu dikagumi banyak orang. Mata yang membuat Hasna terlihat tangguh.
“Hasna sabar ya anakku”
“Hasna mboten ngertos Bu, kados pundi maleh?”
“Hasna kan anak baik, insya Allah dapat yang terbaik”
“Hasna salah nopo nggih Bu?”
Wanita itu menggeleng, “Hasna nggak salah”
“Niki berat kagem Hasna, kula mboten sanggup Bu”
“Inna ma’al usri yusro”
Hasna memeluk ibunya. Membuncahkan kesakitan hatinya dengan tangis. Perempuan selalu menangis. Perempuan itu terlalu lemah.
“ Hasna mesti percaya Allah nggak tidur, Allah akan menolong hamba yang menegakkan agama-Nya”
Hasna mengangguk pelan, “ Ibu, kula nyuwun pangapunten sedaya kelepatan”
Wanita itu tersenyum, “Hasna, watthayyobatu litthayyiban walkhabitsu lil khabitsan”
“Insya Allah Bu, nyuwun pandunganipun supados kula dipun paring kesabaran kalian Allah”
“Insya Allah”

===
Afham menatap paras kakaknya yang murung
“Kenapa Mas?” tanya Afham pada Ikmal.
“Entahlah Dek, perasaan Mas nggak enak”
“Mas,masih kepikiran Mbak Hasna?”
Ikmal menatap adiknya, “Entahlah”
Suara adzan subuh terdengar.
“Kalau Afham jadi Mas Ikmal, Afham akan memperjuangkan cinta dan berusaha mendapatkan Mbak Hasna”
“Tapi … Mas nggak berani bicara ke Ibu Bapak. Apalagi kondisi Bapak yang sakit-sakitan. Mas harus konsen dulu ngurus keluarga”
“Lalu membiarkan Mbak Hasna menjadi isteri lelaki lain?”
“Mas suka Hasna sejak SMA, tapi Mas nggak tahu perasaan Hasna terhadap Mas”
“Mbak Hasna menunggu Mas Ikmal”
Ikmal menatap tegas adiknya. Afham Firdaus meninggalkan Ikmal Muwaffaq untuk mengambil wudhu dan bersiap sholat jama’ah subuh di masjid dekat rumah.
===

Idul Fitri yang membahagiakan bisa berkumpul bersama keluarga.
“Naufal, mana calon isterimu?” goda ayah Naufal Mumtaz Adz Dzaki pada anak semata wayangnya.
Sejak membatalkan pertunangan dengan Indira, Naufal tidak pernah menunjukkan ada wanita yang mengisi hatinya.
“Ayah ini bicara apa?” sangkal Naufal
“Lah bukankah Naufal punya rencana menikah akhir tahun ini, Ayah kan ingin tahu calonmu anak mana”
“Eh Ibu juga ingin tahu, apa dia sama cantiknya dengan Indira” sahut Ibu Naufal.
“Yang penting anaknya baik dan bisa menemani aku, Bu” jawab Naufal
“Ya sudah cari saja teman kerjamu. Bersyukur kalau dia adalah wanita shalihah” lanjut Ayah Naufal
“Iya Fal…” sahut ibu Naufal
“Ada teman Naufal yang insya Allah shalihah. Hanya Naufal tidak tahu bagaimana perasaannya terhadapku” kata naufal
“Wanita shalihah tidak menawarkan cinta melainkan mencintai lelaki yang meminangnya. Cobalah kau tanya padanya” kata Ibu Naufal
“Ibu, wanita itu sangat tangguh. Naufal takut tidak bisa mendampinginya” kata Naufal.
Ayah dan Ibu Naufal saling berpandangan, “Tangguh?”

===
Tuhan memberikanku cinta untuk kupersembahkan hanyalah padamu
Dia anugerahkan kasih hanya untuk berkasih berbagi denganmu
Atas restu Allah kuingin milikimu, kuberharap kau menjadi yang terakhir untukku
Restu Allah kumencintai dirimu
Kupinang kau dengan bismillah
Hampa terasa bila ku tanpamu
Hidupku terasa mati jika kutak bersamamu
Hanya dirimu satu yang aku inginkan, kubersumpah sampai mati
Hanyalah dirimu

