Selasa, 25 Mei 2010

Alunan Romantika


Detak jantung semakin cepat, entah ketakutan macam apa yang tengah kuhadapi. Serasa seluruh alam berada di depanku menunggu untuk kusentuh. Ingin kuubah mereka menjadi lebih indah. Dan kuwarnai pelangi kembali, kulukis langit dengan tinta biru, serta kuhiasi laut dengan ombak. Namun semua itu bukanlah kuasaku. Hanya bisa diriku menatap semuanya. Tersenyum dan entah berbuat apa.

Bumi masih berputar. Namun diriku masih terpaku, rasa sakit itu terasa nyata. Bukan di hati tapi di kepalaku. Kuharap semua akan baik-baik saja. Masih detak jantung ini terpacu, makin cepat. Ini membuat ketakutan yang terus kuhadapi makin bertambah. Aku merasa lemah dan tak berdaya. Jiwaku semakin larut dalam angan.

Ya Rabb, apakah yang tengah terjadi pada makhluk-Mu ini?
Ini begitu nyata namun hatiku terus mengembara di dunia mayaku. Aku serasa terbang bersama mimpi-mimpiku. Mencoba menggapai awan harapan, mencoba menyentuh bintang kehidupan. Terus jiwaku terbang tak terkendali.

Ya Rabb, segitu lemahnya diriku?
Bahkan keraguan kerap mengalir mengikuti aliran darah. Apakah aku telah berbuat salah? Mengapa demikian terasa sakitnya. Jiwaku terbang, anganku terus mengembara, namun ragaku hanya terdiam. Masih penuh keraguan. Kuingin mendapat jawaban atas semua yang terjadi. Sekalipun mungkin diriku belum siap untuk mendengarnya.

Senyum itu terkembang begitu saja dari paras tulusnya. Jiwaku kembali, anganku tak berkutik lagi, ragaku tersadar. Aku terlalu lama larut dalam ketiadaan. Ini dunia nyata, dia nyata, akupun juga. Rasa ini nyata, sakit ini makin kentara. Kepalaku terus merasakan sakit, jantungku tiada memperlambat detaknya. Aku masih belum mengerti apa yang terjadi selama ini. Dan dia masih tersenyum menatapku yang tak bergeming.

Ya Rabb, jangan biarkan diriku terjatuh. Sekalipun aku merasa tak sanggup lagi. Semua terasa begitu cepatnya bergulir. Waktu meninggalkan sejumput kenangan. Sejumput harapanku, tentangnya.

Aku mulai merasakannya, alunan romantika yang terasa begitu asing. Menelusup hatiku mengikuti aliran darah. Kuharap sang Illahi segera memberi jawaban atas semua ini. Aku benar-benar tak ingin terjatuh.

Ya Rabb, kiranya ini akan menyakitiku maka buanglah segenap rasa ini dariku. Sungguh aku tak ingin terjatuh semakin dalam, semakin terjal. Bukankah Engkau lebih tahu apa yang terbaik untukku.

Alunan romantika yang kurasakan ini. Alunan romantika yang membuatku gelisah. Alunan romantika yang tak kumengerti. Wahai Sang Pemilik Cinta, berikan kuasa-Mu atasku, berikan keteduhan hatiku, berikan ketegaran hatiku.

Kembali dia menatapku, aku membalas senyumnya. Sesungguhnya hati ini begitu merasakan kehadirannya namun biarlah Sang Pemilik Hati yang akan memutuskan. Biarlah Sang Pemilik Jiwa menggariskan kisah romantikaku, sekalipun aku masih mengharapkan dia selalu ada.

Bekasi, 25 Mei 2010
Ditulis oleh : Eka S

Rabu, 19 Mei 2010

MAYA


Ya ini memang duniaku. Aku bisa menari dan bernyanyi bebas di sini. Berputar di tengah rntik hujan. Mengintip malu dari balik sang pelangi. Memberi goresan jingga di langit sore. Bersama para malaikat menatap kepergian sang mentari.

Aku terlepas. Aku bisa menghirup udara kebebasan di sini. Aku bisa menulis berlembar-lembar curahan hati. Aku bisa menggambarkan semua emosi jiwa. Ya, hanya di dunia ini. Di mana para bidadari menatapku seraya tersenyum. Di mana kesucian hati menggantikan mahalnya permata. Di mana ketulusan menggantikan indahnya mutiara. Di mana kejujuran menggantikan seluruh keagungan jagad raya.

Aku kembali menyusuri duniaku. Dunia yang tiada keberadaan mereka. Mereka yang mungkin mencemoohku. Mereka mungkin meniadakanku. Mereka yang mungkin membuat guliran airmata di hatiku. Mereka yang mungkin selalu memandangku lemah.

Ya ini memang duniaku, di mana aku menghirup udara cinta Illahi. Tiada akan Dia membuatku terluka atas cinta-Nya. Untaian syukur takkan pernah terlepas dari bibir. Aku menari dan bernyanyi lagu alam. Melukiskan keikhlasan dan kesucian jiwa. Bersama malaikat-malaikat menyusuri jalan-Nya.

Aku terhempas. Dalam setiap kepingan cerita yang telah tertulis di Lauhul Mahfudz. Menyusuri jiwa yang lugu akan kasih. Fatamorgana kasih terelakkan. Dan takkan ada kepedihan. Bukankah hati ini masih ada ruang kasih-Nya. Di setiap aliran darah dan detak jantungku.

Aku terus terkurung dalam duniaku. Tanpa ada kebencian. Hanya ada kasih cinta tertulus, tanpa mengharap balasan. Semua cinta hanya milik Sang Pemilik Hati. Semua kasih hanya tertumpu pada Sang Penggenggam Jiwa.

Ya ini memang duniaku, begitu maya. Takkan ada kekerasan, takkan ada kekasaran, takkan ada rasa iri. Hanya ada kesungguhan untuk menyucikan jiwa, bersama lantunan ayat-ayat Illahi. Aku terus menari dan menyanyi lagu alam. Senandung kerinduan akan berjumpa dengan Sang Pemilikku.

