Kamis, 19 Juni 2014

Pandangan Itu Masih Sama






Pandangan itu masih sama, saat pertama bertemu denganmu. Tatapan meneduhkan yang mampu meluluhkan egoku. Bagaimana ada seorang lelaki yang memberanikan diri untuk bersanding denganku. Bukannya aku menyombongkan diri. Tapi jalan kehidupanku yang begitu terjal. Seolah setiap tetesan airmata selalu mengiringi perjalanku. Dan peluh atas kerja kerasku untuk mempertahankan kehidupanku dan keluargaku. 


Dirimu, lelaki pertama yang menyisipkan cerita dalam kehidupanku yang datar. Aku memang pernah mengagumi beberapa lelaki, namun hanya kekaguman yang biasa. Aku telah berjanji akan mencintai seorang lelaki yang juga mencintaiku, suamiku.


Pandangan itu masih sama, saat pertama bertemu denganmu. Tatapan meneduhkan yang mampu membuatku menerima lamaran dari keluargamu. Bagaimana aku tak bahagia, sebentar lagi aku akan menikah. Meskipun aku baru dua bulan bertemu denganmu. Dan jujur, cinta itu belum tumbuh di hatiku.


Dirimu, lelaki yang tak pernah memiliki kekasih sebelumnya. Dirimu, yang  terlalu polos menjalani kehidupan ini. 


Pandangan itu masih sama, saat pertama bertemu denganmu. Tatapan meneduhkan yang membuatku yakin bahwa engkaulah imamku di dunia, hingga di akhirat nanti. Suaramu lantang ketika mengucap akad nikah denganku. Mulai detik itu, aku adalah tanggung jawabmu. Dan hidupku sepenuhnya untuk mendampingimu.


Dirimu, selalu aku berdoa untukmu. Semoga Allah melindungimu dari segala zina dan fitnah. Semoga Allah memberkahi ikatan suci pernikahan kita.


Pandangan itu masih sama, saat pertama bertemu denganmu. Tatapan meneduhkan yang mampu menenangkanku sebelum aku menjalani cesar kelahiran anak pertamaku. Tentu saja aku ingin  melahirkan secara normal, bukan dengan cesar. Namun rupanya panggul sempit ini tak bisa membuat bayi mungilku terlahir secara normal. Kau mengecup dahiku saat aku akan memasuki kamar operasi. Rasa cintaku padamu bersemi di dalam hati.


Dirimu, lelaki yang takjub melihat buah hati kita. Begitu cantik dan menangis begitu keras. Tangis bayi kita berhenti saat kau mulai mengumandangkan adzan di telinganya.


Pandangan itu masih sama, saat pertama bertemu denganmu. Tatapan meneduhkan yang membuat kami bersyukur memiliki keluarga yang bahagia. Sosok ayah dan suami yang penyabar. Sungguh, nikmat Allah yang manakah yang mampu di dustakan?


Dirimu, lelaki yang selalu menggenggam tanganku. Lelaki yang menyayangiku dan putri kecilku. Bagiku, kau adalah anugerah terindah di duniaku.

Jakarta, 18 Juni 2014