Rabu, 27 Februari 2013

Tiga Cinta




Tentang Hilal

Hilal menatap langit malam yang menyugukan gugusan bintang. Entah mengapa hatinya galau. Usianya 32 tahun adalah usia yang terhitung sudah cukup umur untuk menikah. Namun keputusannya untuk merantau ke Banjarmasin telah melenyapkan bidadari  yang diimpikannya.  Masih teringat jelas pertemuannya dengan bidadarinya itu. Satu setengah tahun yang lalu, Hilal menemui Rara di Jakarta.
“Bagaimana Ra? Bukankah Jakarta dan Banjarmasin tidaklah terlalu jauh bila naik pesawat terbang” ucap Hilal menatap wanita di depannya.
“Tapi Rara ingin selalu dekat dengan suami” ucap Rara.
“Nanti kalau liburan sekolah kan aku bisa lama liburan di Jakarta”
“Entahlah Mas, aku masih belum bisa membayangkan jauh dari suamiku”
“Jadi aku tidak bisa melamar kamu?”
“Maafkan Rara, Mas. Rara memang sedang mencari  jodoh. Tapi Rara merasa berat menerima pinangan Mas Hilal”
“Sebenarnya juga aku enggan untuk pergi ke Kalimantan, namun aku harus mencari penghidupan yang lebih layak”
“Sekali lagi maafkan Rara, Mas”
“Semoga Rara segera menemukan jodoh seperti yang Rara inginkan. Tapi kalau Rara berubah pikiran, Rara bisa menghubungiku kapan saja. Insya Allah keluargaku siap untuk meminang Rara”
“Terima kasih atas pengertiannya Mas”
Bagaimana Hilal bisa melupakan sosok anggun yang selama ini menari di pikirannya. Toh, selama ini dia berganti-ganti pekerjaan agar pendapatannya minimal sama dengan wanita bernama lengkap Rara Aditya Putri ini. Rara tetap tidak berubah meskipun dia telah terkena hawa metropolitan Jakarta. Bahkan dia tampak semakin tangguh di kota penuh polusi ini. Rara yang tidak pernah mengikatkan diri pada cinta seorang adam, tampak tangguh meskipun jodoh yang dinantinya belum juga datang.

Hilal membuka kembali sms terakhir yang dikirim Rara kepadanya.
Alhamdulillah, telah dilaksanakannya akad nikah Rara Aditya Putri dan Asyam Alhabsyi pada 20 Mei 2012, semoga berkah dan rahmat Allah selalu menyertai kami.
Apa kabarmu sekarang Rara” pikir Hilal, “Bahagiakah kamu bersama lelaki yang bernama Asyam ini?”
Ingin rasanya Hilal menulis sms ke Rara, namun selalu diurungkannya niat itu.


Tentang Wahyu

Wahyu menatap wanita halal yang ada di hadapannya. Dua hari yang lalu, tepatnya 25 Februari 2013 dia menikah dengan seorang wanita manis bernama  Aisyah Almira. Kini dia dan istrinya sedang berada dalam indahnya asmara. Apalagi dia dan istrinya masih cuti kerja. Terasa begitu indahnya, pengantin baru. Pacaran setelah menikah dengan wanita yang baru dikenalnya sebulan lalu.

Masih teringat jelas saat dia meminta murobbinya untuk mencarikan jodoh baginya. Setelah hampir dua tahun bekerja di Jakarta, kini hatinya baru mantap untuk melangkah ke arah pernikahan. Tak berapa lama, gayung bersambut, wanita dengan ketulusan hati akhirnya mau menerima pinangannya. Lewat serangkaian ta’aruf, kini wanita itu resmi menjadi istrinya. Wanita yang mau menerima apa adanya dirinya, meskipun statusnya masih merupakan pegawai outsourcing di Kementrian Pendidikan.

Entah mengapa tiba-tiba berkelebat paras Rara dalam benaknya. Rara, wanita yang dikenalnya saat masih di kampus. Setahun yang lalu, wanita ini sempat menawarkan untuk ta’aruf dengannya. Namun saat itu hatinya belum mantap melangkah ke arah pernikahan. Apalagi wanita luar biasa bernama Rara ini membuat hati Wahyu menciut.