Malam membayang. Masih jiwaku berkelana dalam pusaran duniaku. Bukankah aku mesti terbangun lagi. Dengan enggan namun akhirnya kubuka mataku. Kulihat asap tebal dengan suara berisik. Para insan sibuk berlarian. Tampak kekusutan, tampak kesukaran, tampak kehidupan yang hiruk pikuk. Hatiku berteriak. Jiwaku berserak. Inikah dunia nyata?

Kembali mereka menatapku angkuh. Apakah aku kerap menyakiti mereka sehingga mereka membenciku? Apakah kerap aku membicarakan mereka hingga mereka tak berhenti membicarakanku? Apakah kerap aku memandang mereka sebelah mata hingga mereka mencemoohku? Ah sudahlah, bukankah telah kusadari duniaku lebih indah daripada dunia nyata.
Malam terus larut. Jiwaku terus memberontak. Namun aku percaya akhir kisah ini tentunya indah. Sang Pemilik Raga takkan membiarkan hamba-Nya terus terluka. Aku percaya semua akan baik-baik saja. Sekalipun masih kurasakan kepedihan. Semua ini tentu akan mengadirkan kebahagiaan.

Ya Rabb, Illahi syafarat yadayya fatrubhuma.

Bekasi, 19 Mei 2010
Ditulis : Eka S

Senin, 10 Mei 2010

Sebuah Cahaya


Sebuah Cahaya

Matahari mulai tenggelam meninggalkan guratan-guratan senja. Meski hari menjelang malam aktivitas yang ditempuh oleh Hafidz belum berakhir. Lelaki berkemeja lengan panjang warna biru muda yang menenteng tas berisi notebook ini baru saja selesai mengisi acara pada pelatihan kepemimpinan di KAMMI. Rambutnya yang agak sedikit ikal tampak serasi dengan parasnya yang manis. Secara fisik lelaki bernama Hafidh ini cukup memikat hati para wanita yang melihatnya. Apalagi saat beliau mulai bicara, semua orang akan terbius mendengarnya. Pemilihan kata dan intonasinya membuat setiap orang terkesima. Pemikirannya yang cerdas membuatnya kerap menjadi ketua di banyak forum. Beberapa jam yang lalu ia mendapat short message service seorang akhwat yang meminta beliau datang ke suatu rumah sakit. Seorang teman satu dakwah yang bernama Tia sedang mengalami koma di rumah sakit tersebut.

Hafidh melangkahkahkan kakinya menyusuri lorong berdinding putih. Hatinya gelisah. Terus menerus dia beristighfar pada-Nya. Semoga Allah memudahkan jalan yang kutempuh, pikirnya.
“Assalamua’laikum”, ucapnya ketika memasuki suatu ruangan.
Sepasang suami istri memakai pakaian muslim dan muslimah memandangnya ramah, “Waa’laikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.”
“Maaf Pak Bu, saya tadi ada urusan sebentar jadi agak telat,” kata Hafidh agak gugup. Bahkan ia mungkin bisa menghitung langkah kakinya ketika mendekati suatu ranjang putih, “Bagaimana keadaan Tia, Bu?”
Sekilas Hafidh melihat seorang wanita muda dengan paras yang pucat terbaring tak berdaya dengan banyak selang mengitarinya. Tetesan infus dan kardiograf menyiratkan waktu yang bergerak sedetik demi sedetik. Keadaan yang cukup membuat hati Hafidh tergetar hebat. Apalagi wanita muda yang bernama Tia tersebut mengigau. Dia melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’anul Kariim.
Subhanallah, pikir Hafidz.
Wanita berusia hampir setengah abad itu menggeleng pelan, “Ibu cuma bisa berdoa semoga Tia bangun dari ketidaksadarannya dan …”
“Tia terus-menerus membaca ayat-ayat itu” Ibu itu tampak lelah menatap putrinya terbaring koma.
“Surat apakah yang dibaca Tia, Ibu?” tanya Hafidh


Setengah tahun yang lalu.

Tia masih melantunkan ayat-ayat Allah meski waktu telah menunjukkan pukul dua dini hari. Hatinya terasa begitu tersiksa.
“Jika cinta itu indah, mengapa aku merasa sakit ya Allah. Aku tak ingin mencintai lelaki selain suamiku namun mengapa dirinya yang selalu berada dalam benakku. Astaghfirullahal adzim. Dia terlalu indah untuk bersanding denganku. Aku bukanlah seorang akhwat yang suci dari noda dosa. Aku cuma wanita yang selalu berlari dari aturan Islam. Sementara lelaki itu selalu mencintai-Mu dan mendakwahkan Islam dengan segenap hatinya. Aku terlalu hina untuknya.” keluh Tia usai melaksanakan sholat tahajud dan tartilnya.
Airmatanya jatuh perlahan. Dalam kesunyian malam hanya detak jantung dan teraturnya napas yang terdengar oleh telinganya.
“Ya Allah apa yang harus kulakukan untuk menebus makhluk yang begitu mencintai-Mu lahir dan batin. Ya Allah tunjukkanlah jalan-Mu bagiku. amin”
Tia bersujud dalam keremangan malam menumpahkan kebuncahan hatinya yang tak menentu. Tiap detik ia beristighfar di hatinya.

Diary Tia
Surabaya, 6 September 2008
Awalnya ini hanya sebuah permainan, antara aku dan sepupuku. Sepupuku penasaran mengapa sampai di usiaku yang hampir 23 tahun ini belum pernah jatuh hati pada lelaki. Boleh dibilang aku tomboy karena 75% teman dekatku adalah laki-laki. Tapi jika tak ada satupun yang mampu menarik perhatianku apa bukan berarti ada yang aneh denganku. Akhirnya aku menjanjikan akan memberitahu nama lelaki yang pernah menarik simpatikku. Seminggu, janjiku kala itu. Setelah seminggu berlalu aku menulis short message service pada sepupuku itu. Segera sepupuku menelpon ponselku. Dia tertawa dan bertanya padaku apa aku benar-benar cinta pada lelaki yang kutulis namanya dalam sms itu. Pertama aku menjawab ya aku nggak tahu apa itu namanya cinta, aku kan nggak pernah punya pacar. Dia mengulang lagi pertanyaannya itu. Aku menjawab bahwa lelaki itu sungguh mulia budinya aku rasa setiap wanita yang mengenalnya pasti akan suka padanya lagipula ia high quality banget, sudah pintar, baik hati, manis lagi. Rupanya jawabanku belum memuaskan dirinya. Dia bertanya lagi apakah aku benar-benar mencintai lelaki itu, dan jawabannya cuma Ya atau Tidak. Dengan lesu kujawab Ya. Masya Allah, keluhku dalam hati.

