Hujan pun menari menyambut hadirmu. Hingga terbentang
keindahan yang sukar diungkapkan dengan kata-kata. Warnamu, bentukmu, menghiasi
seluruh ruang angkasa. Langit pun senang hati menerima kehadiranmu. Oh pelangiku….
Pagi itu Rima enggan beranjak menuju sekolah. Seragam putih
abu-abunya masih terlipat rapi di atas tempat tidur. Sedari tadi gerimis tampak
jelas terlihat dari jendela kamarnya.
“Non Rima” panggil pembantu di rumahnya.
“Iya Bi…” jawab Rima.
“Ini Non Rena sudah siap berangkat ke sekolah lho”
“Iya Bi, Rima mandi dulu ya” sahut Rima seenaknya.
Hari ini adalah hari yang menyedihkan untuk Rima. Seorang temansekelas
Rima akan pindah sekolah di Singapura. Sebenarnya wajar di sekolahnya ada anak
yang pindah sekolah ke luar negeri. Sekolah Rima memang sekolah negeri yang
terbaik di kotanya. Bahkan berlabel sekolah internasional. Karena tak jarang
mereka belajar dengan guru-guru yang fasih berbahasa inggris. Tapi masalahnya
teman sekelasnya itu adalah lelaki pujaannya selama ini. Sikap Rima yang judes
ternyata tak mampu membuat hatinya judes pada sosok lelaki ini.
Arnold Hernusa Wibowo. Nama yang begitu tenar. Baik di
perlombaan ajang regional maupun internasional. Sosok lelaki ganteng, pinter
dan putra tunggal dari pasangan dokter ini sangat istimewa. Seraya seluruh
dunia mengaguminya. Tak ada cela atas dirinya. Walaupun pintar dan tampan namun
sikapnya pun rendah hati, dan dia pun pintar mengaji. Sungguh penciptaan yang
luar biasa. Tak mungkin ada satu wanita pun yang menolak bila ia didekati
Arnold. Tapi ternyata Arnold memilih status single di usianya yang sudah enam
belas tahun.
Rima segera berganti pakaian seragam dan menuju ruang makan.
“Hai dek” sapa Rena.
“Ya kak, masih ngantuk nih” sahut Rima seraya mencomot roti
yang ada di tangan kakaknya.
“Pantesan kok lama banget di dalam kamar” sahut Rena.
Rena adalah sosok kakak yang amat sangat penyabar.
“Aku dengar si Arnold mau sekolah ke Singapura ya?” Tanya Rena.
“Iya kak, padahal kalau aku jadi dia. Aku mendingan sekolah
di sini. Dua tahun bisa lulus SMA. Daripada di Singapura harus 3 tahun”
“Dek, bukannya kamu dulu pernah cerita naksir Arnold?”
selidik Rena.
“Ah kakak bisa aja. Kalau aku naksir Arnold itu seperti
pungguk merindukan bulan” Rima tertawa renyah. Tentu saja hatinya tidak tertawa
seperti mulutnya. Hatinya tercabik. Bahkan sejak tadi malam dia tidak bisa
tidur dengan nyenyak. Bagaimana nanti di kelasnya, yang akan kehilangan ketua
kelas. Bagaimana sekolahnya akan kehilangan seorang superstar yang luar biasa. Bagaimana
dengan dirinya?
“Ya sudah yuk berangkat” ucap Rena.
Rena yang umurnya setahun di atas Rima mengambil kunci
mobil. Bersama Rima mereka menuju ke sekolah yang beralamatkan di jalan
kusumabangsa.
===
SELAMAT DATANG GENERASI CALON PEMIMPIN BANGSA
Spanduk besar itu tertulis di gerbang sekolahnya. Sekolah yang
sebenarnya banyak melahirkan para pemimpin ini sangat terkenal di Surabaya. Di berbagai
even perlombaan baik tingkat regional maupun internasional sekolahan ini banyak
menyabet sebagai juara.
