Kamis, 28 September 2017

Permintaanku yang belum terkabulkan




Pertanyaan itu masih saja terngiang di kepalaku
Membuat seakan seluruh dunia runtuh dan menertawai kebodohanku
Seolah aku adalah makhluk Tuhan yang tidak bisa bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh-Nya.

Rasa sakit yang begitu mendalam menusuk hatiku
Membuat aku terhanyut dalam lautan emosi
Sungguh, aku sangat ingin berdamai dengan hatiku, dengan pikiranku
Membawa semuanya ini dalam kondisi yang menyenagkan
Tanpa adanya lagi pertanyaan “MENGAPA”

MENGAPA Tuhan memberiku INI sedangkan aku meminta ITU.
Aku telah berusaha, berdoa sepanjang waktu bahkan di saat makhluk lain tertidur pulas.
Aku memohon pada-Nya agar diberikan sesuatu yang kuminta.
Sesuatu yang pernah kuminta bertahun tahun yang lalu dan gagal.
Untuk yang kedua ini aku pun minta berkali-kali tapi ternyata gagal juga.

Kata orang, “Selalu ada hikmah dalam pada sesuatu yang telah terjadi”
Bahkan Tuhan mengatakan
Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Allah paling mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui (Al Baqarah 216)

Atau bisikan orang-orang yang dikuasai hawa nafsu
APA KAMU TIDAK INGIN MENDAPATKAN ITU, KAMU BISA MENCOBANYA LAGI KAN?
Sungguh, aku memang masih menginginkan hal ITU, tapi hatiku menolaknya
Aku akan menjaga apa yang Tuhan berikan INI
Tak lagi berharap Tuhan memberikan ITU
Meski ada pancaran tatapan iri saat orang lain dengan mudahnya mendapatkan ITU
Tidak, aku tidak boleh iri
Boleh jadi beberapa puluh tahun yang akan datang aku bisa mengerti
Tuhan memberiku INI karena Tuhan mencintaiku
Karena Tuhan sepenuhnya merangkulku dan kelak akan membawaku dalam surga-Nya
Aamiin ya Rabb

Ya Allah mudahkanlah aku menjaga apa yang telah Kau berikan padaku, janganlah Kau jadikan aku seperti hamba yang tamak. Janganlah Kau jadikan aku seperti hamba yang kufur nikmat. Dan sisi-Mu lah tempat kembali yang terbaik. Aamiin.

Senin, 25 September 2017

Mencari Cinta




Aku setengah berlari melewati lorong ini. Tampak gelap dan mataku tak dapat menangkap satu cahaya pun. Kapan kiranya aku sampai di ujung lorong ini, taka da yang tahu. Peluh dan keringatku sudah membasahi bajuku. Sampai kapan, sampai kapan teriakku dalam hati. Bahkan bibirku pun sudah tak sanggup teriak. Napasku semakin memburu seiring percepatan kakiku yang berlari.

“Hilda…” suara itu membuatku berhenti berlari. Suara yang menyebut namaku lalu diiringi sesenggukan tangis.
Aku menoleh ke kanan, ke kiri bahkan ke belakang namun tak kujumpai satu orangpun.
“Hilda…” suara yang begitu jelas, aku mengenalnya. Tapi otakku tak dapat berpikir itu suara siapa. Hanya saja aku merasa suara itu akrab di telingaku.
Siapakah…dimanakah…namun hanya hatiku yang berbicara. Mulutku masih kaku dan tidak mau mengeluarkan sepatah kata pun.
“Hilda…bangun sayang…” suara itu kembali muncul.
Jantungku berdegup kencang. Bulu kudukku pun merinding. Pikiranku tak hentinya mencoba mengenali suara siapakah tadi.
“Hilda..” lagi-lagi sura itu seolah bergema di lorong nan gelap ini.
Siapa, mulutku bisa terbuka namun untuk mengucapkan sesuatu sepertinya begitu berat dan susah. Ya Tuhan, di manakah ini, suara siapakah itu.
“Hilda…”
===

Dua hari yang lalu.