Ternyata Bunda menangkap isi pembicaraanku dengan sepupuku itu. “Siapa laki-laki itu?” tanya Bunda. Biasanya Bunda tidak memberikan komentar pada teman laki-laki yang aku ceritakan, tapi ini sungguh berbeda. Bunda mengatakan kalau ia mau punya menantu seperti itu. Aku pun membawa suasana canda saat itu. Aku menanggapi dengan kelakar kalau aku jelas mau menjadi istrinya.

Ya beginilah akhirnya. Airmata selalu membawaku dalam kesendirian. Berharap Allah akan memberikan suatu keajaiban hingga aku, yang memiliki banyak kekurangan ini mampu bersanding dengan makhluk sesempurna lelaki itu.

Mungkin jalan satu-satunya untuk bisa bertemu dengannya adalah di jalan Allah. Ya jalan yang selama ini aku tinggalkan yaitu dakwah. Tapi aku harus ikhlas dalam melakukannya, bukan karena lelaki itu. Aku akan kembali ikut liqo’ yang sudah aku tinggalkan lebih dari setahun lalu. Aku akan kembali menyusuri jalan-Nya.

Surabaya, 15 september 2008
‘Assalamua’laikum, Akhi. ana slhsatu mhswi ITS thn 2004. ana mo tny apkh Akhi Syafruddin satu liqo’ dgn akhi Hafidh? Afwan sblmny ana cuma mau btnya apkh beliau sdh pny calon istri? Afwan, ana thu ana salah tp ana slalu merasakn resah jk melihat beliau. Jazakumullahi khoiron katsiro.’
‘Wa’alaikumsalam. Afwan bru bls. Inbox ana full. Maha Suci Allah yg tlah mciptakan manusia dgn sgala rahasia-Nya. Utk Akhi Hafidh itu tdk 1 liqo’ dg ana. Sthu ana jg beliau blm pny cln istri. Nah, mgkn sbaikny klo ana blh ngasih srn, memang yg nmnya cinta itu fitrah, tp bkan utk diikuti, ktika sudah diikuti namny bkn cinta lg tp nafsu, apalg di bln romadhon nih. Saran saya: kalo mmg ada “rasa” dg Akhi Hafidh, CURHATKAN saja sm Allah yg “punya” Akhi hafidh, mohon dberi jalan tbaik. Dan jgan sampe “byangan2” itu muncul lg. ktika byangan itu muncul, ykinlh itu dri setan. Segera istighfar dan ikuti dgn doa smg anti diberi yg tbaik. Allah thu kok isi hati anti. Jadi, sebisa mgkn kita hindari yg nmanya zina, pasti suatu saat Allah BERI yang lebih INDAH bwt kita. Ok?’

Surabaya, 24 September 2008
Seharian aku berada di kampus tapi aku tak melihatnya sama sekali. Jujur saja aku begitu rindu melihatnya membaca kitab Allah di musholla kampus. Seperti dua tahun yang lalu, hampir tiap pagi aku melihatnya usai sholat dhuha melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’anul Kariim. Subhanallah, Maha Suci Allah yang telah menciptakan makhluk seindah dirinya. Namun apakah masih ada kesempatan untukku menjadi bagian dalam hidupnya. Ya Allah mengapa hatiku terus-menerus merindukannya. Astaghfirullahal adzim. Ya Allah mengapa aku takut kehilangan dirinya, nafsukah ini. Ya Allah jujur saja aku menginginkannya untuk memberi dakwah pada keluargaku yang belum mengenal Islam secara kaffaah. Pertanyaanya mengapa mesti dia bukankah masih ada laki-laki lain yang dicintai dan mencintai Allah, bahkan mungkin lebih dari seorang Hafidh. Mengapa cuma dia yang aku inginkan untuk mendampingiku. Astaghfirullahal adzim.

Wanita setengah abad itu memberikan sebuah benda kecil yang tak asing bagi Hafidh. Sebuah flashdisk.
“Mungkin Nak Hafidh tahu cara menggunakan benda tersebut” kata wanita setengah abad, “Sebab menurut perasaan Ibu ada yang Tia sembunyikan disana.”
Hafidh masih belum mengerti apa maksud keluarga Tia memanggilnya. Memang kondisi Tia kritis, dokter sendiri masih belum mendapat kepastian jaringan saraf otak yang mana yang rusak akibat tergelincirnya Tia dari tangga kampus. Ia cukup prihatin dengan kondisi Tia, bahkan saat terdengar lantunan ayat-ayat suci yang rupanya Tia telah menghafalnya. Surat apa yang kini dibacanya dalam keadaan koma?
“Surat apakah yang dibaca Tia?” tanya Hafidh tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya. Memang dia juga suka menghafal ayat-ayat Allah, tapi yang baru dihafalnya adalah juz 30, surat Yaasin, surat Al Waqi’ah, dan surat Ar Rahman.
“An-Nur” jawab wanita setengah abad itu.