Baru juga tiga bulan Rima masuk di sekolahnya ini. Dia berada
di kelas Akselerasi yaitu program percepatan sekolah. Yang harusnya SMA
ditempuh dalam waktu tiga tahun, di Akselerasi ditrempuh dalam waktu dua tahun.
“Rima, nanti pulang sekolah kumpul ya. Aku mau ada syukuran
kecil di rumahku” kata Arnold.
Sebenarnya jantung Rima berdetak tak karuan saat Arnold
tiba-tiba muncul saat Rima ke luar dari mobil.
“Waduh pulang sekolah ya, aku ngga bi…” Rima melirik kakanya
yang waktu itu masih di dalam mobil.
“Ikut aja dek.” Perintah Rena.
Wajah Rima berseri-seri, “Ok aku bisa ikut”
“Gitu dong Rim. Soalnya kalau acara sepulang sekolah kan
kamu biasanya Cuma absen saja” Arnold meringis.
Rima tersenyum tipis, “Oh ya selamat ulangtahun ya”
“Kok Rima ingat hari ini ulangtahunku?” Tanya Arnold.
“Tentu saja aku ingat” kata Rima yang kemudian berjalan
meninggalkan Arnold.
===
Rumah Arnold
Lantunan lagu itu terdengar syahdu. Rima pandai sekali
memainkan piano. Sungguh Rima sebenarnya adalah sosok wanita yang sempurna,
wajahnya yang cantik, kecerdasanya tak ada yang mampu menandinginya. Kecuali,
Arnold.
Teman-teman Arnold sibuk mencicipi makanan ala prasmanan di
rumah Arnold.
“Arnold, selamat ya…selamat ulang tahun dan selamat atas
penerimaannya di Singapura” ucap Senja, “padahal aku pingin juga sekolah di
sana, tapi ibuku tidak mengijinkan”
“Sekolah dimana saja sama. Yang penting ketika besok sudah
jadi orang, kita harus bisa bermanfaat bagi sesama” jawab Arnold rendah hati.
“Arnold ayahmu
ganteng banget ya kayak artis Marcellino Lefrand “ kata Senja asal saja.
“Waduh kalau ayahku gantengnya kayak gitu. Aku lebih ganteng
lagi ngga?” selidik Arnold. Entah kenapa Arnold suka sekali menanggapi semua
perkataan Senja. Senja memang berbeda dengan Rima yang selalu terlihat cool
saat berbicara.
“Senja, aku minta maaf ya. Dulu aku benci sama kamu” kata
Arnold.
“Ngga apa-apa Nold, dulu memang ada salahpaham. Aku ngga
pernah naksir kamu kok” ucap Senja.
Arnold tertawa kecil mendengar pengakuan Senja.
Setelah berjabatan tangan dengan Senja, tampak Rima menatap
Arnold. Arnold mendekati Rima.
“Selamat ya Arnold, sukses di sana” kata Rima.
“Ya, Rima juga hati-hati ya” jawab Arnold, “Sukses juga buat
Rima”
===
Itu adalah terakhir kalinya Rima menatap wajah Arnold. Sebelum
akhirnya lelaki yang ganteng yang menjadi pujaan hatinya itu mengalami
kecelakaan pesawat saat menuju ke Singapura. Hingga saat ini, setelah lima
belas tahun berlalu Rima masih belum memiliki tambatan hati. Semoga kelak suatu
hari nanti Rima membuka hatinya dan mau menerima pinangan lelaki yang sholeh. Tak
harus setampan Arnold, tak harus secerdas Arnold, tapi mungkin lelaki yang
sebaik Arnold. Semoga….
Hujan itu masih hujan yang sama dengan lima belas tahun yang
lalu, sekarang Rima berdiri di dekat kaca lobi Rumah sakit. Dia menjadi
salahsatu dokter muda andalan. Dokter spesialis jantung yang hebat. Profesi yang
sama dengan ayah ibu Arnold. Ah Arnold belum ada yang menandingimu.