Rabu, 12 September 2012

Where is the house’s key ???






Ini terjadi pada hari Senin, 10 September 2012. Karena menghindari rapat di luar jam kerja, kutinggalkan tasku di kolong meja. Aku pulang hanya dengan memakai jaket ungu pemberian suamiku. Sempat suamiku bertanya dimana tasku. Kujawab dengan entengnya ada di kantor, dan aku malas membawanya. Kuceritakan juga perihal atasanku yang menyuuruhku untuk meeting di atas jam empat. Sudah banyak telpon dan sms darinya, tak satupun kujawab.

Sampai di Tangerang gerimis membasahi kami. Suamiku minta dibelikan sate. Aku juga sempat belanja sayur bayam dan telur. Namun ketika hampir sampai di rumah, ada yang kuingat. Kunci rumah masih ada di tas. Tas yang kutinggal di kolong meja. Subhanallah, padahal kondisi suamiku sakit. Hujan makin deras. Suamiku pun mengajak kembali ke kantor untuk mengambil kunci tersebut.

Aku sempat menangis. Tapi dengan sabar suamiku mengatakan namanya juga lupa, tidak usah ditangisi. Kami kembali ke kantor dengan memakai jas hujan. Sungguh, aku merasa sangat bersalah pada suamiku. Ingin rasanya aku berteriak, namun berkali-kali suamiku menenangkanku.

Yaa Allah, terimakasih Engkau telah anugerahkan lelaki terbaik untuk menjadi imamku. Lindungilah dirinya yaa Rabb, berikanlah kesehatan keselamatan dan rezeki yang halal baginya. Naungilah dirinya dengan cinta kasih-Mu. Yaa Allah, anugerahkan kepada kami momongan yang sholeh sholehah, yang mampu memberikan ketenangan dalam kehidupan rumah tangga kami. Yaa Allah, kabulkanlah doa hamba…. Aamiin yaa Rabbal Alamin

Keesokan harinya, tanggal 11 September 2012. Sengaja aku tidak masuk kantor dengan alasan sakit. Memang demam, tapi sebenarnya kalaupun dipaksa masuk kerja sebenarnya bisa. Namun apa yang dilakukan suamiku pagi itu, dia menungguku untuk ganti baju kerja. Dan dengan keras kepala kukatakan tidak mau masuk kerja. Akhirnya diapun pergi kerja tanpa aku temani. Sungguh, begitu kekanakan sikapku ini, hehe.

Kamis, 06 September 2012

Pelangi Cintaku




Layaknya melukis pelangi di langit biru. Indah dan nyaman untuk dipandang. Begitulah apa yang setiap hari terjadi padaku. Setiap membuka mata kurasakan jatuh cinta. Sungguh, suatu hal yang sulit bagiku. Bisa mencintai seseorang dalam waktu yang sangat singkat. Usia pernikahan yang memasuki bulan keempat, namun rasa cintaku selalu bertambah pada suamiku.

Siapakah sosok yang mampu menawan hatiku ini? Sosok yang tanpa ragu melamarku walau hanya beberapa kali bertemu. Sosok yang melindungiku dari segala bahaya. Suamiku tercinta, sungguh sangat beruntung aku mendampinginya.

Kini, tiap detik tak mampu aku melepaskan pikiranku dari keberadaannya. Hanya doa tulus yang mampu kuhadiahkan padanya. Setiap tawa dan senyumnya adalah kebahagiaanku.  Sikap dewasanya mampu menandingi kekanakanku. Terkadang malu sendiri mengingat aku masih sering marah. Bersikap kekanak-kanakan dengan tidak mau mengalah. Dan dengan mudahnya suamiku mengalah. Lalu menciumku seolah pertengkaran kecil itu tak pernah ada.

Matahari tersenyum kala melihatku bahagia. Sudah lama airmata kepedihan ini hilang. Semua terganti oleh kehadiran suamiku tercinta. Tak ada lagi kesepian dan kesendirian. Kami berdua mencoba merenda cinta yang mulai merekah.

Rindu dan cinta ini kini selalu membelenggu hatiku. Dan saat ini, kunantikan saat-saat aku mengandung sang buah hati. Berdoa semoga Allah meridhoi kami memiliki putra dan putri sholeh-sholehah. Tawa canda yang menghiasi rumah kecil kami pada nantinya.

Pelangi cintaku ….
Tetaplah memberi warna terindah dalam kehidupanku. Tetaplah memberi kebahagiaan dunia dan akhiratku. Tetaplah menjadi indah dipandang.

Pelangi cintaku …
Hadirkan tawa ceria hati kami. Lewat canda bocah-bocah kecil yang kami nantikan. Kehangatan sebuah keluarga yang selama ini kami impikan.


Rabu, 05 September 2012

I and My Husband



Seringkali pertengkaran kecil mewarnai kehidupan rumah tanggaku. Namun dengan sabar suamiku menenangkanku. Terkadang sikap humorisnya membuat amarahku mereda. Terlalu sering aku merasa bersalah di depannya. Namun kata maaf terasa berat untuk kuucap. Entah mengapa suamiku dengan mudahnya meminta maaf dan membuatku tersenyum kembali.