Kupu-kupu itu hinggap di sebuah bunga. Kupu-kupu yang begitu cantik. Aku ingat sekali Bram suka sengan kupu-kupu. Meskipun laki-laki, sahabatku satu itu memang melankolis dan suka sesuatu yang berbau wanita. Seperti warna merah muda. Andai saja ibunya tidak melarangnya untuk mengenakan pakaian wanita serta berhias, mungkin dirinya sudah menjadi waria nomer satu di desa ini. Ya di desa yang jauh dari keramaian kota, desa Rumpun Sunyi. Seperti namanya desa ini hanya dihuni oleh empat kepala keluarga, dan belum ada listrik yang masuk daerah kami. Kami terisolir dikarenakan letak desa kami yang berada di satu pulau terpencil. Jika engkau melihat peta, jangankan titik hitam, desa kami bahkan diwarnai warna biru, yaitu laut. Karena kecilnya desa kami, dan karena desa ini memang tidak menarik.

Lalu bagaimana bisa hanya ada empat kepala keluarga di sini. Sebenarnya cukup panjang untuk diceritakan. Singkatnya, ayah ibu kami adalah penumpang kapal yang mengalami kecelakaan di tengah lautan yang luas. Ayah ibu kami terus saja berenang hingga akhirnya menemukan daratan. Ya, disinilah mereka yang berdelapan yaitu empat perempuan dan empat laki-laki ini akhirnya bertemu. Berhari hari terdampar dan makan seadanya kami berusaha mencari cara untuk meminta pertolongan. Namun malang nian, sampai dengan minggu kesekian, tak lagi dijumpainya kapal melintasi kawasan dekat daratan tempat mereka berada.

Dengan sistem undian, akhirnya mereka menentukan pasangan masing-masing. Tentu saja mereka tidak mau menua  tanpa harapan, tanpa memiliki keturunan yang kelak bisa meneruskan cerita mereka yang begitu hebatnya bertahan di kawasan yang jauh dari peradaban.

Dari pernikahan seadanya itu dua dari empat keluargalah yang dipercaya Tuhan untuk mempunyai keturunan. Yaitu ayah dan ibuku, serta ayah dan ibu dari Bram. Umur kami pun tidak terpaut jauh,  Bram lebih muda empat bulan dariku. Tentu saja kamilah harapan mereka. Harapan orang-orang yang terdampar dua puluh tahun yang lalu.

“Bram, apa kau berpikir kita akan menikah?” tanyaku saat berdua bersama Bram seraya menikmati hamparan laut tanpa tepi. Tentu saja aku tidak melebih lebihkan suasana, kenyataannya aku tak tahu sampai mana tepian laut yang biru ini. Aku belum pernah kemana-mana. Aku belum tahu apapun tentang isi dunia ini, kecuali wilayah kecil ini. Wilayah yang hanya ditinggali empat keluarga.


Bram menggeleng pelan, “Aku tidak mau menikah denganmu Hilda. Aku tidak cinta denganmu”. Rasanya aku ingin tertawa mendengar ucapan Bram. Namun aku tahan tawaku karena melihat mimik serius di wajahnya yang polos. Bicara soal cinta, entah darimana Bram mendapat kosakata itu. Hal yang asing bagiku, sama asingnya dengan dunia di luaran pulau kami.

“Lalu?” pancingku. Jelas aku ingin tahu apa yang dipikirkan lelaki satu ini.
“Hilda, jangan mencariku esok hari ya” kata Bram.
“Memangnya kenapa? Toh selama ini kita bermain bersama-sama”
Bram menghela napas panjang, “Aku akan berenang ke pulau sebelah. Aku mau mencari cinta”
Aku tak bisa lagi menahan tawaku akhirnya tawa terbahak keluar dari mulutku. Kulihat wajah Bram pucat pasi menatapku.
“Aku tidak bercanda , aku akan mencari cinta” kata Bram membuatku menghentikan tawaku.
“Baiklah jika esok hari aku tidak menemukanmu, aku akan mencarimu di lautan” ucapku seraya pergi meninggalkannya.
====

Satu hari yang lalu.

