Selasa, 22 Juni 2010

Senja di Ujung Jakarta


Aku menatap tak percaya. Mengapa dia datang kembali dalam kehidupanku? Wanita berjilbab krem itu berlari ke arahku. Dengan senyumnya yang khas dia menyebut namaku. Bagaimana dia bisa tahu aku berada di sini. Padahal telah lama aku lost contact dengannya.
“Faisal” sapa Rara menghampiriku.
“Kok kamu ada di sini?” tanyaku pada wanita yang kuperkirakan memiliki tinggi 147 cm “Tugas di sini” jawab Rara senang.
Entah mengapa ada perasaan tak nyaman di hatiku. Mungkin karena Rara seakan lama tidak bertemu denganku dan sambutannya terlalu ramah.

Sewaktu sekolah dasar, Rara adalah sainganku. Walaupun pada akhirnya dia meraih nilai DANEM tertinggi di kelas. Namun tak berhenti samapai SD karena Rara juga menjadi teman SLTP-ku. Hanya aku dan dia yang bersekolah di SLTP terfavorit di Surabaya. Sementara teman-teman lain memilih bersekolah di SLTP dekat tempat tinggal masing-masing. Tak jarang juga mereka masuk ke SLTP swasta.

Lulus SLTP, Rara meraih NEM sepuluh besar tertinggi. Aku masih ingat sekali NEM-nya saat itu 48, 91 yaitu peringkat sembilan di SLTPN 1 Surabaya. Usai SLTP, kami berbeda sekolah, dia masuk SMA 5 sedangkan aku dengan NEM pas-pasan masuk di SMA 6. Ternyata kehebohan nama Rara makin menjadi sejak dia diterima di kelas akselerasi, di mana menyelesaikan masa studi SMA hanya dalam waktu dua tahun.

Selama mengenal Rara sebenarnya terbesit kekaguman dalam hatiku. Dia lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya bekerja sebagai penjual jamu keliling, sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga. Namun semangat juang yang Rara punya mengalahkan semua mimpi yang dirasa tak mungkin tercapai.

Lulus SMA Rara melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri, itupun tanpa tes. Dia masuk melalui program PMDK Reguler. Itu menjadi satu keheranan bagiku, mengapa jalan hidupnya begitu mudah. Padahal aku yang lulus SMA satu tahun setelahnya saja masih harus mengikuti SPMB untuk masuk perguruan tinggi tempatnya kuliah.

Haha...lucu juga kalau aku ingat zaman masih menggunakan seragam putih merah. Aku dan dia hampir tiap hari tidak pernah akur. Selalu saja kami bermasalah dan masalah tersebut tidak berhenti sampai guru kelas melainkan sampai meja kepala sekolah. Aku berpikir seandainya aku dan Rara bukanlah siswa berprestasi mungkin telah lama kepala sekolah itu mengusir kami berdua.

Rara, dengan sikap tomboy-nya tidak memiliki sahabat perempuan. Semua temannya laki-laki. Yang sering ia katakan bahwa ia memiliki banyak body guard. Tapi jangan pikir aku salah satu dari anggota timnya, karena aku adalah musuh bebuyutannya. Aku dan dia selalu saja membuat masaah yang membuat guru kelas kami geleng kepala atau bahkan angkat tangan menangani kenakalan kami.

”Sudah lama di sini Ra?” tanyaku
”Sudah lama, dari November” jawabnya.
Aku tertinggal satu step lagi darinya. Dia sudah hampir menyelesaikan masa on job trainingnya di perusahaan listrik sementara aku baru menjalani diklat dan bahkan aku belum tahu akan mendapat penempatan di mana.
”Kapan pengangkatan? Udah ujian?”
”Insya Allah Agustus nanti, ujiannya sudah awal Juni kemarin”
”Itu membuat telaah staf?”
”Yup”
“Berapa lama menyusun TS?”
“Dua minggu” jawabnya santai.
Sementara teman-temanku mengawasi kami. Mereka menatap Rara penuh kagum karena Rara menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka seputar pembangkitan.

Rara mengikuti kami berkeliling menyusuri PLTGU dan menjelaskan sistem secara umum beserta auxiliary yang ada. Menurutku Rara memang bukan wanita yang menarik tapi ia wanita yang cerdas. Sesekali kulihat dia berbincang dengan Bapak Sumadji, koordinator pelatihan PLN di Cengkareng. Mereka berbincang seolah telah mengetahui seluruh ilmu pembangkitan. Tapi apa benar baru beberapa bulan saja Rara telah menguasai ilmu yang ada di sini.

Saat berbincang dengan rombongan wanita dia bercerita bahwa dia bukan dinas di unit pembangkitan melainkan di unit pemeliharaan. Dan kawasan yang menjadi wilayahnya bukan di Muara Karang tetapi di Muara Tawar. Nah lalu bagaimana dia bisa mengerti sebagian besar sistem di sini?

Kudekati Rara, kulihat ada semangat di matanya. Ada pancaran nyaman dan bahagia dari raut mukanya. Padahal Jakarta kan jauh dari Surabaya, anak manja ini ternyata bisa juga merantau.
”Sering pulang Ra?”
”Malah belum Sal, insya Allah Agustus”
”Oh...”
”Sal, minta nomer ponselnya dong”
Kusebutkan nomer ponselku. Dia menulis dengan antusias di ponselnya.

Sungguh aku masih tak percaya bahwa wanita di hadapanku ini Rara. Aku tak lagi bertengkar dengannya. Aku tak lagi bermusuhan dengannya. Bahkan sekarang ia tampak lebih dewasa. Rara yang sangat berbeda.
”Ra, tinggal di mana?”
”Kompleks PLN”
”Dikasih tempat sama perusahaan?”
”Enggak. Kontrak ma teman-teman”
”Teman-teman Rara cowok?”
Rara mengernyitkan dahi menatapku, ”Iya”
Nah ini yang tidak berubah dari kehidupan Rara. Semenjak SD sampai bangku kuliah sahabat dan teman-teman akrab Rara adalah kaum Adam. Tapi herannya dia tidak pernah punya pacar.

”Rencana nikah kapan Ra” tanya Andhini, teman satu kampus denganku yang juga berstatus OJT PLN.
”Belum ada calon, minta doanya saja ya...” jawab Rara.
Andhini menatapku, ”Tahu nggak Sal, kalau saja tadi aku nggak nyebut nama kamu di sms, pasti Rara nggak bakalan datang ke unit”
”Tadi kalian sms-an?”tanyaku
Rara tersenyum sipu, ”Aku pingin ketemu sama musuh bebuyutanku”
Aku tersenyum kecil. Rara masih menyebutku sebagai musuh. Totally not change. Rara adalah musuhku dan itu masih terpatri dalam benaknya.

Kulihat jam tangan menunjukkan pukul 11.30. segera kami berbaris rapi menuju bis. Sementara kulihat Rara asyik berbincang dengan operator yang memakai wearpack merah. Mengapa aku merasakan ada yang berbeda darinya, sekalipun dia masih menyebutku sebagai musuhnya.