Tentang Agung

Tiga bulan sudah usia pernikahannya dengan Vita Anggraeni, wanita yang dulu sekantor dengannya. Tiga bulan sudah mereka hidup di sebuah kontrakan kecil di Jakarta. Kesibukannya di tempat kerja yang baru terkadang membuatnya jarang menemani istri tercinta. Namun Vita, wanita yang sebaya dengannya itu Nampak sabar dengan segala tingkah lakunya.

Sebelum Vita hadir dalam kehidupannya, memang ada seorang wanita yang kerap menjadi pujaannya. Rara, wanita yang usianya setahun di bawah Agung, wanita tangguh nan mandiri yang pernah dikenalnya. Namun juga merupakan wanita yang pernah disakitinya. Wanita yang dia tinggalkan, meskipun wanita itu sangat mengharap kehadirannya untuk menjadi pendamping hidup. Entah bagaimana kabar wanita ini.


Tentang Rara

Entah mengapa Rara tiba-tiba teringat akan kawan lamanya, Raden Hadi Wahyuono. Lelaki yang sabar dan sederhana di matanya. Rara pun kembali menelusuri profil Wahyu di facebook. Rara tersenyum saat menatap pada layar monitor komputernya tertulis bahwa Wahyu has got married at February, 25th 2013. “Siapa wanita beruntung yang menjadi istri Wahyu” pikir Rara.

Kringgg…. Hp Rara berdering, sebuah sms diterima.
“Assalamualaikum, apa kabar Rara?”
Sebuah sms dari Ahmad Hilal, kawan lamanya.
Belum sempat Rara menjawab sms Hilal, tertera dalam layar Hp-nya. Called : Agung Prakoso


Cinta mungkin bisa memilih.
Namun jodoh adalah mutlak hak Sang Pencipta.
Jalan yang ada tidak untuk disesali.
Mungkin itu hanya akan menjadi kisah lama.
Suatu ketika cerita itu akan hadir kembali.
Namun itu hanya sebuah cerita.
Hanya Allah yang tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya.



Sebuah Pernikahan



Apa yang selama ini orang bayangkan tentang pernikahan?
Tentang sebuah komitmen,
tentang sebuah cinta,
tentang janji suci di hadapan Illahi,
tentang sebentuk tanggung jawab.


Entah mengapa tiba-tiba aku merenungi sebuah kata pernikahan.
Dua insan dalam satu ikatan janji.
Dua insan dengan kisah yang berbeda.
Dua insan dengan kemantapan hati.


Kembali menelusuri kisah yang ada.
Serasa semua terjadi begitu tiba-tiba.
Rasa tenang, rasa mantap, dan rasa percaya.
Cinta pun tumbuh seiring berjalannya waktu.
Kasih pun hadir seiring kedekatan kami.


Masih terbayang tatapan matanya saat awal berjumpa.
Seraya membekas dalam memori indah perjumpaan kita.
Tatapan yang meyakinkanku bahwa dia tercipta untukku.
Suamiku, lelaki yang begitu sabar menemaniku.
Ketika dia menahan tangis melihatku menangis.
Ketika dia memanjakanku dengan sejuta permintaanku.


Hampir sepuluh bulan usia pernikahan kami.
Waktu terasa begitu cepat berlalu.
Suamiku, tak lelah dia menemaniku.
Sabar untuk mengajariku bersabar.
Bahagia saat melihatku tertawa.
Sayang, saat kupeluk dirinya.


Inilah kisah pernikahanku.
Setahun yang lalu, aku masih belum mengenalnya.
Setahun yang lalu, temannya masih berusaha menjodohkanku dengannya.
Sungguh, inilah rezeki  jodoh yang Allah anugerahkan pada kami.


Semoga Allah selalu merahmati kami, aamiin …

Selasa, 26 Februari 2013

Bunda mencintaimu, anakku….