Aku mencari Bram, tapi aku tidak menemukannya. Esok adalah hari pernikahan kami. Tapi Bram malah menghilang begitu saja. Bahkan dia tidak berpamitan padaku akan kemana.

Tunggu…sepertinya kemarin dia bilang kalau akan mencari cintanya di pulau sebelah. Pulau sebelah? Bukankah tidak ada pulau terdekat di sekitar sini. Atau mungkin dia sedang berenang di lautan. Aku akan menyusulnya. Segera. Aku akan menyusul Bram. Jangan sampai dia menemukan cintanya, karena aku sudah terlanjur menyayangi Bram. Mungkin juga diriku telah mencintai dirinya.

Jumat, 22 September 2017

Antara Putri dan Bunda




Hening malam dalam syahdunya.
Gugusan bintang berkelip manja.
Wajah sang bulan di sapu oleh lembutnya awan hitam.
Angin sepoi membuat dedaunan dan ranting bergoyang.
Sungguh begitu indah dan nyamannya.

“Engkau lihat putriku, begitu indahnya malam ini” ucap sang ibu pada anak semata wayangnya.
Sang putri tersenyum manis. Wajah yang teduh tampak dari raut mukanya. Berdua berada di balkon lantai dua rumah mereka, sedang menikmati malam tanpa hujan.
“Ibunda, terimakasih atas segala kasih sayang dan pengorbanannya selama ini”
“Kau tetap menjadi anak Bunda sayang, Bunda tak akan pernah berhenti berdoa untukmu”
“Jika kelak aku menikah nanti dan ikut suami untuk keluar kota, apakah Bunda tidak bersedih?”
“Tentu saja Bunda bahagia, selama dirimu juga bahagia.”
“Putri sayang Bunda”
“Bunda juga sayang putri. Pesan Bunda pada putri selalu mainkan tokoh yang baik dalam setiap episode kehidupan. Kita tak pernah tahu sampai kapan Tuhan memberi kita kesempatan untuk hidup”
“Iya Bunda”

Putri benar-benar tidak tahu. Dan tidak pernah menyangka. Seminggu setelah pernikahannya berlangsung, ibundanya jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia.

Satu pesan Bunda yang masih terngiang dalam benak putri.
Selalu mainkan tokoh yang baik dalam setiap episode kehidupan. Kita tak pernah tahu sampai kapan Tuhan memberi kita kesempatan untuk hidup

Dan pada sisi Allah lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan lautan, dan tidak ada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula) dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering , melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfudz) . (Qs Al An’am  :59)

Rabu, 20 September 2017

Payung Teduhku




Betapa bahagianya hatiku saat
Ku duduk berdua denganmu
Berjalan bersamamu
Menarilah denganku

Namun bila hari ini adalah yang terakhir
Namun ku tetap bahagia
Selalu kusyukuri
Begitulah adanya

Namun bila kau ingin sendiri
Cepat cepatlah sampaikan kepadaku
Agar ku tak berharapdan buat kau bersedih

Bila nanti saatnya t'lah tiba
Kuingin kau menjadi istriku
Berjalan bersamamu dalam terik dan hujan
Berlarian kesana-kemari dan tertawa

Namun bila saat berpisah t'lah tiba
Izinkanku menjaga dirimu
Berdua menikmati pelukan diujung waktu
Sudilah kau temani diriku

Namun bila kau ingin sendiri
Cepat cepatlah sampaikan kepadaku
Agar ku tak berharapdan buat kau bersedih

Bila nanti saatnya t'lah tiba
Kuingin kau menjadi istriku
Berjalan bersamamu dalam terik dan hujan
Berlarian kesana-kemari dan tertawa

Namun bila saat berpisah t'lah tiba
Izinkanku menjaga dirimu
Berdua menikmati pelukan diujung waktu
Sudilah kau temani diriku

Sudilah kau menjadi temanku
Sudilah kau menjadi istriku

(Lagu Akad dari Payung Teduh)

Aku tak tahu bagaimana lagunya, mendengarnya pun belum pernah. Hanya mencoba browsing liriknya saja. Namun aku rasakan suatu kesederhanaan dalam cinta di lagu ini.