============
Senja makin kentara di ujung langit Jakarta. Kupandangi lautan teduh. Sementara teman-teman lain asyik bermain di Ancol.
Andhini mendekatiku, ” Rara hebat ya...”
”Kenapa?” tanyaku
”Ya hebat dunk, kan dari tadi sepertinya semua orang lapangan kenal ma dia”
”Ya kan rekan kerjanya”
”Dia bilang kerjanya di kantor dan di lokal”
”Ya kan sesuai sama jurusannya, teknik Mesin”
”Dia memang cerdas”
Aku terdiam
”Kok dia masih menyebutmu sebagai musuh?”
”Karena dia memang musuhku”
”Tapi karena ada kamu Rara di hari liburnya tiba-tiba nongol di unit”
”Masa’?”
”Beneran...”
”Karena aku ganteng kali ya???”
Andhini memukul bahuku, ”Ya Rara naksir kamu kali Sal”

Aku melanjutkan anganku. Aku merasa melihat Rara, senyum tawa tangis semua yang pernah kulihat seakan menjadi putaran waktu, sulit kuhentikan. Mungkinkah Rara masih menyimpan juga kenangan-kenangan antara kami yang menjadi memori bahkan sejarah di Sekolah Dasar.

Aku jadi rindu Surabaya. Aku rindukan.....

Jakarta, 20 Juni 2010
Ditulis oleh : Eka S

Bintang Harapan


Jiwaku masih menari di tengah indah malam. Anganku menerawang jauh, mendendangkan suara alam. Aku merasakan keindahan ini sangat sempurna. Hampir saja diriku terjatuh.
”Mi....” panggil suamiku.
”Dalem Bi...” sahutku seraya membuang pandanganku dari para bintang. Kutatap paras suamiku yang bersih. Ia baru saja menghadiri syukuran dari tetangga sebelah rumah.
”Umi melamun lagi...?”
”Afwan...”
Kulangkahkan kakiku menuju suamiku. Tubuh tegapnya sangat menarik, sungguh sempurna. Berulang kali hatiku berucap hamdalah pada-Nya karena telah memberi suami yang begitu baik.
”Aisha sudah tidur Mi?”
”Sudah Bi...”
Dan aku tak luput bersyukur atas kehadiran bidadari cantikku yang baru berusia dua bulan, Aisha Alfitria Novanti.

Dua tahun lalu

Rian mengendarai motornya dengan kencang, padahal aku ada dalam boncengannya. Berkali-kali aku menyalahkan diri sendiri atas kelakuan nekadku. Selama ini memang teman-teman bengkel sering mencomblangkan kami. Nah aku malah membuat hubunganku dan Rian seakan-akan semakin dekat. Padahal jelas hati kami saling berperang. Rian sendiri sebenarnya sudah sangat enggan dengan kehadiranku. Namun karena malam ini hujan mengguyur sementara tidak ada angkot yang lewat, maka dengan terpaksa Rian mau mengantarkanku ke tempat kost yang tak jauh dari kantor.
”Mas jangan ngebut” pintaku
Rian tak mempedulikan kata-kataku. Mungkin pikirannya penuh kecaman terhadapku. Entah berapa banyak kebencian tertanam dalam otaknya, atau ini hanya prasangkaku saja. Sebenarnya Rian hanya tak ingin ada gosip antara kami berdua.

”Maumu apa sih Sinta?” tegur Arini dalam telpon seluler.
Aku hampir menangis ketika sahabatku itu berkata dengan nada kasar padaku. Sejak kepulanganku bersama Rian, gosip tentangku makin sater di kantor. Padahal malam itu kami tidak melakukan hal-hal yang di larang agama. Aku hanya diantar pulang oleh seorang Rian. Itupun terpaksa karena hujan dan tidak ada orang lagi di kantor. Nah...apalagi ini???
”Kalau memang kamu sudah melepas Rian ya jangan setengah-setengah. Tahu nggak sih kamu kalau jadi bahan pembicaraan di sini” lanjut Arini.
”Separah itu Rin?” tanyaku polos, ”Aku sudah tidak ada hubungan apa-apa dengan Mas Rian”
”Kamu bisa ngomong seperti itu ke aku tapi orang yang lihat kalian berdua, mana percaya dia”
”Memangnya ada yang melihat ya Rin?”
”Ya ada, mata-mata kan banyak”
”Tapi jujur aku tidak bermaksud untuk mendekati Mas Rian”
”Oke, sebagai sahabat aku mengerti. Tapi Sin...”
”Aku salah ya Rin?”
”Banget...”
”Padahal antara aku dan Mas Rian...”
”Teman-teman bengkel masih suka mencomblangkan kalian kan? Itu masalahnya”
”Itu juga cuma mainan Rin, biar nggak sepi selama perjalanan ke Bekasi”
”Oh ya satu lagi, sekarang Rian ditempatkan di Bekasi ya?”
”Iya, aku sendiri nggak tahu Rin tentang kebijakan atasanku itu”
”Padahal Rian kan sudah lama kerja di Jakarta, kok tiba-tiba dipindah”
”Aneh kan Rin...”
”Kamu berdoa apa?”
”Maksud Rini?”
”Jangan terlalu berharap Rian akan jadi jodohmu”
”Aku malah sama sekali tidak ada bayangan tentang Rian”
”Ada target lain?”
Aku benar-benar tidak tahu apa yang dipikirkan sahabatku ini. Mengapa Arini sekarang begitu berbeda. Mengapa ia tampak begitu takut aku akan terjatuh pada seorang Rian, padahal dia dulu sangat mendukung usahaku untuk mendekati Rian. Mungkin memang Rian bukan orang yang baik untuk mendampingi kehidupanku, mungkin...

Aku mengenalnya sebagai pribadi yang santun. Dia bekerja di Bekasi, dan hampir tiap hari aku bertemu dengannya di kantin kantor. Dia lebih sering makan di bawah pepohonan, katanya lebih natural. Sungguh dia pribadi yang sangat sederhana. Bagaimana hatiku tidak tertarik padanya, sementara tutur katanya sangat sopan.
”Ngekos di mana Mas?” tanyaku dalam perjumpaan kedua dengannya. Perjumpaan pertama hanya kulalui dengan senyum dan anggukan kepala.
”Aku ngontrak di Bekasi” jawabnya anpa menatap mataku. Benarkah dia seorang ikhwan. Subhanallah...
”Sama isteri Mas?”
”Iya...”
Jujur hatiku mencelos, wah ternyata sudah beristeri toh.
”Hehe... belum kok, belum punya isteri” sahutnya, mungkin ia melihat kerutan alisku. Atau ia melihat kekecewaanku yang terbias dari balik tatapanku.
Sejak saat itu aku selalu menantikan kehadirannya. Bahkan terkadang rindu ini terasa ketika sehari saja aku tidak bertemu dengannya. Jika sudah rindu aku akan membuka halaman facebookku seraya berharap dia online lalu kami akan chatting. Sekedar berbicara masalah pekerjaan.
Saat itu hatiku serasa berbunga-bunga. Aku sadar telah jatuh hati pada seorang Ikhwan bernama Alfian. Aku bertanya-tanya apakah hatinya juga telah luluh padaku? Namun aku tak berani mengungkapkan perasaanku selain pada Sang Pencipta. Aku tak pernah absen untuk bercerita tentang Alfian pada-Nya, tiap hari, tiap jam, bahkan mungkin tiap menit.