Menjadi wanita karir memang pernah terbayangkan olehku, namun aku tak pernah merasakan segalau ini. Menatap paras para anak yang dititipkan pembantu, rasanya hatiku miris. Aku tahu pertanyaan suamiku sangat wajar, setelah cuti melahirkanku habis, buah hati kami akan diasuh oleh siapa. Sementara kedua orangtuaku punya kehidupan sendiri di Surabaya. Sedangkan mertuaku tinggal di Surakarta. Lalu, anakku akan tinggal bersama siapa.

Ini sudah menginjak tujuh bulan kehamilanku. Rasa bahagia dan galau bercampur menjadi satu. Bahagia karena dalam tahun pertama pernikahanku, buah hati inilah kado terhebat dari Allah. Galau karena statusku yang masih wanita karir. Meskipun, suamiku pun ikhlas jika aku memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga saja.

Ada satu keinginan yang sangat ingin kuwujudkan. Mimpi mertuaku dan kedua orangtuaku untuk umroh ke tanah suci. Tentu saja itu membutuhkan uang yang tidak sedikit. Sengaja aku mendahulukan prioritas ini dibandingkan melunasi rumah kami. Karena usia mereka yang semakin bertambah. Aku sangat ingin melihat senyum mereka menghiasiku. Aku hanya ingin membuat mereka bahagia. Namun, aku juga tidak ingin mengorbankan kebahagiaan buah hatiku.

Sebenarnya, sudah lama aku ingin membuka usaha sendiri. Waktu dan kondisi lebih fleksibel untuk mendidik putra-putriku. Namun dalam waktu dekat aku merasa belum mampu. Aku masih belum punya kekuatan untuk membangun usaha sendiri dari nol.

Selama ini setengah dari gaji suamiku untuk mencicil hutang rumah. Sementara tabunganku dibiarkan utuh, untuk kelak membangun sebuah kamar tempat bermain sang buah hati. Pengeluaran perbulan pun bisa dikatakan cukup tinggi. Apalagi, selama bekerja, aku jarang sekali memasak. Paling sering suamiku mentraktirku, dengan sekali makan paling sedikit dua puluh lima ribu. Bahkan tak jarang suamiku mengajakku makan di restoran sea food dengan pengeluaran sebesar tujuh puluh ribu.

Aku galau, namun kucoba redam kegalauan ini. Memohon petunjuk pada Allah apa yang terbaik bagi kami. Tak luput syukur kepada Allah yang menganugerahkan lelaki yang sabar untuk mendampingiku. Semoga Allah selalu melindungi kami, buah hati kami, melancarkan proses persalinanku. Aamiin.

Buah hatiku, Bunda sangat mencintaimu. Bunda ingin selalu menatap senyum ceriamu. Mendengarkan celotehmu. Memelukmu saat engaku menangis. Memberikan ASI Ekslusif bagimu. Menjadi madrasah utama bagimu. Mengajarkanmu tentang keagungan Allah.

Buah hatiku, semoga Allah selalu merahmati kita semua. Aamiin yaa Rabb.


Kamis, 21 Februari 2013

Cinta Suamiku




Tak ada kata yang bisa kuungkapkan saat tatapan lembutmu menyerbuku. Tak ada keraguan dalam hatiku akan kebaikan sikapmu saat kau tersenyum padaku. Inilah perasaan yang kurasakan saat pertama kali berjumpa denganmu. Setahun yang lalu, saat aku hanya tahu sebatas namamu.

Berjuta lompatan gembira saat kutahu kau rasakan hal yang sama. Perasaan bahwa pada nantinya kita akan berikatan jodoh. Tanpa ada kendala segalanya terjadi begitu saja. Restu dari keluarga mempermudah ikatan pernikahan diantara kita. Sungguh, ini adalah anugerah terindah buatku.

Damai rasanya berada di sampingmu. Merasakan genggaman tanganmu untuk selalu menjagaku. Sungguh, suatu cerita cinta yang indah dari Sang Pencipta. Segala syukur kita panjatkan atas kasih saying yang tiba-tiba dating di hati ini.