Aku juga membayangkan suamikulah yang menyanyikan lagu ini. Mungkin terlihat lucu dengan wajah polosnya. Dan mungkin aku akan bertanya…
Jadi kamu ingin menjadikanku istri hanya untuk berjalan bersamamu dalam terik dan hujan, berlarian kesana-kemari dan tertawa. Hanya itu?

Padahal aku tahu ini hanyalah kiasan.

Semoga ikatan pernikahan kami selalu teduh, di dunia dan akhirat…aamiin…

Selasa, 19 September 2017

Pelangi yang Hilang



Hujan pun menari menyambut hadirmu. Hingga terbentang keindahan yang sukar diungkapkan dengan kata-kata. Warnamu, bentukmu, menghiasi seluruh ruang angkasa. Langit pun senang hati menerima kehadiranmu. Oh pelangiku….

Pagi itu Rima enggan beranjak menuju sekolah. Seragam putih abu-abunya masih terlipat rapi di atas tempat tidur. Sedari tadi gerimis tampak jelas terlihat dari jendela kamarnya.
“Non Rima” panggil pembantu di rumahnya.
“Iya Bi…” jawab Rima.
“Ini Non Rena sudah siap berangkat ke sekolah lho”
“Iya Bi, Rima mandi dulu ya” sahut Rima seenaknya.
Hari ini adalah hari yang menyedihkan untuk Rima. Seorang temansekelas Rima akan pindah sekolah di Singapura. Sebenarnya wajar di sekolahnya ada anak yang pindah sekolah ke luar negeri. Sekolah Rima memang sekolah negeri yang terbaik di kotanya. Bahkan berlabel sekolah internasional. Karena tak jarang mereka belajar dengan guru-guru yang fasih berbahasa inggris. Tapi masalahnya teman sekelasnya itu adalah lelaki pujaannya selama ini. Sikap Rima yang judes ternyata tak mampu membuat hatinya judes pada sosok lelaki ini.

Arnold Hernusa Wibowo. Nama yang begitu tenar. Baik di perlombaan ajang regional maupun internasional. Sosok lelaki ganteng, pinter dan putra tunggal dari pasangan dokter ini sangat istimewa. Seraya seluruh dunia mengaguminya. Tak ada cela atas dirinya. Walaupun pintar dan tampan namun sikapnya pun rendah hati, dan dia pun pintar mengaji. Sungguh penciptaan yang luar biasa. Tak mungkin ada satu wanita pun yang menolak bila ia didekati Arnold. Tapi ternyata Arnold memilih status single di usianya yang sudah enam belas tahun.

Rima segera berganti pakaian seragam dan menuju ruang makan.
“Hai dek” sapa Rena.
“Ya kak, masih ngantuk nih” sahut Rima seraya mencomot roti yang ada di tangan kakaknya.
“Pantesan kok lama banget di dalam kamar” sahut Rena.
Rena adalah sosok kakak yang amat sangat penyabar.
“Aku dengar si Arnold mau sekolah ke Singapura ya?” Tanya Rena.
“Iya kak, padahal kalau aku jadi dia. Aku mendingan sekolah di sini. Dua tahun bisa lulus SMA. Daripada di Singapura harus 3 tahun”
“Dek, bukannya kamu dulu pernah cerita naksir Arnold?” selidik Rena.
“Ah kakak bisa aja. Kalau aku naksir Arnold itu seperti pungguk merindukan bulan” Rima tertawa renyah. Tentu saja hatinya tidak tertawa seperti mulutnya. Hatinya tercabik. Bahkan sejak tadi malam dia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Bagaimana nanti di kelasnya, yang akan kehilangan ketua kelas. Bagaimana sekolahnya akan kehilangan seorang superstar yang luar biasa. Bagaimana dengan dirinya?
“Ya sudah yuk berangkat” ucap Rena.
Rena yang umurnya setahun di atas Rima mengambil kunci mobil. Bersama Rima mereka menuju ke sekolah yang beralamatkan di jalan kusumabangsa.