Apakah Alfian adalah jodohku ya Rabb??? jika benar dia jodohku maka dekatkanlah kami dan tunjukkan kuasa-Mu namun jika bukan dia maka jauhkanlah dan hapuslah segala rasaku ini padanya.
”Suwe...suwe...” ucap Rian kesal seraya menatap ke arahku.
Aku pun balik menatapnya kesal. Pekerjaanku masih banyak dan dia selalu terburu-buru untuk perjalanan menuju Jakarta. Memang hampir setiap hari aku dan beberapa teman bengkel perjalanan pulang pergi Jakarta Utara- Bekasi.
Rian menatap jam tangan warna hitamnya, tentu saja telah menunjukkan pukul delapan malam. Wajah capeknya jelas kentara apalagi ditunjang siluet lampu malam.
”Maaf ya Mas” ucapku luluh juga.
Entah apa yang membuat amarahku selalu reda ketika melihatnya. Apakah karena dulu aku pernah menaruh kasih padanya, atau karena aku sekarang malas marah?
Kulihat ponselku ada lima miscall, dari Arini. Dan satu message dari Arini.
’Kamu dah thu clonnya Rian kan? skrg ia drawat d RS, ktny sih mo operasi besok pg’
Aku menatap ke arah Rian, ”Mas maafin Sinta ya...”
Rian tiada menyahut, memang dia terlalu keras kepala. Atau mungkin aku yang keterlaluan. Tapi kan sekali lagi aku melakukkannya tanpa sengaja.

Setahun yang lalu.

Tiada lagi kutulis semua kisah. Ini harus diakhiri. Bayangan Rian dan Alfian tampak sering beralih. Namun aku yakinkan hatiku untuk menerima apa yang ada, dan apa yang terjadi. Kubuang kotak emosiku yang telah bertahan lebih dari setahun di kamarku. Kotak tempat kutuliskan kisah demi kisah. Kotak sebagai saksi bahagia dan sedihku.

Mungkin seringkali kita ucapkan kata yang tak mungkin. Bahkan menoleh pada sesuatu yang tak mungkin itu saja kita tak mau. Padahal setiap orang boleh saja bermimpi, boleh berharap. Sama seperti awal aku bertemu dengan jodohku ini. Aku melihatnya sebagai sosok yang tak mampu kuraih, karena begitu indah dia di mataku. Aku hanya mampu menatapnya ketika dia ada di depanku. Jangankan menyapa aku malah tertunduk malu.

Kini jodohku berada di sampingku, dengan fasih mengucapkan ayat-ayat suci Al Qur’an. Surat Ar Rahman terdengar begitu syahdu di telingaku.
Fabiayyi alaa irabbikuma tukadziban.....
Dan nikmat Tuhan yang manakah yang kamu ingkari...
Bahkan entah darimana awalnya hingga keindahan ini tercapai. Ada rasa sejuk mengalir dalam aliran darahku. Wangi cinta-Nya menelusup dalam setiap nafasku. Hampir saja aku elakkan semua nikmat ini dengan menuruti egoku. Ya...hidup ini memang penuh dengan rahasia-Nya. Itulah hari pernikahanku dengan seorang makhluk Allah yang begitu sempurna. Dahulu aku hanya bisa mentapnya dari kejauhan tanpa berani menyapanya. Kini dia yang akan selalu menemaniku dan akan menjadi imam dalam kehidupanku. Subhanallah...



Jakarta, 22 Mei 2010
Ditulis oleh : Eka S

Selasa, 15 Juni 2010

Kalau Kau Jantan Ceraikan Aku


Kulihat jam dinding di kamarku, sudah menunjukkan pukul tujuh. Kupakai peci putihku, kulihat bayanganku di cermin. Baju koko putih dan peci putih, wah sudah mirip wak kaji saja nih...
”Tuh kan ganteng” ucapku menenangkan diriku sendiri, ”Banyak orang bertanya mengapa aku belum menikah dan mereka melihatku sebelah mata, bukan karena tampangku pas-pasan tapi karena aku terlalu ganteng”
Aku tersenyum menatap bayanganku pada cermin setengah badan yang kerap membantuku menyesuaikan penampilan.

Kubaca short message di ponselku.
Diharap kehadiran antum sekalian dalam kajian akbar “Bagaimana Islam Menyelesaikan Problema Rumah Tangga” oleh Ust Zaenal Abidin, LC tanggal 23 Mei 2010 pukul 09.00 WIB di masjid Raudhatul Jannah (Komplek PLN, PLTU/GU Muara Karang, Jakarta Utara)
“Bismillahi tawakkaltu alallah laa haulaa walaa quwwata illa billah…” ucapku seraya mengendarai motor merahku, “Rabbi zidni ilman wal zughni farma birahmatika yaa arhamar rahimiin…”

Sesampai di masjid Raudhatul Jannah, kuparkir motorku. Terkejut kubaca spanduk tabligh akbar, disana tertulis merujuk pada buku Kalau Kau Jantan Ceraikan Aku. Serem juga judul bukunya, apalagi bagiku yang menjalani akad nikah saja belum.
”Assalamualaikum akhi...”sapa remaja masjid ramah
”Wa’alaikumsalam” sahutku
Remaja masjid yang kuduga sekitar umur dua puluhan itu tersenyum seraya menunjukkan sebuah kitab berwarna merah padaku. Kitab itu bertuliskan Kalau Kau Jantan Ceraikan Aku oleh Ust Zaenal Abidin,LC. Kubeli satu kitab walaupun membaca judulnya saja aku sudah ngeri.
Kulihat para akhwat dengan pakaian terlampau sopan mondar-mandir di pelataran masjid, terkadang mereka memburu malaikat kecil. Ada juga yang malaikat kecilnya masih berada dalam gendongan.
”Hayo mana Abinya?” ucap seorang akhwat bercadar mengejar seorang malaikat kecil laki-laki yang tiba-tiba memeluk kakiku.
”Afwan” ucap akhwat tersebut lalu menggendong malaikat kecilnya yang kuduga sekitar berusia 15 bulan, ”Abinya di dalam masjid ya Achmad”
Remaja masjid di depanku menatapku heran, ”Itu bacaan bagus buat pernikahan Akhi, judulnya saja yang serem tapi isinya bagus kok. Bisa dibuat kado bagi isteri”
”Saya belum menikah” jawabku
”Oh, saya pikir tadi ke sini sama isteri. Akhi pegawai PLN?”
”Ya termasuk keluarga besar PLN, hehe...saya kerja di anak perusahaannya PLN”
”PJB?”
”Memangnya saya kelihatan tua ya?”
Remaja masjid itu tersenyum simpul tanpa memberi jawaban.
Memang November tahun ini aku genap berusia 28 tahun. Nah mengapa aku belum juga menikah tentu ada penyebabnya. Patah hati? Hehe...itu salah satunya sih, salah duanya belum ada yang menarik hati.

Baru saja aku duduk di masjid, acara dimulai oleh MC yang rupanya aku sangat mengenal. Itu kan rekan kerjaku...partner kerjaku selama di kantor. Dia pasti membawa istri dan bidadari kecilnya. Ah rasanya baru kemarin aku magang bersamanya selama dua tahun, kemudian dia menikah dan aku putus dengan pacarku. Dia tidak pernah pacaran dengan isterinya sementara aku dulu terlalu sering nge-date dengan cewekku. Dia langsung melamar adik kelasnya ketika masa magang berakhir dan aku gigit jari karena pacarku pergi tepat ketika aku belum siap melamarnya. Hehe...
Mengapa aku belum siap? Karena orangtuaku belum meridhoi hubungan kami. Nah bukankah ridho Allah tergantung ridha orang tua. Aku memang lahir dari keluarga muslim yang taat, sedangkan mantan pacarku memakai hijab saja tidak. Bagaimana lelaki akan menghargai wanita jika wanita itu dengan bangganya memamerkan auratnya. Bagaimana seorang suami bisa bekerja nyaman di kantor jika isterinya selalu berpenampilan sexy. Itu kan menyenangkan tetangga sebelah. Hehe...