Lagu “Kupinang kau dengan bismillah” yang dinyayikan oleh Pasha dan Rossa kembali membuat Hasna menangis.
“Hasna…” tegur Ibu Hasna
“Dalem Bu”
“Tuh HP dari tadi bordering, SMS atau telpon sih”
“Masya Allah…”
Hasna segera mengangkat telpon dari Naufal.
“Assalamualaikum…”
“Wa’alaikumsalam warahmatullah Mas Naufal… mohon maaf lahir batin ya”
“Iya…sama-sama Hasna”
“Mas Naufal lagi di mana nih?”
“Surabaya”
“Oh, kupikir Mas di Semarang”
“Keluargamu gimana kabarnya, sehat?”
“Alhamdulillah sehat. Bapak dan Ibu Mas Naufal gimana kabarnya? Salam buat mereka ya”
“Hasna lagi mudik atau masih di Surabaya?”
“Aku mudiknya di Gresik Mas,insya Allah nanti sore baru berangkat ke Gresiknya.”
“Hasna, ini aku sedang menuju rumahmu”
“Apa Mas?”
“Hasna, orangtuaku ingin mengenalmu”
“Tapi?”
“Boleh ya?”
“Oke, kami tunggu.”
“Makasih Hasna, assalamualaikum”
“Wa’alaikumsalam”

“Naufal mau ke sini?” selidik Ibu Hasna
“Hehe…cowok ganteng” Hasna meringis
“Tuh cuci muka biar nggak kelihatan habis nangis”
“Inggih Bu”
“Ada apa kok tiba-tiba Naufal mau datang ke rumah?”
Hasna mengangkat bahu, tandanya tidak tahu.
“Mungkin untuk melamarmu”

Aku berharap Mas Ikmal yang datang ke rumah. Aku masih berharap Mas Ikmal yang melamarku. Aku sudah mengenal Mas Ikmal sejak SMA. Aku juga satu kampus dengannya. Aku merasa nyaman saat bersamanya. Aku merasa bahagia saat bertemu dengannya. Aku masih sangat berharap menjadi pendamping bagi Mas Ikmal

Ikmal yang selama ini mengisi kehidupan Hasna dengan tawa dan senyuman tiba-tiba saja menghilang. Entah apa alasannya. Mungkin karena Hasna terlalu pintar dan tangguh untuk bisa disampinginya. Hasna memang berbeda dari wanita kebanyakan. Hasna sangat istimewa. Hasna Arifah, sesuai namanya yang berarti wanita cantik dan berilmu. Hasna memiliki akhlak yang luar biasa cantik dan dia wanita yang cerdas.

Hasna mencoba menghubungi nomer ponsel Ikmal, namun rupanya nada sibuk yang terdengar.

===
“Ibu, Mas Ikmal mau mengenalkan calon isterinya” kata Afham di sela-sela makan ketupat sayur, hidangan khas lebaran.
“Oh ya?” wanita berusia 55 tahun itu menatap mata anak sulungnya, Ikmal Muwaffaq
“Masmu kan nggak pernah pacaran, beda sama kamu Le…” sahut lelaki berusia 60 tahun
“Itu Yah…masalahnya Mas Ikmal ini nggak berani bilang ke Bapak ataupun Ibu” sahut Afham
Sementara Ikmal hanya terdiam tanpa peduli ocehan adiknya.
“Namanya Hasna Arifah, teman SMA-nya” lanjut Afham
Ikmal tersedak, “Afham…”
“Anak mana Mal?” tanya ibu
“Hasna? Anak Surabaya”jawab Ikmal
“Lah… kenapa kita tidak silaturahim saja ke rumahnya Yah…Ibu penasaran dengan wanita yang sudah memikat hati anak sulung kita ini. “ kata ibu
“Telpon Hasna dulu, siapa tahu dia lagi mudik ke rumah nenek atau saudaranya” putus ayah bijak
Ikmal mengambil ponselnya dari saku. Namun ternyata nomer telepon yang dia hubungi sedang sibuk.