Hati Hafidh tiba-tiba bergetar tak tentu. Mengapa surat An-Nur. Apa mungkin …
Hafidh mengeluarkan notebook-nya, meletakkanya di meja ujung ruangan dan menancapkan flashdisk berwarna merah pada salah satu sisinya. Ia klik tombol kanan mouse-nya. Di click Explore. Di double click tulisan Tia (F:). Terlihat deretan isi dari flashdisk tersebut. Isinya tak begitu banyak hanya proposal TA, TA, dan my poets. Di double click tulisan my poets.
**************************
Untittled

Ana menunggu antum disini
Di rumah Allah
Saat lantunan ayat-ayat suci mampu meneduhkanku

Wahai lelaki yang dicintai Allah
Dimana antum saat ini
Ana menungu antum datang
di sana, di jalan Allah
Insya Allah


**************************
Ya Habibullah

Ya Habibullah
Iqro’ fil al qur’anul kariim
Ya lelaki yang dicintai oleh Allah
Lantunkanlah ayat-ayat suci-Nya

Keheningan hati kan terpancar saat mendengarnya
Laksana rintik air di tengah padang pasir

Ya Habibullah
Pancarkanlah sinar kesejukan
dalam senyummu
Ucapkanlah kalimat thoyyibah dalam tuturmu
Afwan
Tak pantaslah aku memandangimu
Bahkan hanya menyebut namamu
Terlalu keruh hati ini

Ya Habibullah
Tak pantas diri merindumu
Wahai kekasih Allah
**************************
Sebuah cahaya

Tuhan, dalam gelapnya hidupku aku membutuhkan sebuah cahaya
Cahaya yang kelak menuntunku selalu di jalan-Mu
Cahaya yang kelak bisa menenangkan hatiku
Cahaya yang selalu mengiringi langkahku
Hanya sebuah cahaya
Yang mampu membuatku menangis
Yang mampu membuatku bersujud di hadap-Mu
Yang mampu membuatku tersadar seberapa hitamnya hatiku

Ya Tuhan pemilik segala hati berikanlah cahaya itu padaku
Sebuah cahaya yang kan tetap bersinar
Mengiringi setiap langkah dan nafasku
Sebuah cahaya yang menerangi setiap elemen kehidupanku

Ya Tuhan penguasa segala rasa
Izinkan aku merasakan cahaya itu
Hingga aku mampu meneguk cinta suci-Mu
Hingga mampu kurasakan kasih-Mu

Ya Tuhan ...
Dalam sujud dan dzikirku
Kupasrahkan semuanya pada-Mu
Pilihkanlah yang terbaik untukku
Cahaya terindah di sisiku
Illahi syafarat yadayya fatrubhuma

Didedikasikan untuk “cahaya Allah”
semoga Allah selalu melindungi langkah Akhi

**************************
“An-Nur” gumam Hafidh tak jelas, “Cahaya Allah, Habibullah, Subhanallah”
Semua terlalu berlebihan. Itu bukanlah cinta, pikir Hafidh. Lagipula belum tentu lelaki yang ditulis oleh Tia adalah dirinya.
“Bukankah Nur adalah nama dari nak Hafidh?” komentar wanita setengah abad
Hafidh Nur Firdaus. Itu memang nama panjang Hafidh tapi jarang sekali orang yang memanggilnya Nur. Lagipula ada berapa banyak lelaki bernama Nur yang dikenal Tia. Bukankah ada teman satu angkatan juga yang bernama Nuruz Zaman.
Igauan Tia berhenti tatkala sampai Shodaqallahul adziim.
Hati Hafidh menangis saat kata yang diucap oleh Tia adalah namanya. Ya namanya.
“Hafidh … Hafidh …Hafidh…” gumam Tia
“ Masya Allah” keluh Hafidh.
Wanita setengah abad mengelus punggung Hafidh, “Maafkan Tia, nak Hafidh”
“ Ibu, saya minta maaf. Saya akan khitbah seminggu yang akan datang.” kata Hafidh.
Wanita setengah abad itu menangis tanpa isak. Selama ini Tia benar-benar berubah menjadi totally muslimah. Bahkan wanita itu sempat berpikir betapa bahagianya lelaki yang menjadi suami anaknya. Tia yang pintar, sederhana, bahkan punya cinta yang tulus pada setiap orang.
Haruskah semua berakhir seperti ini? Ya Allah berilah cahaya-Mu dalam kehidupan anakku, doa wanita setengah abad itu.
Terdengar Tia kembali melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an, surat An-Nur.

Penulis : Eka. S
Surabaya, 26 September 2008

Kupu-kupu Kertas


Tujuh tahun telah berlalu namun aku masih mengingatnya. Wanita yang tampak begitu sederhana di mataku. Wanita yang sering mengiringi langkahku dengan semangat juangnya yang tinggi. Wanita itu menganggap hidup ini terlalu sempurna untuk dianggap sebagai suatu permainan. Sebagai anak dari keluarga berkecukupan aku kurang tahu bagaimana susahnya bertahan hidup di kota besar seperti Surabaya. Biaya sekolah yang tinggi tidak menyurutkan semangat kedua orangtuanya untuk menyekolahkan anak perempuannya. Padahal zaman dulu wanita adalah makhluk yang hanya cukup tahu tentang rumah, pintar memasak dan berbakti pada suami.

Namanya Maesa Djarwati, nama yang cukup kalem. Kenyataannya Maesa adalah wanita tomboy dengan segala keunikannya. Ia sering menemaniku bermain basket, catur, voli bahkan sepakbola. Ia pribadi yang menyenangkan. Kebiasaanya yang sampai detik ini yang tak bisa aku lupakan adalah menggambar kupu-kupu. Ia senang sekali menggambar kupu-kupu kemudian membuat corak pada sayapnya serta memberi warna yang indah. Tak mau kalah dengannya aku sering membuat gambar bunga tapi gambarku lebih sederhana karena aku hanya menggoresnya dengan pensil 2B. Ia suka sekali dengan gambar buatanku, bahkan ia pernah meminta satu gambar bungaku. Untuk kenang-kenangan, katanya saat itu.

Aku tidak tahu perasaannya terhadapku. Ia memiliki banyak teman laki-laki. Ia pun tidak pernah ambil pusing apabila teman-teman sering mencomblangkan kami berdua. Ia tetap berjalan sesuai prinsip hidupnya, tidak akan pacaran. Menurutnya pacaran itu mendekati zina. Aku merasa aneh dengan apa yang ia katakan. Bayangkan saja wanita tak berhijab dan sebagian besar hidupnya bersama laki-laki berbicara tentang zina. Munafik sekali. Tapi sebagai sahabat aku hanya tersenyum mendengar ocehannya kala itu. Perkataannya memang benar hanya saja ia tidak bisa mengoreksi diri sendiri. Ini membuatku sedikit muak melihatnya.