Ustadz Zaenal Abidin mengucap salam kepada seluruh jamaah. Aku membayangkan dirinya adalah seorang syeh Puji makanya aku tersenyum simpul saat ia maju ke mimbar. Astagfirullah...

Kriteria pemilihan jodoh. Para akhwat dan ikhwan, dalam mencari jodoh ada beberapa kriteria yang harus kita lihat. Ini bisa dilakukan dengan ta’aruf. Jadi bukan hanya dengan bertatap muka. Bukannya kalau bertatap muka hanya butuh waktu beberapa detik menetapkan yang ada di hadapan kita ini cantik atau ganteng, atau malah sebaliknya yaitu jelek. Nah inilah mengapa perlu diperhatikan dalam pemilihan jodoh.
1. Melihat watak (karakter) calon pasangan, padahal watak yang sebenarnya baru bisa ketahuan ketika kita telah 5 tahun mengenalnya. Wah kalau begitu bagaimana dong???
2. Nah untuk mengatasi poin satu maka kita bisa lihat kondisi rumah calon suami/isteri. Hal ini bukan berarti kita melihat berapa banyak harta yang ditimbun di sana. Hehe... melainkan melihat akhlak orang-orang penghuni rumah tersebut. Jika seisi rumah itu suka berbuat maksiat, lebih baik dilakukan pertimbangan lebih lanjut.
3. Jika wanita bisa dinikahi karena kecantikan, harta, nasab dan agamanya. Maka dinikahi karena Ad Diin (agama dan akhlaq) adalah jauh lebih utama. Apalagi dalam pernikahan ini wanita tersebut mau terus menggali ilmu-ilmu islam, dengan begitu tidak akan ada keraguan bahwa dia bisa jadi madrasah yang terbaik untuk putra-putri kita. Pada akhirnya akan menjadi anak sholeh-sholehah keturunan kita tersebut.
4. Pertegas kriteria isteri/suami dan tetapkan tujuan pernikahan. Biasanya kriteria isteri/suami ini yang biasa-biasa saja. Ya...biasa punya penghasilan besar, biasa tinggal di rumah sendiri, biasa terlihat cantik/ ganteng. Hehe...bukan itulah!!! Maksudnya disini adalah isteri/suami yang biasa beribadah pada Allah dan menetapkan tujuan pernikahan hanya karena beribadah pada-Nya dan memenuhi tuntunan sunah rasulullah SAW.

Rabbana hablanaa min ajwazinaa...wadurriyatinaaa qurrata a’yun...
Waj’alna lil muttaqinaa imama....

Jatuh cinta berjuta rasanya....hihi....
Tahu nggak kalau perasaan cinta itu sebenarnya bisa mudah mengalir begitu saja tapi pekerjaan cinta (menjaga cinta tetap ada) adalah suatu perbuatan yang susah dilakukan. Ini sangat positif bagi kaum Adam, bosen sama isteri? Nikah lagi dunk, selama bisa bersikap adil maka poligami masih halal dilakukan. Nah repotnya kalau sang isteri bosen sama suami. Nah lho.....^_^
Ini dibutuhkan suatu tindakan di mana agar cinta terus bersemi di hati masing-masing pihak. Laksana menanam bibit cinta. Butuh pupuk, diairi, disiangi (dicabuti rumput-rumput yang mengganggu) dan sebagainya sehingga bunga atau buah cintanya nanti bisa kita nikmati...nah masalahnya pekerjaan cinta seperti apa yang harus kita lakukan. Kan tidak mungkin kita mengucapkan seribu kali I love you tapi sang suami malas bekerja atau sang isteri sudah tidak mau mengurus rumah, bahkan saat suami pulang kerja sang isteri masih keluyuran. Nah kata-kata I love you atau i miss you ini seharusnya tidak hanya sekedar kata melainkan juga disertai tindakan. Apa saja tindakannya?
1. Menghomati suami/ isteri. Suami seharian bekerja tentunya rasa lelah akan terbawa sampai rumah, janganlah disambut dengan omelan atau bahkan disambut dengan isi rumah yang berantakan. Begitu juga dengan suami hargai masakan isteri ya walaupun sang isteri baru belajar masak ketika kamu melamarnya. Hehe...
2. Memenuhi kewajiban suami/isteri. Pernah suatu ketika dalam majlis bertanya, bagaimana jika suami saya memberi nafkah sebesar 20.000/5 hari dan saya mempunyai dua anak yang masih balita. Hehe…jawabannya minta cerai saja Umi….^_^. Itu namanya tidak sesuai, sangat tidak sesuai dengan kebutuhan. Masa’ mau makan 2 K (kangkung dan kerupuk)….
Kewajiban suami memberi nafkah pada keluarga, sementara isteri mendidik putra-putri serta mengurus segala pekerjaan rumah. Ketika suami bepergian maka si isteri harus menjaga harta dan kehormatannya.
3. Jangan suka menuntut sebelum memberi (hak baru didapat ketika kewajiban telah dilakukan). Pikirkan apa yang telah aku berikan, bukan apa yang akan aku dapatkan. Contoh kasus yang banyak terjadi misalnya buruh selalu menuntut kenaikan upah, padahal belum tentu kenerja mereka cukup qualified.

