Membaca
kembali “Surat untuk Mas Agung” tertanggal 7 September 2011, aku merasa kembali
ke masa dua tahun yang lalu. dimana segala emosi tmpah ruah dalam sebuah
cerita. Aku tak ingin mengingatnya,namun cerita itu masih menjadi satu bagian
dalam kehidupanku. Cerita dimana cinta belum menemukan tempatnya di sisiku. Cerita
dimana menguras airmata dan ketangguhanku. Cerita yang meluluhlantakkan hatiku.
Cerita tentang seorang yang bernama Agung.
Seandainya saja
saat itu dia memilihku, apa aku akan merasa bahagia seperti saat ini? Satu pertanyaan
besar yang berkecamuk dalam pikiranku. Tak bisa kuelakkan, setiap wanita ingin
dimanja dan disayangi. Namun apakah cintanya mampu membuatku merasakan menjadi
isteri paling beruntung di dunia ini? Sungguh, Allah memberikan seorang yang
jauh lebih baik untuk menggantikannya yang saat itu dekat denganku. Kepergian yang
terasa tiba-tiba, cintanya yang berganti
dengan tiba-tiba pula.
Sekarang dia
berbahagia dengan bidadarinya dan putri kecilnya. Aku disini pun merasa bahagia
dengan keluarga kecilku. Sambutan hangat dari suamiku terasa jauh lebih indah. Seorang
lelaki yang tak pernah menjalin cinta dengan wanita manapun. Dan aku bersyukur
bisa mendampingi suamiku.
Aku tak akan
membandingkan dia dengan suamiku, karena bagiku dia hanya seberkas kenangan
yang seharusnya telah aku lupakan. Dia hanyalah masalalu yang sempat
menghampiriku, menawarkan kebahagiaan semu, lalu berakhir dengan duka.
“Surat untuk
Mas Agung” hanyalah sebuah cerita masalalu. Yang menjadi satu sebab
ketangguhanku. Selamat tinggal masalaluku. Aku akan kembali menyusuri
kehidupanku bersama suami tercinta dan putri kecil kami yang cantik.