Aku bermain dengan putri pertamaku yang kuberi nama Aisyah Almira Esaputri. Istriku selalu marah ketika aku memberi hadiah mobil-mobilan ataupun bola pada putri pertamaku ini. Istriku ingin kelak Aisyah akan menjadi wanita yang kalem seperti dirinya, wanita yang sholihah. Justru ini yang sering membuatku bertanya-tanya tentang keberadaan Maesa. Di mana Maesa saat ini, apakah ia juga sudah menikah. Apakah ia juga bisa berubah menjadi wanita yang kalem. Jujur saja walaupun Maesa tomboy tapi kemampuan memasaknya jauh lebih baik dari istriku. Bagaimana aku bisa tahu? Tentu saja aku tahu, aku sahabatnya. Penampilan itu sangat bisa menipu, bukan?
Istriku bernama Hafifah Alfitriyah, tentu saja aku mengenalnya sebagai pribadi yang cocok untuk dijadikan istri. Hafifah sangat santun, pandai mengaji dan berhijab.

Tunggu, sebenarnya Maesa juga pandai mengaji. Maesa adalah wanita yang cerdas, ia mengerti hukum-hukum islam secara kaffaah, ia terkadang memiliki perhatian yang berlebihan. Aku masih ingat saat menderita sesak napas ketika liburan kelulusan SMA, ia memang tidak bisa memberi perhatian khusus namun aku tahu ia selalu mengawasiku. Bahkan aku bisa merasakan ia sangat dekat denganku. Mungkin ia terlihat cuek tapi matanya sangat cemas menatapku. Ya Tuhan mengapa aku sering membandingkan Maesa dengan istriku.
“Kamu masih mengingat Maesa, Mas?” tegur Hafifah
“Tidak” elakku
“Kamu bohong Mas, aku bisa melihat dari caramu memperlakukan putri pertama kita.”
“Aku tidak bermaksud untuk begitu Fifah”
“Tapi aku bisa melihat kerinduanmu pada sosok Maesa. Aku cemburu Mas”

Kini aku bisa merasakan bahwa Maesa pun terluka saat ia tahu aku menikah dengan Hafifah. Tapi saat itu aku benar-benar tidak tahu perasaannya terhadapku. Aku pikir ia telah menemukan sandaran hidup yang tepat. Ternyata ia mengatakan bahwa sebenarnya ia sangat cemburu dan tidak percaya aku menikah dengan kekasihku, Hafifah. Ia mengatakan bahwa sampai detik di mana aku memutuskan untuk menikah, ia tidak pernah menjalin kasih dengan siapapun, bahkan cuma diriku satu-satunya lelaki yang paling tahu tentangnya. Apakah aku telah melukai hatinya. Mengapa luka kini berbalik menghujam diriku ketika tiada satu kabarpun tentang keberadaan Maesa.

“Mengapa Mas tidak menemui Maesa? Apakah ia telah bersuami?”
“Aku tidak tahu di mana dirinya dan bahkan aku tidak tahu apakah ia telah menikah.”
“Kamu masih mengharapkannya?”
“Maksud kamu apa, Fifah?”
“Mas aku benar-benar iri pada Maesa. Tiap waktu kamu selalu memujinya.”
“Maafkan aku Fifah, aku tidak bermaksud untuk menyakitimu”
“Apakah jika Maesa belum menikah Mas akan menjadikannya istri kedua? Jika itu bisa membuat Mas bahagia, aku ikhlas”

Kulihat titik airmata di pipi istriku. Ingin sekali aku menghapusnya tapi bayangan tentang Maesa membuatku hanya menatap kaku wanita yang telah dua setengah tahun mengisi kehidupanku.

“Fifah, aku tidak ada niatan untuk poligami”
“Tak apa Mas, aku juga tidak ingin melihat Mas terus-menerus bersedih”
Inikah pengorbanan seorang wanita. Bahkan aku sekarang bisa membayangkan pengorbanan hati Maesa untuk egoku menikahi Hafifah. Apakah ia menangis saat itu, apakah ia membuang semua kenangan denganku, apakah ia sangat membenciku.

“Kamu satu-satunya wanita yang akan mendampingi hidupku, Fifah. Tidak akan terganti”
“Percuma jika hatimu masih untuk Maesa”

Aku tak bisa bicara lagi. Aku tidak ingin rumah tanggaku berselisih hanya karena kehadiran Maesa dalam otakku. Namun mengapa nama Maesa selalu menghantuiku. Apakah Maesa masih belum bisa melepaskanku?

Kubakar kupu-kupu kertas pemberian Maesa tujuh tahun lalu. Aku berharap dengan ini aku bisa melupakannya. Apakah ia juga telah membakar gambar bunga yang kuberikan padanya di hari ulangtahunnya ke tujuhbelas. Ya Tuhan, mengapa aku bisa merasakan rasa sakit yang mendalam di hati Maesa. Ya Tuhan lindungilah setiap langkah kaki Maesa, berikan padanya suami yang jauh lebih baik dari diriku, yang bisa menjaga serta menyayanginya. Semoga ia menemukan kebahagiaan, meski tanpa diriku.
Kulihat istriku sibuk menyiapkan makan malam.

”Ada yang bisa aku bantu, Sayang?” tanyaku
”Iya bantu habisin masakanku. Aku harap Mas suka nasi goreng buatanku”
”Pakai pala?”
Istriku menggeleng. Andai saja ia Maesa pasti ia tahu nasi goreng seperti apa yang aku sukai. Aku tersenyum mengingat bayangan Maesa.
”Ada apa Mas? Kok tiba-tiba senyum simpul seperti itu?”
Aku menggeleng pelan. Cuma ingat sesuatu, pikirku. Aku cuma ingat seorang Maesa. Maafkan aku istriku.