Dalam menjalani kehidupan berumah tangga tentunya tidak seindah yang kita bayangkan. Tentunya ada kerikil-kerikil yang menghalangi jalan kita. Bukannya kita bisa menukar kerikil dengan kapas, melainkan membuat kerikil-kerikil tersebut tidak terlalu tajam sehingga melukai kaki kita. Nah problema rumah tangga apa saja yang sering terjadi???
1. Jika suami/isteri beda agama. Perlu diperhatikan kepada para akhwat agar tidak menerima lamaran laki-laki yang berbeda akidah. Untuk para ikhwan yang terlanjur menikah dengan non muslim maka tutunlah dia menuju jalan Allah.
2. Lakukan dialog (komunikasi dua arah), sehingga tidak ada ke”egois”an di sana. Dalam pengambilan keputusan sebaiknya selalu dilakukan diskusi/ dialog antara suami isteri. Misalkan saja dalam menentukan sekolah anak.
3. Jangan ada kesombongan dari masing-masing pihak. Misalkan karena sang suami ganteng dan isteri sangat amat biasa maka sang suami jangan berbuat semena-mena pada isteri. Atau misalkan si isteri lulusan S1 dan suami lulusan SD 1 maka sang isteri jangan suka bersikap memerintah terhadap suami. Atau misalkan sang isteri karirnya sangat cemerlang sehingga mengabaikan pekerjaan rumah tangga. Wah pokoknya harus sadar hukum deh...eh sadar kewajiban masing-masing dan perlu digarisbawahi bahwa tak ada yang SEMPURNA di dunia ini. Jadi buat apa bersikap sombong???
4. Menggunakan kata ”kita” dalam pembicaraan, bukan ”aku” .Contoh : ” Bi, besok liburan hari raya Idul Fitri kita ke Surabaya alokasi berapa hari? Terus kita menginap di Solo berapa hari? ”
5. Jauhi membanding-bandingkan suami/isteri dengan kerabat. Contoh : ”Umi kok kalau masak nggak bisa seperti Ibu ya...rasanya selalu ada yang nggak pas gitu”. Pasti si isteri tersenyum dan bilang, ”Abi juga cerewet, beda sama Bapak yang tidak pernah protes sama masakan Ibu”. Nah padahal realitanya masakan Ibu enak maka dari itu Bapak tidak pernah protes tapi masakan Umi nggak enak makanya sang Abi protes. Nah loh...salah siapa nggak bisa masak. Hehe...intinya hargai setiap hal yang dilakukan suami/isteri kita, tentu saja mereka telah melakukannya dengan penuh rasa cinta....^_^
6. Pikirkan masa depan. Jika ada orang yang selalu melihat ke masa lalu maka makin terlihat keburukannya. Contoh : ”Jika saja waktu itu saya tidak menikah denganmu mungkin putra-putriku akan cerdas, karena kamunya nggak begitu cerdas jadinya nilai anak-anakku di sekolah pas-pasan deh”. Nah mengapa dari awal tidak memilih suami/isteri yang cerdas??? Mengapa menyesal setelah anak-anak beranjak besar??? Ingat buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Karakteristik anak tidaklah jauh dari karakter kedua orangtuanya. Jadi jika ingin mendapatkan anak-anak yang sholeh-sholehah maka pilihlah suami/isteri yang sholeh-sholehah pula.
7. ”Keterusterangan” yang disertai ”Kejujuran dan Ketulusan”. Sudah semestinya tidak ada dusta diantara suami dan isteri. Seperti lagunya Dewi Yull ”jangan ada dusta diantara kita” ^_^

Hal-hal yang menjadi racun dalam rumah tangga dapat dirangkum seperti berikut :
1. Kebiasaan berbohong. Maka hindarilah segala macam kebohongan, karena satu kebohongan akan melahirkan kebohongan-kebohongan yang lain. dan kebohongan itu akan meresahkan hati.
2. Cemburu buta. Boleh cemburu tapi lihat realita dunk.
3. Membiarkan orang lain ikut campur dalam urusan rumah tangga kita. Penonton haruslah tetap menjadi penonton bukannya malah ikut bertanding. Bayangkan saja jika ada satu penonton pertandingan sepakbola yang tidak terima tim kesayangannya kalah lalu turun tribun dan ikut menendang bola. Gawat kan???
4. Boring alias bosan....wah repot kalau kita bosan pada pasangan hidup kita. Sesekali lah sok romantis, membuat puisi buat Umi tercinta walaupun dulu waktu pelajaran bahasa Indonesia suka bolos karena tidak bisa membuat puisi, atau membuat black forest buat merayakan ulang tahun Abi, walaupun memakai adonan yang tinggal tuang...hehe, mungkin saja bisa melepaskan segala macam kebosanan yang ada. Di sini kreativitas sangat diperlukan dan dibutuhkan. ^_^
5. Sifat bakhil, maka dari itu berikan apresiasi atau pujian jika suami/isteri melakukan sesuatu yang luar biasa.
6. Mengingat keburukan suami/isteri ketika tersandung suatu permasalahan. Keburukan dan kekurangan serta kelemahan hendaknya jangan selalu diingat. Ingatlah kebaikan maka hal itu jauh lebih baik.

Boleh menyelipkan sedikit tentang sistem perokokan. Hehe...maksudnya bahaya merokok.
Nah sebagai kaum Adam yang suka merokok diharapkan agar bisa menghindari rokok. Karena menurut survei perokok aktif bisa merugikan empat orang di sekitarnya (itupun jika merokok dalam keadaan diam di tempat). Nah bagaimana jika merokoknya mondar-mandir. Egois banget ya??? Membuat orang lain menjadi perokok pasif yang efeknya lebih buruk dari perokok aktif.

”Alhamdulillah sejak putus dengan cewekku aku berhenti merokok, ya walaupun nggak bisa berhenti sepenuhnya. Paling nggak aku sudah tidak seperti kereta uap berjalan” pikirku. Sejenak aku memikirkan akhwat yang mengirimiku message pengajian akbar ini. Apa ia juga hadir? Apa dia juga memakai jubah besar, jilbab panjang dan mungkin cadar? ^_^....kumainkan bolpoin faster (PJB sponsored by faster bolpoint, Frisian flag, dan Aqua hehe..) yang ada di jemariku, kuputar-putar sejenak melepas ketegangan karena pembahasan rokok yang melibatkan banyak bahan kimia merugikan organ tubuh. Kalau begitu merokok adalah makruh???

Kubuka-buka lembaran kitab bersampul warna merah bertuliskan ”Kalau Kau Jantan Maka Ceraikan Aku”. Masih bergidik rasanya aku membaca judul buku tersebut. Hmm... kapan ya aku menikah lalu memiliki malaikat kecil yang selalu menyambutku sepulang kerja. Rumahku terlalu sepi untuk kutinggali sendiri. Seharusnya telah kubawa seorang bidadari untuk menemaniku, membuatkan sup ketika aku lelah. Jujur masih terasa capeknya, tiga hari lalu aku masih di Bandung menyelesaikan WBS serta Quality baseline untuk main inspection GT 1.2 Muara Karang. Dan besok Senin sudah mulai bekerja, bahkan Senin esok adalah hari pertama overhaul.

Jakarta, 23 Mei 2010
Ditulis oleh : Eka S
Untuk penjelasan lebih lanjut dapat dibaca ”Kalau Kau Jantan Maka Ceraikan Aku” oleh Ust Abu Achmad Zaenal Abidin, LC di situ juga diulas adzab kita terhadap mertua, ciri wanita shalihah dst...
Mohon maaf jika terdapat banyak kekurangan...^_^

Baini wa Bainika


Hati ini bergetar saat kau dihadapanku…
Padahal siapa dirimu?
Aku hanya mengenal sebatas nama.
Aku pun tak ingin jatuh untuk kesekian kalinya.
Namun mengapa hati ini kian merindukanmu?

Malam hening ini aku masih juga merasakannya.
Apakah sepi juga yang kaurasakan?
Kuelakkan semua kata cinta.
Kalaupun aku harus mencintai lelaki, hanya suamiku.
Bukan sekedar fatamorgana cinta yang kerap hadir dalam hidupku.

Ketika sekian hari tanpa kumelihatmu.
Rasa rindu seakan telah menguasai jiwaku.
Segera diri tersadar betapa lemahnya.
Wahai Sang Pengusa Hati...
Jangan biarkan diriku terbang tak menentu.
Izinkan hanya ada nama-Mu di hatiku.
Sungguh, aku hanya ingin merindukan-Mu.

Dan senyuman itu kerap hadir.
Padahal kau berada jauh dariku.
Aku tak bisa mencintai selain suamiku.
Dan saat ini aku belum menemukannya.
Lalu mengapa harus dirimu yang hadir?
Mengapa harus dirimu yang kini kurindukan?
Tak bisakah hati ini berpaling?