===
“Hasna berbeda dua tahun dariku Bu, namun dia jauh lebih dewasa. Sekarang dia tinggal di Tangerang, rumahnya sendiri. Dia juga rajin sholat dan santun. Maka dari itu sebenarnya Naufal minder”
“Kamu kan ganteng toh” puji Ibu Naufal
“Wanita sholihah lihat hati bukan fisik Bu” sahut Naufal sambil mengendarai mobil milik ayahnya.
“Jodoh itu Allah yang menentukan, yang penting sudah ikhtiar” sahut ayah Naufal.
“Hasna tidak secantik Indira” kata Naufal
“Yang dilihat lelaki sholih itu hati bukan fisik” sahut ibu Naufal
“jika seandainya Bapak dan Ibu merasa cocok dengan Hasna, Insya Allah kami lamarkan Hasna atasmu” kata ayah Naufal
Tiba-tiba mobil terhenti mendadak.
“Naufal belum siap Yah…” kata Naufal
“Dulu ayah juga begitu merasa belum siap untuk menikahi ibumu. Tapi kakek dan nenek percaya bahwa sebenarnya ayah sudah pantas untuk menjadi suami. Bahkan waktu itu usia ayah masih muda, dua puluh dua tahun.” Sahut ayah Naufal
“Kalau niat kita karena Allah, insya Allah akan dilancarkan. Naufal mesti percaya itu” sahut ibu Naufal
“Sebenarnya Naufal pernah bermimpi melamar Hasna, Bu” suara Naufal agak tercekat
“Oh ya???” sahut Ibu dan ayah Naufal

===
Hasna tertunduk saat Naufal berada di hadapannya. Entah mengapa tiba-tiba dia terdiam. Padahal biasanya Hasna sering menggoda naufal dengan sebutan cowok ganteng. Dan Naufal juga biasanya memanggil Hasna dengan sebuta ndul (kepanjangan dari gundul).
“Afwan, mohon maaf jika kedatangan kami merepotkan Bapak dan Ibu dari Nak Hasna. Saya kira ini waktu yang tepat untuk silaturahim, mengingat putra-putri kita tinggal jauh di Jakarta. Perkenankan saya, sebagai Ayah dari anak kami satu-satunya Naufal Mumtaz Adz Dzaki untuk lebih mengenal keluarga Nak Hasna. Sepanjang perjalanan tadi Naufal sudah bercerita banyak tentang Nak Hasna” ucapan ayah Naufal
“Kedatangan Nak Naufal memang sempat mengejutkan kami sekeluarga. Kami tidak menyangka akan kedatangan tamu terhormat.” Ucap Ibu Hasna, “ Ini kedua kalinya saya bertemu dengan Nak Naufal, rupanya tambah ganteng ya…”
“Iya Bu, Naufal memang putra kami yang paling ganteng” sahut Ibu Naufal.
Sementara itu Naufal tersenyum dengan pipi kemerahan.
“Tidak membuang banyak waktu. Saya sebagai Ayah Naufal memiliki niat untuk melamar Hasna sebagai calon isteri Naufal” kata Ayah Naufal.
“ Yah, kan belum nanya ke Dek Hasna” sela Naufal.
Ayah Naufal menatap teduh pada Hasna yang sudah mulai mengangkat mukanya. Terlihat pancaran cerdas dari mata Hasna. Tatapan yang teduh, yang penuh dengan cahaya.
“Ayah yakin Hasna adalah wanita terbaik untukmu, Nak” ayah Naufal menepuk bahu anaknya.

Mungkinkah mimpi itu benar adanya. Hasna masih mengingat jelas saat pertama kali dia sholat istikharah. Wajah Ikmal di mimpinya, dan wajah Naufal yang mengatakan bahwa Hasna adalah calon isterinya. Serta surat Al A’raf yang dibacanya di mimpi (Al A’raf yang berarti tempat tertinggi). Secara ilmu memang Naufal jauh lebih baik daripada Ikmal.

“Hasna” tegur ibu Hasna, “Tidak perlu buru-buru menjawab”
Ibu Hasna tahu betul perihal perasaan anaknya pada Ikmal, lelaki yang telah bertemu dengannya sebanyak dua kali. Lelaki lembut dan berwibawa. Lelaki yang menjadi pujaan anaknya sejak tujuh tahun lalu. Lelaki yang mampu membuat mata Hasna bercahaya. Lelaki yang mampu meneduhkan hati Hasna. Lelaki yang mampu member rasa aman dan nyaman.
“Insya Allah, Hasna terima Bu” bisik Hasna pada ibunya.
Ibu Hasna tertegun sejenak. Lalu berbisik ke Bapak Hasna. Ayah dan Ibu Naufal saling berpandangan.
Bapak Hasna tersenyum, “Insya Allah kami terima lamaran nak Naufal”
“Alhamdulillah” jawab Ayah dan Ibu Naufal
“Kita tentukan saja tanggal pernikahannya” sahut ibu Naufal.
Naufal tampak bersujud syukur. Hasna juga.