Surabaya, 8 mei 2009

fatamorgana pelangi


Ya Rabb, mengapa hati ini merindukannya?
Pembawaannya begitu tenang, seperti air sungai yang mengalir jernih dari hulu ke hilir. Tuturnya begitu santun, melukiskan begitu besar kesabaran yang ia miliki. Senyumnya tulus, tanpa ada tatapan benci di matanya. Ataukah aku terlalu berlebihan tentangnya?

Kali ini aku tak berani menatapnya. Degup jantungku terasa begitu nyata. Tak biasanya aku merasakan hal seperti ini. Dalam beberapa hari saja aku mampu mengendalikan setiap perkataan dan perbuatanku. Biasanya aku bersikap seenaknya sendiri. Bergaul di lingkungan para engineer membuatku cukup keras dalam watak maupun sikap. Tapi beberapa hari ini aku tampak begitu santun meskipun masih belum bisa sesantun Alia, yang selalu sibuk di balik komputer atau sesantun Vira yang sibuk menghitung absensi pegawai. Tentunya mereka bisa bersikap santun karena lingkungan mereka sangat mendukung. Tapi aku?

Berawal dari sebuah forum yang sangat formal. Tentu saja aku mengenal hanya sebatas nama yang terpasang di dada kanan wearpacknya, Reza Pradana. Nama yang cukup jelas menggambarkan bahwa dia anak pertama. Dari sikapnya kulihat dia cukup cerdas. Namun aku hanya memandang sebatas lalu, sebelum akhirnya teman dekatku menceritakan sesuatu tentangnya.

Tentang seorang Reza, laki-laki yang berbeda usia denganku sekitar empat tahunan ini sedang dalam upaya pencarian pendamping hidup. Dia merindukan wanita shalihah yang memakai hijab. Dia baru saja patah hati karena ceweknya meninggalkannnya demi lelaki lain. Pikirku saat itu adalah wajar jika banyak para wanita bosan dengan pembawaannya yang sangat formal. Dia sangat menghargai dan menghormati orang lain. Tutur katanya terlalu santun dibandingkan rekan kerjanya yang lain. dan satu hal yang membuatku syok kala itu adalah teman dekatku mengusulkan padanya untuk meminangku sebagai isteri.

Entah bagaimana ekspresi mukanya ketika temanku itu menyebut satu nama, Nesha. Yang jelas saat itu dia belum mengenalku dan aku juga tidak mengenalnya, selain hanya nama Reza yang ada di wearpack itu. Terasa lucu diriku menjadi kandidat dari isterinya. Pasalnya dia itu ganteng. Tidak bisa dipungkiri secara fisik dia begitu sempurna.

Saat ini hanya parasnya yang tergambar di mataku. Sekalipun banyak gosip tentangku beredar di kantor. Aku sama sekali tak peduli. Yang aku takutkan adalah aku telah jatuh hati padanya, pada seorang Reza. Bagaimana tidak, baru namanya yang mendapat sambutan hangat dari kedua orangtuaku diantara Nawan dan Aries. Nawan adalah seniorku di kampus, sekarang dia sekantor denganku. Selama ini teman-teman sering menggosipkan aku dan dirinya. Sedangkan Aries adalah teman chatting yang juga masih satu perusahaan hanya berbeda kantor. Baik Nawan maupun Aries adalah lelaki yang cerdas, namun karena alasan tersendiri kedua orangtuaku malah menyuruhku melupakan mereka berdua. Reza Pradana, inilah yang menyorot seluruh perhatianku beberapa hari ini.

Pagi ini berlalu seperti hari-hari sebelumnya. Kumasukkan data progress overhaul semnetara teman dekatku, Ria asyik mengerjakan grafik progress pekerjaan listrik. Kulihat kelap-kelip di layar monitor di mana aku membuka tab facebook. New message from Reza. “Amazing, it will be a nice day…” pikirku seraya senyum-senyum sendiri. Ria menatapku, “Pasti lagi chat sama suami”

“Assalamulaikum Dek”
“Wa’alaikumsalam Mas. Kok tumben pagi-pagi dah online”
“Iya tadi abis jogging”
“Biasanya aja tidur, baru bangun jam sepuluh-an”
“Kok adek tahu?”
“Ya biasanya kan chat juga”
”Masuk keja?”
”Yup”
”Minggu tuh libur”
”Maunya begitu, tapi...”
”Eh gimana kemarin ujiannya?”
”He...^_^”
”Malah senyum lagi”
”Kan senyum itu ibadah Mas”
”Iya...iya...ini yakin lulus ujiannya?”
”Kok nanyanya gitu, berat jawabnya. Hehe”
”Ya percuma dunk aku jadi mentor dadakan seminggu kemaren klo gak ada hasilnya”
”Ya insya Allah, adek cm bisa berdoa aja Mas”
”Dek, bulan depan udah nggak di bekasi lagi kan?”
”Masih di Bekasi, kenapa Mas?”
”Ini aku mau ketemu ma adek, ada yang Mas mau bicarakan”
”Tentang apa Mas?”
”Penting seh. Gak bisa lewat chatting”
”Mas mau merit ya?”
”^_^ insya Allah”
Jemariku berhenti mengetikkan kata. Wah padahal selama ini pembicaraanku dengan Reza berjalan sangat baik. Aku berharap hubunganku dengannya lebih daripada kakak-adek. Tapi apa mungkin lelaki sesempurna Reza mau menikah denganku? Wah bisa ditertawakan sepuluh ribu malaikat yang mengikutinya.
”Padahal aku mau buat surprise berita ini”
Kulihat deretan kata yang dia tulis. Jemariku serasa sudah tak sanggup lagi untuk membalasnya. aku mencoba bertanya lagi pada hatiku, apakah terluka? Tapi aku harus tetap enegarkan diriku, bukankah Allah selalu memberi yang terbaik untuk hamba-Nya?
”Afwan...kok diem Dek?”
Mulai mencoba kuketik kelapangan hatiku membalas message darinya.
”Wah selamat ya Mas...adek turut bahagia”
”Wah padahal aku berharap adek bakal cemburu..hehehe”
”Ya udah adek cemburu wes..Xixixixi”
“Ya syukurlah kalo begitu nanti kita lanjutkan lagi chattingnya, aku mau mandi dan sarapan dulu”
”Oke, sarapan apa nih Mas?”
”Sarapan nasgor, tadi sempat bikin sebelum buka facebook”
”Wah... suami yang baik”
”Beruntung ya cewek yang dapat suami kayak aku”
”^_^ jelas beruntunglah Mas, udah ganteng baik pula”
”Hehe...makasih pujiannya Dek”
”Eh bentar jangan off dulu...kapan Mas rencana menikahnya?”
”Masih belum diskusi sama keluarga si perempuan.”
”Oh.... ya semoga lancar walimahnya”
”Aminn....aku off dulu ya”
”^_^”
”Wassalamualaikum”
”Waalaikumsalam..barakallahu fik”
”Amin jazakumullahi khairon katsiro”