Ya Rabb, illahi syafarat yadayya fatrubhuma....
Namun berilah yang terbaik bagi hamba-Mu ini.
Bukan sekadar fatamorgana kehidupan.
Izinkan aku bernaung dalam semua cinta-Mu.
Izinkan aku bernapas dalam kerinduan pada-Mu.
Izinkan bibir dan hati ini selalu memuja-Mu.
Jangan biarkan aku terjatuh dalam balutan emosi.
Jangan biarkan diri terhempas dalam zina yang Kau benci.
Jangan biarkan aku berputus asa atas semua pengharapan.

Ya Rabb, hanya pada-Mu kunaungkan seluruh doa.
Hanya pada-Mu kusampaikan perasaan hati.
Hanya pada-Mu kuserahkan diri.
Tiada berarti semua yang ada di langit dan bumi, tanpa Ridha-Mu.
Tiada Tuhan selain Engkau.
Hanya pada-Mu segala ini dikembalikan.
Dan hanya pada-Mu hamba bersujud.
Maha Suci Allah, subhanallah....

Jakarta, 13 Juni 2010
Ditulis oleh : Eka S

Cinta Putih


Bagaimana caranya untuk agar kau mengeri bahwa aku rindu…
Bagaimana caranya untuk agar kau mengerti bahwa aku cinta...
Masihkah mungkin hatimu berkenan menerima hatiku untukmu...

Masih kupandangi langit biru yang terang. Di sepanjang perjalanan dari jakarta utara menuju bekasi utara. Beberapa teman satu mobil asyik menyenandungkan lagu cinta mati Mulan Jameela dan Ahmad Dhani. Masih juga terbayang paras yang selama ini menaungi di mimpiku. Seorang dengan senyum paling menawan. Seseorang dengan tutur santunnya. Seseorang dengan berjuta kekagumanku padanya. Padahal dulu hanya biasa saja. Aku mengenal namanya dari sahabat karibku yang kebetulan satu kantor dengan lelaki itu. Aku pun bertemu dengannya hanya beberapa kali saja. Lebih ke arah formal, seperti rapat pembahasan overhaul. Itupun aku hanya menatapnya sekilas, tapi mengapa justru beberapa hari ini aku merasa rindu padanya. Aku sering berdoa dalam hati, jika memang dia bukan untukku maka janganlah hati ini terjatuh mencintanya. Lelah sudah bila aku harus melangkah jauh mengejar impianku.

”Waduh Sya...kok melamun terus?” tegur Arman, rekan kerja yang merupakan ahlinya generator, ”Awan nggak masuk sehari saja sudah kepikiran, apalagi entar dia seminggu di Sumatera.”
Aku tersenyum menanggapinya, ”Hu um...”
”Ri, temanmu satu itu benar-benar cinta mati ya sama Awan?”
Riri tertawa kecil. Dia paling tahu kondisiku beberapa hari ini. Aku rindu, sangat rindu, paling rindu dengan seorang Novan.

Cintaku sedalam samudera, setinggi langit di angkasa kepadamu...
Cintaku sebesar dunia seluas jagad raya ini kepadamu...
Bagaimana caranya agar kau mengerti bahwa aku merindukanmu selamanya...
Bagaimana caranya agar kau mengerti bahwa aku mencintaimu selamanya....

Langit biru masih juga cerah mengiringi perjalananku. Terasa kerinduan ini begitu memuncak. Berulang kali kuucapkan istighfar dalam hati. Semoga segala rasa ini tidaklah salah. Aku takut. Aku takut terjatuh dan terluka. Aku hanya ingin merasakan nyaman dan bahagia. Bukanlah sedih atau tangis yang mengiringi. Mengapa harus seorang Novan? Mengapa bukan sosok lain yang mungkin bisa kujumpai tiap hari?

”Sya...waduh parah loe ya” tegur Arman padaku, ”Awan tuh keterlaluan nyuekin loe”
Siapa peduli dengan Awan. Aku saat ini mungkin telah terjatuh, dan bukan seorang Awan melainkan Novan. Ingin rasanya aku curahkan hati ini pada-Nya, namun aku begitu malu. Masa’ dalam sujudku aku masih mengingat paras Novan.
”Biarlah Man, entar juga luluh juga hati Awan” sahut Riri
”Lama tuh Ri...si Awan tuh keras kepala.”
”Bukannya Awan dah jatuh cinta sama turbin?”
”Jatuh ke Mark 4, haha”
”Oh iya...ya...”
”Raisya yang sabar ya...”
”Sya sudah sabar dari dulu”
Kudengar perbincangan antara Arman dan Riri. Tapi semua tampak mengabur di otakku yang mulai lambat mengeja nama Novan. Novan Pradana, sosok yang baru kukenal sekitar dua bulan lalu. Begitu sederhana caranya bersikap, begitu sabar, begitu indah di mataku. Ah semua tampak indah bagi seseorang yang sedang jatuh hati kan?

”Gue heran sama Raisya dan Awan, sepertinya kalian tuh musuhan banget. Tiba-tiba nanti datang undangan pernikahan kalian” sahut Arman kesal karena tak ada tanggapan dariku, ”Apalagi tuh si Awan, kayaknya nggak suka banget ma Raisya”
”Emang dia nggak suka ma aku kok Mas” sahutku
”Belum....”
”Mas Awan kan sudah punya pacar”
”Tahu dari mana?”
”Ya tahulah”
”Patah hati dong loe”
”Jangan ngomong loe-gue deh gak pantes Mas. Cah Nganjuk aja pake loe gue”
”Ya suka-suka gue dong. Tapi bener loe patah hati?”
”Sebenci apapun kalau memang jodoh ya pasti merit. Sesayang apapun kalau memang nggak jodoh ya gak bisa bersatu...”
”Gue suka tuh...like this-lah”
“Ya, jodoh kan rahasia Tuhan”
”Tapi kalau nggak diusahakan mana bisa dapat?”
Betul juga ya...kalau aku hanya terdiam diri menanti sang pelangi menghampiri adalah suatu hal yang bodoh. Minimal tiap hari aku sempat berhubungan dengan Novan. Berharap dia akan melihatku. Berharap dia akan berpikir kiranya menjadikanku seorang isteri baginya. Aku tersenyum sendiri tanpa mengalihkan pandanganku dari birunya langit yang kutatap dari balik jendela.
”Nah malah melamun lagi si Raisya ini” Arman menatapku heran.

Hari ini tanggal merah, di kalender tertulis libur hari raya galungan. Tapi aku masih mengenakan seragam hari Kamis. Aku tetap berangkat ke Bekasi, sekalipun aku tahu di sana belum ada pekerjaan yang harus aku bereskan.
”Sya...gimana message kemarin sudah dibaleskah sama suamimu?”bisik Riri
”Belum Ri...”
”Coba kamu pakai alasan nanya rumus Benaulli, sesuai tuh sama telaah stafmu.”
”Hehe...”
”Malah meringis lagi. Kalau begitu kamu telpon gih”
”Terkesan maksa Ri...”
”Ya memang maksa supaya dia bisa melihatmu”
”Hehe...”
”Jangan bisik-bisik gitu...” komentar Arman.
”Mau tahu aja...” usikku
”Yeee....”sahut Arman
Riri menatapku lalu tersenyum simpul, “Awan apa Novan?”