Suamiku, begitu halus tuturmu. Begitu sabar sikapmu. Beruntunglah diriku memiliki jodoh sepertimu. Akhlakmu sungguh mulia. Hatimu sungguh menawan.

Suamiku, mungkin aku sering membuatmu menangis atas sikap manjaku. Aku yang tak ingin jauh darimu. Aku yang selalu ingin bersamamu. Namun tangis dalam diammu itu menegur hatiku. Terkadang malah menyesakkan hatiku. Seharusnya aku memahami, kau pun juga tak ingin meninggalkanku sendiri. Meskipun pekerjaan menguras banyak waktumu.

Suamiku, begitu tegar dirimu menghadapi segala cobaan. Kekagumanku semakin bertambah dari hari ke hari. Rasanya kata “I Love you” tak cukup untuk menggambarkan betapa kagumnya diriku. Aku terhanyut dalam jaringan cinta suci yang kau pancarkan. Aku semakin larut dalam kelembutan sikapmu.

Suamiku, I do love you

Rabu, 06 Februari 2013

Tentang Sedihku




Ya Allah, rasanya sakit sekali. Entah mengapa aku merasa semua orang sedang berusaha menyakitiku, membuatku menangis tersedu. Apa aku yang terlalu manja? Tapi aku hanya tidak ingin kesepian. Aku ingin jalan-jalan melepaskan penat. Apakah aku salah?

Kali ini aku melihat suamiku menangis. Tangis yang tertahan karena lelaki tak boleh cengeng. Sementara hampir tiap hari aku menangis, aku mengeluh, aku merasa sakit hati. Beberapa hari yang lalu, tubuhku demam. Aku menduga itu hanya efek dari stress yang menumpuk. Bercampur jadi satu menjadi satu rasa yang menyakitkan.

Aku tak mau terus seperti ini. Aku tak mau terus menangis. Aku tak mau terus bersedih. Aku tak mau terlalu manja. Aku tak mau begini.

Kali ini aku tak boleh kemana-mana oleh rekan kerjaku. Padahal aku ingin jalan-jalan ke Cirata dan Paiton. Tentu saja alasan kehamilanku yang berusia enam bulan ini yang sering membuat mereka memutuskan untuk mencoret namaku. Aku sedih, sangat terluka. Seolah semua orang tak peduli padaku, mengabaikanku, membuatku menangis.

Astaghfirullahal adziim, mungkin aku juga telah membuat suamiku bersedih. Namun, apa salahnya seorang istri yang sedang hamil ingin ditemani. Mungkin aku juga keterlaluan, setiap suami pulang kerja aku selalu menangis. Aku membuatnya tidur tak tenang.

Teruntuk suamiku :
“Mas, maafkan istrimu ini. Terkadang menyambutmu dengan marah. Lebih sering menyambutmu dengan menangis. Membuatmu terluka atas segala sikapku. Mas, ini begitu tak mudah bagiku. Menenangkan diri dan mencoba menerima keadaan yang ada. Aku hanya tak ingin sendirian.”

“Mas, bolehlah Mas marah kepadaku. Atas sikap kekanak-kanakanku. Atas segala ketidakdewasaanku. Tapi, aku tak bisa mengendalikan emosiku, amarahku, rasa sakitku. Semoga anak kita tidak ikut merasakan kecemasan dan kesakitan hati ibunya.”

“Mas, sungguh dari hati yang terdalam, aku ingin meminta maaf padamu. Ingin juga menjawab setiap permohonan maaf darimu dengan kata YA AKU MEMAFKANMU DAN AKU MENCINTAIMU. Namun bibirku tak mampu berucap dan tangisku pecah tak terbendung.”

“Mas, semoga Allah selalu melindungi kita dan bayi yang ada dalam kandunganku. Aamiin. Aku pun ingin tersenyum bahagia. Aku pun ingin tertawa bebas. Aku pun sudah lelah untuk menangis. kuatkanlah hatiku, Mas. Tegarkanlah dan dewasakanlah aku. Karena tidak selamanya apa yang kita inginkan akan terjadi.”

“Mas, aku mencintaimu ….”