Parasku berubah jadi pucat. Ria menatapku penuh tanda tanya. Biasanya aku selalu berseri-seri setelah chatting atau sekedar berkirim short message dengan Reza.
”Nes, kenapa sama Reza?”
Aku mentapnya, ”Dia mau merit”
”Subhanallah, pasti isterinya secantik mantan pacarnya dulu” ucap Ria pelan.
Aku menatap Ria penuh arti. Ria tertawa cekikikan. Kuhempaskan badanku memunggunginya. Ria malah tak peduli atas sikapku ini. Lho kok tak ada satupun yang menaruh iba padaku. Aku patah hati untuk yang kedua kalinya. Aku terluka karena ditinggal sendiri lagi. Dan Reza kini menjadi mimpi yang telah beralih dari hidupku.
”Mas Rez, kok jadi begini ya...akhir cerita yang mengharukan.” pikirku.

Kelip-kelip message masuk di tab facebook yang hampir ku log-out.
”Afwan Dek, mumpung kamu belum off...”
”Lho kok online lagi? Katanya mau mandi..”
”Hehe...baunya belum sampe Bekasi kan Dek? Kalo gitu masi aman ^_^”
”Emang ada apa Mas? Aku mau dijadikan pager ayu ya?”
”Ye...Ge eR amat dek, ya enggaklah...kan aku masih punya sepupu yang cantik2”
”Hehe...lupa kalo aku gak cantik ”
”Haha...santai aja yang penting hatinya cantik”
Semua lelaki sama aja, katanya kecantikan yang paling berharga adalah hati tapi…tetap saja yang dilihat fisik dulu. Renungku tanpa kusadari layer telah kedap-kedip. Memang computer kantorku satu ini sering bermasalah. Mungkin karena sudah jadul.
”Dateng ya ke acara kajian besok Kamis di ruang biasanya”
”??? Aku masih di Bekasi Mas”
”Pokoknya harus datang, karena temanya bagus”
”Apa temanya?”
”Menjadi haq dan kewajiban suami-isteri”
”Ye...aku kan belum merit...Mas tuh yang mau lamaran, bakal jadi suami dalam waktu dekat”
”Haha...segitunya Dek, ikut ajalah siapa tahu adek juga merit dalam waktu dekat”
”Amin makasih doanya, insya Allah.”
”Minta izin ke site coordinator”
“Diusahakan Mas”
“Oke deh, aku off dulu Dek. Wassalamualaikum”
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh”
“Barakallhu fik…”
“^_^ buruan mandi baunya sudah nyampe Bekasi nih Mas”
”Hehe”

”Ri, aku salah apa ya?” tanyaku pada temanku yang sedang asyik bermain Google di komputernya.
”Banyaklah...makanya taubat dong” sahutnya asal.
”Kok Mas Reza secepat itu nikahnya?”
”Ya jodoh kan sudah jadi ketentuan Allah. Kamu pernah bilang kan sesayang apapun dia padamu kalau belum jodoh ya nggak bakal bisa merit, dan sebenci apapun dia padamu kalau Allah menghendaki kalian berjodoh ya nantinya benci itu jadi benar-benar cinta..Hihihi”
”Kok malah cekikikan sih?”
”Uh, temanku yang lagi patah hati...kenapa gak tanya cewek yang bakal dilamar reza seperti apa. Mungkin aja kamu lebih baik dari cewek itu sehingga kamu bisa lebih explore kepribadianmu ke Reza.”
”Waduh...kan aku sudah berkali-kali bilang ke Ria, kalau aku paling gak suka melihat oranglain terluka karena sikapku. Apalagi merebut suami orang”
”Reza masih berencana melamar dia. Statusnya belum suami”
”Sama saja kalau di hati Reza sudah terukir nama cewek itu”
”Terserah kamu deh Nes, aku kan Cuma bisa memberi saran. Selebihnya adalah keputusan darimu sendiri.”
Aku terdiam. Sepertinya sudah tidak ada kata yang patut aku ucapkan melainkan hamdalah. Aku harus selalu bersyukur dan ber-positive thinking pada Allah. Bukankah Allah telah melukiskan kisah-kisah indah pada umat-umat-Nya.
Watthayyibatu lit thayyibin
”Oh ya katanya tadi malem kamu mimpi ular lagi? Kamu masih lari Nes?”
”Ular itu melingkari kakiku lalu menatapku lama”
”Terus?”
”Aku berharap ular itu mematukku”
”Syukurlah kalau kamu sudah tidak lari lagi. Kan di mipi-mimpimu yang dulu kamu lari ketakutan toh?”
”Tapi ular itu cuma memandangku, ia tidak mematukku”
Ria tertawa kecil
”Aku terbangun dan menangis” ucapku kalem
”Kan hanya mimpi Nes, tak usahlah dipikir terlalu serius”
”Tapi itu ular yang sama dengan dua mimpi sebelumnya, hijau berkilau dan sangat panjang.”
”Haha...sudahlah Nes, ularnya disimpen dulu”
”Ularnya matuk cewek lain rupanya....”
”Yeee...masa’ cowok ganteng seperti Reza disamakan dengan ular seh”
Aku meringis.