Yup, Awan bukan buatku.
Aku bisa pastikan itu tapi Novan, mengapa hatiku takut untuk kehilangannya. Padahal harusnya aku yakin bahwa Tuhan telah menentukan yang terbaik untukku, hanya perlu sejumput kesabaran untuk menanti kehadirannya.
Mengapa aku meragukanNya.

Ya Rabb, siapapun nanti yang akan mendampingiku berilah jalan yang lapang bagi kehidupannya. Berilah cahaya di setiap langkahnya. Aku merindukannya. Cintailah dia, sayangilah dia.
Ya Rabb, siapapun nanti yang akan mendampingiku berilah keberkahan di setiap nafasnya. Berilah kekuatan ketika dia terjatuh. Aku mencintainya. Separuh jiwaku telah mendampinginya.

Tak terasa telah sampai gerbang kantor. Kuhapus bayangan Novan yang kerap menghantuiku. Aku harus bisa mengikhlaskan Novan. Harus !!!

Jakarta, 12 Mei 2010
Ditulis oleh : Eka S

Selasa, 08 Juni 2010

Menjelang Senja


Semua terus berlalu, menghadirkan kepingan kisah yang tersisa….
Melantunkan setiap emosi dalam diri...
Terkadang malah tak ingin berontak...
Biarkan terus mengalir, bagai air....
Setiap hening kisah, setiap tawa bahagia....

Rindu akan kedamaian jiwa...
Merayap terus mengembara, menerobos relung gelap....
Hatiku ingin bercerita, hatiku ingin bicara...
Namun tetap hanya kebisuan yang ada...
Hening dan hening...

Menghamburkan sejuta tanya akan jalan kehidupan...
Terkadang begitu terjal hingga aku terjatuh...
Amarah dan kecewa kerap mengikuti...
Airmata hati tak bisa sembunyi...
Lelah terus menggelayuti....

Ya Rabb, sebegitu lemahnya makhluk-Mu ini...
Sebegitu tak mengertinya hamba-Mu ini...
Bukankah semua ini milik-Mu?
Dan kesedihan hanyalah sebagian kecil dari kebahagiaan....
Berjalan jauh lebih sering daripada terjatuh....
Di mana rasa syukur itu?

Berjalan menyusuri setapak kehidupan...
Menegarkan tiap langkah kaki...
Sekalipun jatuh diri tanpa kusadari...
Sakit luka itu tentunya kan sembuh....

Kan kuceritakan pada awan jingga...
Kan kuabadikan dalam alunan angin senja...
Kan kutuliskan di setiap relung jiwa...
Segala tasbih hanya untuk-Mu...
Segala syukur hanya pada-Mu...

Letih ini, rasa sakit ini....
Takkan sebanding dengan semua cinta-Mu...
Senja ini, ingin kutuliskan kembali di jingganya awan....
Rasa cinta ini pada-Mu, karena aku tak ingin kehilangan-Mu...
Semua yang ada pada kehidupanku, hanyalah milik-Mu...
Dan hanya pada-Mu segala ini bertumpu...
Ya Rabb, kuatkanlah dan tegarkanlah hamba-Mu ini....
Subhanallah...

Selasa, 01 Juni 2010

Menanti sang Mimpi


Siapa yang tak punya mimpi? Setiap orang tentunya punya mimpi yang berbeda. Bahkan anak bocah pun memiliki cita-cita yang berbeda. Ada yang mau jadi dokter, insinyur, bahkan presiden. Seperti halnya diriku.

Menerawang jauh pada belasan tahun lalu. Saat kakiku terlalu lelah untuk berlari, tapi aku sangat suka berlari. Kuabaikan keringat yang menetes di dahiku, terus aku berlari. Berulang kali aku terjatuh, namun tetap saja aku berlari.

Kutatap wajah suamiku yang tenang dalam tidurnya. Bahkan sampai tiga bulan usia pernikahan kami, tak pernah aku bertanya apa yang dulu menjadi cita-citanya. Aku sangat menyayangi suamiku, satu-satunya lelaki yang mau menerima segala kekurangan dan kebodohanku. Ah rasanya masih terbayang kebahagiaan saat ia mengutarakan niatnya untuk menikah denganku. Pertanyaan bodohku saat itu adalah mengapa harus aku? Aku tak habis pikir kala itu. Masih juga aku menatap matanya, bagiku dia terlalu indah untuk bersanding denganku.

”Jadi bagaimana Dek?” tanya lelaki yang selama ini kuanggap sebagai kakak, walaupun dalam hati aku sangat berharap lebih dari itu.
Kedua orangtuaku menatapku penuh harap. Aku malah meringis. Aku berharap, sangat berharap ini bukanlah mimpi. Selama ini memang Mas Andhi dekat denganku.
Masih terbayang senyum manis yang terkembang dari bibirnya. Subhanallah, jantungku berdegup tak menentu. Rasanya aku telah hilang pijakan dan diriku melayang di udara. Apakah benar aku telah mencintainya? Apakah pernikahan hanya cukup oleh rasa cinta? Apakah dia tak akan membuatku terluka? Apakah aku bisa menaruh kepercayaan padanya? Apakah dia bisa jadi Abi yang terbaik untuk putra-putriku? Ah sebegitu banyak pertanyaan dalam hatiku. Namun bibirku malah terdiam dan aku makin terhanyut untuk membuang waktu.
Mas Andhi masih menatapku. Sikapnya sungguh amat dewasa. Detik terasa begitu lama bagiku sebelum akhirnya aku hanya menganggukkan kepala.
”Insya Allah” jawabku. Semua mata memandangku lepas, bernapas lega. Sementara aku makin gusar dengan jawabanku. Bukan karena aku tak yakin atas jawabanku tapi aku tak yakin ini adalah kenyataan.
Mas Andhi masih tersenyum manis, matanya menatap seluruh keluargaku. Bapak, ibu dan adikku tersenyum simpul. Akhirnya aku siap juga mengarungi kehidupan yang baru, kehidupan berkeluarga. Bapak, ibu dan kedua adik laki-laki dari Mas Andhi menatapku ramah.
”Selamat datang di keluarga kami” ucap lelaki bersuara bass yang menyedot segala anganku bersama Mas Andhi. Ternyata bapak dari Mas Andhi adalah orang yang amat keras.
Ucapan hamdalah terus mengikuti hatiku yang tengah berbunga-bunga. Mas Andhi membuat kehidupanku semakin indah. Mungkin memang telah lama aku mencintainya, tanpa aku sadari.

Suamiku masih terlelap ketika aku menghidupkan laptopku dan mulai mengamati deretan angka dalam microsoft excell. Lembaran rencana anggaran dan biaya overhaul GT 2.2 Muara Tawar mulai menawanku. Aku bahkan tak habis pikir mengapa demikian workaholicnya diriku. Tapi yang jelas, aku berangkat kerja jam tujuh pagi dan sampai rumah sudah sekitar jam sepuluh malam. Seharusnya sabtu minggu aku libur, tapi sebagai perencana dan pengendali kegiatan overhaul mengharuskan aku untuk tetap masuk kerja.