===
“Mas Ikmal… silaturahimlah ke rumah Mbak Hasna” celoteh Afham.
“Sebenarnya saat pertemuanku kedua dengan orangtua Hasna, mereka minta supaya Mas silaturahim saat lebaran” oceh Ikmal
“Lha terus kenapa Mas Ikmal masih di sini”
“Mas masih ragu Dek”
“Ragu kenapa Mas?”
“Entahlah…rasanya Mas terlalu sayang pada Hasna, tapi Mas merasa sulit untuk mengungkapkannya”
“Wanita itu butuh kepastian Mas”
“Mas takut membuatnya menangis. Kehidupan yang telah dijalani Hasna cukup terjal. Itulah sebabnya dia menjadi wanita yang berbeda dengan yang lain. Dia mandiri dan tangguh”
“Hmm…jadi penasaran seperti apa sih Mbak Hasna itu”
“Insya Allah dia isteri dan calon ibu yang sholeh. Ilmu agamanya luar biasa baik”
“Lalu, Mas Ikmal nunggu apa? Kalau seandainya detik ini Mbak Hasna dilamar orang nanti Mas nyesal loh”
“Kok kamu doanya gitu Dek?”
“Lah Mas Ikmal sendiri gak berani”
“Mas hanya belum siap”
“Tapi Mbak Hasna sudah siap”
“Hasna akan menungguku”
“Bagaimana Mas Ikmal bisa seyakin itu, wanita sholihah tidak menikah dengan orang yang dicintai tapi mencintai orang yang menikahinya”
“Eh sejak kapan kau bijak seperti ini”
“Dikit-dikit curi dengar dari Ikwan kampusku”
“Oh begitu ya?”
“Tapi semua kembali lagi ke Mas Ikmal. Mungkin harus yakin kalau Mbak Hasna adalah jodoh Mas Ikmal pasti dia khusus tercipta buat Mas seorang. Hihihi…”
“Amin…”
“Telpon Mbak Hasna dong Mas…”
“Dari tadi kutelpon tapi tidak diangkat”
“Mas… apa mungkin terjadi sesuatu dengan Mbak Hasna?”
“Maksudnya?”
Afham mengangkat bahu, “ Entahlah”
===

Untuk lelaki yang pernah ada di hatiku
Untuk lelaki yang pernah hadir dalam kehidupanku
Untuk lelaki yang pernah mengubah tangisku menjadi senyum
Untuk lelaki yang kunantikan lama
Saat ini hatiku sangat bahagia
Karena aku telah menemukannya
Lelaki tangguh yang sanggup berada di sampingku
Walaupun itu bukan dirimu


Untuk lelaki yang luar biasa cerdas
Untuk lelaki yang selalu kupuji
Untuk lelaki yang kuharap menjadi imamku
Untuk lelaki yang saat ini tak berada di sini
Saat ini kubuka hatiku untuknya
Menerima pinangan dari lelaki asing
Lelaki yang bersedia meluangkan seluruh waktunya untukku
Walaupun itu bukan dirimu


Untuk lelaki yang selama ini kuimpikan
Untuk lelaki yang selalu kurindukan
Untuk lelaki yang pernah menjadi bagian dari kasihku
Untuk lelaki yang telah diridhoi kedua orangtuaku
Mungkin kau tak pernah tahu perasaanku padamu
Hingga kau tinggalkan aku begitu saja
Tak peduli banyaknya airmata yang mengalir tiap akhir tahajudku
Maafkan semua khilafku
Saat ini aku bersyukur pada Allah
Yang telah memenuhi janji-Nya
Watthayyibatu litthayiban
Walaupun itu bukan dirimu


Untuk lelaki yang aku dambakan
Untuk lelaki yang kubanggakan
Untuk lelaki yang pernah mengisi kekosongan hidupku
Untuk lelaki yang mereka kira akan bersamaku
Saat ini semua pertanyaanku terjawab sudah
Insya Allah dirinya adalah jodoh terbaik yang dikirim Allah untukku
Semoga kau juga menemukan bidadari pendampingmu
Yang shalihah dan berbakti padamu


Hasna menulis berbait puisi pada selembar kertas yang tentu saja curahan hatinya untuk Ikmal Mufawwaq, lelaki sempurna yang memberi kebahagiaan.

Ibu Hasna memeluk putri sulungnya, “Insya Allah Naufal adalah jawaban yang selama ini kamu cari Nak”
“Ibu…” Hasna bermanja kepada ibunya.
“Ibu selalu mendoakanmu”
“Insya Allah, mugi-mugi diparingi kelancaran nggih Bu”
“Amin yarobbal alamin”
===

Tangerang, 31 Juli 2011