Suasana di ruang pengajian tampak lengang. Hanya ada beberapa Bapak-bapak dan Ibu-ibu di sana. Kutelusuri pandanganku untuk mencari sosok Reza. Bahunya yang bidang nampak begitu kentara. Sekalipun dia memakai seragam, nampak dia bersinar. Atau hanya di mataku saja sinar itu muncul, sinar kekaguman sang penyanjung cinta.
”Afwan, Assalamualaikum” sapa seorang ustadz padaku.
Kontan aku terkejut. Pikiranku masih membayangi sosok Reza yang tak peduli akan kehadiranku. Reza masih asyik berbicara dengan rekan kerjanya.
”Wa’alaikumsalam Ustadz. Ada apa ya?”
”Ini saya dapat titipan dari seseorang. Tiket pesawat”
Aku tercengang. Cukuplah hal-hal aneh ini terjadi di hidupku.
Sebentar....apa ini mimpi???
”Pulanglah ke Jawa bulan depan, keluargamu menunggu kedatanganmu. Di sana akan ada seseorang yang berniat meminangmu”
”Siapa Ustadz? Apa aku mengenalnya?”
”Ya rekan kerjamu, pokoknya anti pulang dulu. Bukankah anti telah enam bulan tidak pulang ke Jawa?”
Inilah yang paling tidak kusukai dari kantorku. Istilah Jawa. Saat ini posisiku di Jakarta dan mereka mengatakan Jakarta itu bukan Jawa. Hanya Jawa tengah dan Jawa timur khusunya yang disebut sebagai Jawa.
”Siapakah dia, Ustadz?”
Ustadz itu tersenyum seraya menyerahkan tiket pesawat Garuda. Wah ada yang nggak benar nih. Tiket Garuda kan mahal. Ada juga orang yang mengikhlaskan uangnya demi seorang Nesha.

Usai pengajian Reza menghampiriku. Senyumnya sangat menawan hatiku, hingga berlang kuucap istighfar untuk menenangkan degupan jantungku.
”Apa itu?” tanya Reza melihat tiket pesawat hasil print, ”Kamu mau pulang kampung?”
”Rumahku Surabaya, itu kota Mas, bukan kampung” sahhutku
”Garuda airlines...mahal tuh”
”Ini pemberian orang yang akan mengkhitbahku”
”Wah selamat ya Dek...”
”Masalahnya adek nggak tahu siapa dia Mas”
”Pastilah dia sayang sama Adek, buktinya dia ngasih tiket pesawat Garuda bukan tiket kereta ekonomi...Hihihi”
”Ini mimpi ya Mas?”
”Kok gitu?”
”Ya kan aneh. Apalagi adek kan belum lulus dari tes penerimaan pegawai.”
”Ya, mungkin ikhwan itu percaya Adek bisa lulus”
”Kok dia nggak ngomong sendiri ma adek ya Mas?”
”Waduh aku nggak tahu Dek, kalau aku tahu siapa orangnya mungkin aku tanya mengapa harus lewat murobbi”
Aku mengangguk pelan.
”Dek, aku mau ada rapat di kantor. Aku balik dulu ya...”
”Oke...”
”Jangan lupa disiapin hatinya buat menerima lelaki itu”
Aku mengernyitkan dahi, ”Mana bisa? Aku malah nyiapin alasan buat nolak dia, hehe”
”Wah...mendingan istikharah, jangan nuruti nafsu”
”Hehe...insya Allah”
Wah kapan ya terakhir istikharah? Setahun yang lalu, saat hatiku tertambat pada seorang ikhwan bernama Putra. Sekarang harus istikharah lagi?

Allahumma inni as aluka an turzuqani rizqan halaalan waasi’an thayyiban min ghairi ta’bin walaa massaqatin walaa dlairin innaka alaa kulli syaiin qaadir. Ya allah aku minta pada-Mu atas pemberian rezeki yang halal, luas, baik tanpa repot dan juga tanpa kemelaratan dan tanpa keberatan. Sesungguhnya engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
”Ehem...” Ria mendekati bangkuku.
Segera ku klik share pada wall-ku.
”Kok nggak pernah chat lagi ma Reza?”
”Dia nggak pernah online lagi”
”Kapan sih meritnya?”
Aku menggelengkan kepala.
”Huh... mentang-mentang yang akan lamaran nih...gimana progress istikharahnya?”
”Kok hati aku tenang ya Ri, aku sampai bingung”
”Nah berarti jodoh”
”Sok tahu...”
”Wah siapa ya mister X ini...mungkin Nawan?”
”Waduh parah kalau mas Nawan...”
”Kalau Aries?”
”Jelas enggak” ucap kami berbarengan
Ria cekikikan. Mungkin ia sedang membayangkan sosok Aries yang tinggi, manis dan berwibawa itu. Lagipula aku sering banget bilang aku nggak suka Aries.
”Ya ditunggu aja kabarnya bulan depan”
”Ya semoga bukan Nawan atau Aries...walaupun sepertinya temanku satu ini masih demen dicomblangin ma Nawan...hehe”
”Waduh aku nggak bisa meng-amini”
”Tuh kan kelihatan banget masih berharap sama Nawan”
Aku meringis, ”Hehe...sok tahu”
”Memang tahulah...”
”Wallahu a’lam bis shawab”
Ria beranjak meninggalkanku dalam senyum. Aku masih bisa merasakan kehadiran seorang Reza di sisiku. Mungkin perasaan ini harus berakhir karena ada lelaki di sana yang berharap aku akan mendampingi hidupnya. Dan mungkin dia bukan seorang Rez...
Kulihat sebuah message chat di layar facebook-ku
”Assalamualaikum Ummi”
Kubaca nama pengirimnya, kupejamkan mata sejenak. Ada yang salah dengan layar komputer atau apa...karena orang yang menulis message itu adalah Reza Pradana.
”Alhamdulillah” bisik hatiku yang sedang menari bahagia.
Ya rabb, jangan biarkan hatiku terjatuh lagi.

Ditulis:
Jakarta, 9 Mei 2010 oleh Eka S