”Adek masih lembur kerjaan ya?” tegur suamiku seraya memegang bahuku. Rupanya ia terbangun.
Aku tersenyum padanya seraya mencium pipinya sekilas, ”Mas Andhi tidur ya, katanya besok pagi berangkat SPPD ke Bogor.”
”Iya, aku tidur tapi Adek juga tidur, masa’ kerja terus”
”Ini cuma membereskan revisi RAB”
Suamiku menyentuh bahuku, ”Jaga kesehatan ya Dek”
Aku menatapnya penuh arti. Mengapa suamiku tak pernah marah sekalipun waktuku banyak terbuang buat pekerjaan.
”Kok Mas nggak pernah marah?” tanyaku polos
”Bukannya Adek nggak suka dimarahi?”
”Tapi kan aku sudah terlalu banyak meluangkan waktuku buat perusahaan.”
”Menurut Adek aku harus bersikap seperti apa?”
Kusandarkan kepalaku di bahunya. Airmataku menetes begitu saja.
”Tuh kan...belum dimarahi saja Adek sudah nangis” ucapnya kalem.
Subhanallah...bagaimana bisa seorang sepertiku mendapatkan suami yang demikian baiknya.
”Aku sayang sama Mas Andhi” ucapku manja
”Bener?”
”Iya”
”Kalau begitu sekarang Adek tidur biar besok pagi terlihat fresh.”
”Mas juga tidur ya...ini kan masih jam dua dini hari”
”Gimana aku bisa tidur Sayang, aku sudah membuat orang yang aku cintai menangis”
Kuhapus airmataku, ”Aku sudah tidak menangis lagi”
”Hmm...bagus deh. Kalau begitu aku tidur dulu”
”Tunggu Mas, aku mau tanya...”
”Tentang apa?”
”Mengapa Mas memilihku sebagai isteri?”
”Baru tanya sekarang? Wah telat sekali...”
”Daripada tidak sama sekali”
”Hmmm...kasih tahu nggak ya????”
”Kasih tahu dong”
”Karena Adek tak sempurna”

Kau begitu sempurna, di mataku kau begitu indah...
Tak bisa kubayangkan hidupku tanpa cintamu...
Kau genggam tanganku saat diriku lemah dan terjatuh...
Kau bisikkan kata menghapus semua sesalku...

Lirik lagu ”Sempuna” oleh Gita Gutawa seakan menusukku.
Jika memang aku tak sempurna, mengapa justru ketidaksempurnaanku membuatnya untuk memilihku. Tak heran jika kulihat foto mantannya yang sangat cantik. Tak heran jika kulihat deretan prestasi mantannya yang begitu panjang. Tak heran jika kulihat mantannya mengendarai mobil pribadi.
Tapi seorang Andhi amat sempurna. Dia ganteng, cerdas, baik dan kehidupannya mapan. Sebelum menikah denganku dia sudah memiliki tempat tinggal. Dia juga memiliki pekerjaan yang cukup menjanjikan.

Hari ketiga setelah percakapan dini hari itu sikapku berubah total. Aku memajukan jam pulang kerjaku, sekarang menjadi jam delapan malam.
”Assalamualaikum” sapaku ketika melihat suamiku sibuk melihat layar monitor laptop merahnya, ”Sudah makan Sayang?”
”Wa’alaikumsalam. Masih nunggu Adek.”
Kucium tangan kanannya, ”Mau makan apa nih? Aku tadi sempat beli sayur sup”
”Ya sudah ayo makan...”
Suamiku masih dengan semangatnya membuka bungkusan yang kubawa.
”Mas...”
”Iya Dek?”
”Menurut Mas, apa itu sempurna?”
Suamiku tertawa kecil, ”Akhirnya Adek tanya juga...sudah aku tunggu dari perbincangan dini hari tiga hari lalu.”
”Hehe...malu mau nanyanya...”
”Boleh tanya apa cita-cita Adek?”
Aku menggeleng pelan, ”Aku hanya ingin kehadiranku mambawa kebahagiaan orang-orang sekitarku”
”Adek punya mimpi?”
”Iya...”
”Apa?”
”Jadi wanita shalihah”
”Terus?”
”Isteri shalihah”
”Terus?”
Aku menatap lekat mata suamiku, apakah ia berharap aku memberikan jawaban yang lain. lalu apa mimpiku?
”Gak ada mimpi yang lain Mas”
Senyum manisnya terkembang melihat parasku yang mulai ragu.
”Okelah kalau Adek sudah melupakan mimpi Adek”
”Mimpi apa Mas?”
”Hmmm....kasih tahu nggak ya???”
”Kasih tahu dong”
”Oke, tunggu di sini ya Sayang”
Suamiku beranjak meninggalkanku. Aku mengawasinya sampai masuk ke kamar. Langkah tegapnya masih menghipnotisku dalam kekaguman. Rasanya masih tak percaya aku akan mendampingi sosok sepertinya. Walaupun seringkali aku meninggalkannya demi tuntutan karir.
Lelaki yang paling aku kagumi menatapku dengan berbinar seraya menunjukkan sebuah buku kecil bersampul warna pink.
Menanti sang Mimpi
Kubaca nama pengarang buku itu....Maesa Adhinawati
Kuambil buku itu dari tangan suamiku. Kubuka tiap lembarnya. Ternyata buku itu berisi kumpulan cerpen yang selama ini kutulis.
Aku menatap suamiku penuh haru, ya akhirnya mimpi itu datang juga....
Suamiku membuatku menggapai satu mimpi yang kupendam lama, menjadi pengarang.
”Itu kan salahsatu mimpi Adek”
”Kok Mas tahu?”
Suamiku tersenyum simpul
”Lalu mengapa Mas mengatakan bahwa aku tak sempurna?”
”Karena Adek masih mencintaiku separuh hati”
”Idih sok tahu...”
”Ya memang Adek begitu seh”
”Karena aku terlalu sering pulang malam ya Mas? Maaf ya...”
”Bukan”
”Terus?”
”Kasih tahu nggak ya???”
Kucubit pipinya yang tembam, kulit putihnya merona merah.
”Aduh sakit nih Sayang, tuh kan masa’ hadiahnya cuma cubitan” keluhnya.
”Kasih tahu dong, kok bisa Mas bilang aku nggak cinta?”
”Hmm...gimana ya???”
”Ya sudah deh kalau nggak mau ngasih tahu”
Suamiku menyentuh bahuku, ”Aku ingin punya buah hati”
Aku tertegun sejenak. Bukan sejenak, tapi banyak menit. Subhanallah....

Ya Rabb, berikanlah berkah dan rahmat-Mu pada suamiku tercinta. Mungkin aku tak bisa menemaninya setiap waktu, namun lindungilah setiap langkahnya. Mungkin cintaku padanya tak sempurna, namun sempurnakanlah cinta-Mu padanya.
Ya Rabb, jauhkanlah fitnah darinya. Sisipkanlah tali kasih di hatinya. Izinkanlah kalimat thayyibah selalu terucap dari bibirnya. Berikanlah rezeki yang halal dan barokah.
Amiin....
Teringat kembali peristiwa tiga bulan lalu, ketika akad nikahku dengan Mas Andhi.
”Saya terima nikahnya Maesa Adhinawati binti Saiful Hadi dengan mahar berupa hafalan surat Ar-Rahman dibaca tartil”
Hatiku menangis bahagia. Subhanallah....
Mataku berkaca-kaca. Lantunan ayat-ayat surat Ar Rahman terdengar syahdu. Ini semua seperti mimpi. Mas Andhi adalah mimpi nyata yang hadir dalam hidupku.

Jakarta, 11 Mei 2010
Ditulis oleh : Eka S