===
SELAMAT DATANG GENERASI CALON PEMIMPIN BANGSA
Spanduk besar itu tertulis di gerbang sekolahnya. Sekolah yang sebenarnya banyak melahirkan para pemimpin ini sangat terkenal di Surabaya. Di berbagai even perlombaan baik tingkat regional maupun internasional sekolahan ini banyak menyabet sebagai juara.

Baru juga tiga bulan Rima masuk di sekolahnya ini. Dia berada di kelas Akselerasi yaitu program percepatan sekolah. Yang harusnya SMA ditempuh dalam waktu tiga tahun, di Akselerasi ditrempuh dalam waktu dua tahun.

“Rima, nanti pulang sekolah kumpul ya. Aku mau ada syukuran kecil di rumahku” kata Arnold.
Sebenarnya jantung Rima berdetak tak karuan saat Arnold tiba-tiba muncul saat Rima ke luar dari mobil.
“Waduh pulang sekolah ya, aku ngga bi…” Rima melirik kakanya yang waktu itu masih di dalam mobil.
“Ikut aja dek.” Perintah Rena.
Wajah Rima berseri-seri, “Ok aku bisa ikut”
“Gitu dong Rim. Soalnya kalau acara sepulang sekolah kan kamu biasanya Cuma absen saja” Arnold meringis.
Rima tersenyum tipis, “Oh ya selamat ulangtahun ya”
“Kok Rima ingat hari ini ulangtahunku?”  Tanya Arnold.
“Tentu saja aku ingat” kata Rima yang kemudian berjalan meninggalkan Arnold.
===

Rumah Arnold

Lantunan lagu itu terdengar syahdu. Rima pandai sekali memainkan piano. Sungguh Rima sebenarnya adalah sosok wanita yang sempurna, wajahnya yang cantik, kecerdasanya tak ada yang mampu menandinginya. Kecuali, Arnold.

Teman-teman Arnold sibuk mencicipi makanan ala prasmanan di rumah Arnold.
“Arnold, selamat ya…selamat ulang tahun dan selamat atas penerimaannya di Singapura” ucap Senja, “padahal aku pingin juga sekolah di sana, tapi ibuku tidak mengijinkan”
“Sekolah dimana saja sama. Yang penting ketika besok sudah jadi orang, kita harus bisa bermanfaat bagi sesama” jawab Arnold rendah hati.
 “Arnold ayahmu ganteng banget ya kayak artis Marcellino Lefrand “ kata Senja asal saja.
“Waduh kalau ayahku gantengnya kayak gitu. Aku lebih ganteng lagi ngga?” selidik Arnold. Entah kenapa Arnold suka sekali menanggapi semua perkataan Senja. Senja memang berbeda dengan Rima yang selalu terlihat cool saat berbicara.
“Senja, aku minta maaf ya. Dulu aku benci sama kamu” kata Arnold.
“Ngga apa-apa Nold, dulu memang ada salahpaham. Aku ngga pernah naksir kamu kok” ucap Senja.
Arnold tertawa kecil mendengar pengakuan Senja.
Setelah berjabatan tangan dengan Senja, tampak Rima menatap Arnold. Arnold mendekati Rima.
“Selamat ya Arnold, sukses di sana” kata Rima.
“Ya, Rima juga hati-hati ya” jawab Arnold, “Sukses juga buat Rima”
===

Itu adalah terakhir kalinya Rima menatap wajah Arnold. Sebelum akhirnya lelaki yang ganteng yang menjadi pujaan hatinya itu mengalami kecelakaan pesawat saat menuju ke Singapura. Hingga saat ini, setelah lima belas tahun berlalu Rima masih belum memiliki tambatan hati. Semoga kelak suatu hari nanti Rima membuka hatinya dan mau menerima pinangan lelaki yang sholeh. Tak harus setampan Arnold, tak harus secerdas Arnold, tapi mungkin lelaki yang sebaik Arnold. Semoga….

Hujan itu masih hujan yang sama dengan lima belas tahun yang lalu, sekarang Rima berdiri di dekat kaca lobi Rumah sakit. Dia menjadi salahsatu dokter muda andalan. Dokter spesialis jantung yang hebat. Profesi yang sama dengan ayah ibu Arnold. Ah Arnold belum ada yang menandingimu.