Kurindukan kehadiran sang buah hati diantara kami. Sosok kecil yang mampu mendewasakanku. Dalam tiap hening malam kubersujud memohon pada-Nya. Semoga Allah memberikan ridho-Nya untuk memberiku keturunan putra-putri sholeh sholehah. Aamiin yaa Rabb.

Teruntuk Suamiku sayang….
Semoga cinta kasih Allah selalu tercurah dalam kehidupan rumah tangga kita
Semoga Allah memberi kita amanah putra putri sholeh sholehah
Semoga Allah selalu memudahkan langkah kita menuju surga-Nya
Aamiin yaa Rabb

Ya Allah…
Lindungilah suamiku dari segala bahaya, zina dan fitnah
Berikanlah kesehatan, keselamatan serta rezeki yang halal baginya
Jadikanlah dia imam yang mampu membawa kami menuju surga-Mu
Ya Allah…
Hanya pada-Mu aku memohon
Hanya pada-Mu aku berlindung
Ampunilah dosa hamba dan kabulkanlah do’a hamba ini
Aamiin Yaa Rabbal Alamin

Seuntai Senyum untuk Sang Fajar





Januari 2012

Apa yang harus aku lakukan? Sementara sang waktu terus mengejar. Aku bukan lagi remaja belasan tahun yang asyik menikmati masa mudanya. Usiaku kini hampir seperempat abad. Sungguh tidak bisa lagi dibilang muda. Teman-teman sebayaku sudah menikah, ada yang sudah memiliki anak. At least sudah punya gandengan alias pacar. Namun aku malah sendiri di sini.

Jika bicara soal cinta. Aku tidak pernah merasa benar-benar mencintai. Sewaktu SMA aku pernah dekat dengan teman karibku, namun dia menikah sebelum lulus kuliah. Aku sempat marah padanya namun akhir-akhir ini aku jadi faham. Temanku itu masih juga belum dewasa, biaya kuliahnya dan biaya kuliah istrinya menjadi tanggung jawab orangtuanya. Apalagi dia kuliah di jurusan kedokteran yang biayanya seabreg. Bukankah aku terlalu mandiri untuk bisa bersanding bersama dia.

Kini aku menjadi pegawai negeri yang memiliki gaji cukup. Aku juga sudah memiliki rumah, walaupun masih kredit. Gajiku separuh lebih digunakan untuk cicil rumah. Terkadang ada rasa iri dengan teman-teman satu angkatan yang masih asyik menikmati gajinya tanpa potongan hutang. Sebagai wanita mungkin aku terlihat begitu mandiri, begitu tangguh. Tak heran banyak yang mundur untuk bersanding denganku.

Aku cukup cerdas, walaupun di perusahaan ini aku kurang memanfaatkan kecerdasanku. Di perusahaan tempatku bekerja, siapa yang cerdas dan terlalu jujur akan disingkirkan. Kali ini aku mesti berpura-pura tak peduli dan tidak kritis akan apa yang terjadi. Aku hanya ingin ketenangan. Walaupun begitu masih juga atasanku memberi suatu kepercayaan atas tugas yang aku emban. Mungkin karena aku lulusan teknik mesin jadi aku selalu ada di tiap even. Di perusahanku permasalahan yang paling banyak adalah bidang mesin, dibanding bidang listrik dan instrument.

Kini aku sendiri. Sesuatu yang tidak aku sukai. Ini terlalu sunyi. Aku merindukan kehangatan sebuah keluarga dengan anak-anak yang sholeh-sholehah. Aku ingin sekali menikah. Menjadi seorang isteri yang berbakti kepada suami. Merasakan hamil dan mengasuh putra-putriku dengan sebaik-baiknya. Namun darimana kesempatan itu berasal? Bahkan tiap kali hatiku teriris melihat kebahagiaan teman-temanku bersama suaminya. Siapakah lelaki tangguh yang merelakan kehidupannya untuk bersamaku. Seseorang yang memiliki sifat asih kepada semua orang. Seseorang yang cerdas dan menerapkan ilmu yang dia miliki. Meskipun di dunia ini tak ada yang sempurna, tak ada salahnya meminta jodoh yang terbaik dari-Nya.

Aku berasal dari keluarga yang khusyuk. Ibuku adalah orang yang sangat sabar. Bagiku, dia seperti cahaya dalam kegelapan. Dia menerangkan padaku dan membuatku percaya bahwa Tuhan itu dekat. Tuhan akan mengabulkan apa permintaan kita, asalkan kita tunduk pada perintah-Nya. Dan jika Tuhan sengaja tidak mengabulkan permohonan kita, ini berarti ada rencana Tuhan yang lebih baik. Akal kita tak akan mampu menjangkaunya, namun suatu ketika kita akan menemukan alasan mengapa Tuhan tidak mengabulkan doa kita.

Pernah mendengar teori sulaman? Jika kita melihat dari bawah, tentunya hanya keruwetan benang yang terlihat. Namun jika  kita lihat dari atas, akan didapati corak yang indah. Itulah rahasia Tuhan. Di mana tidak dapat terlihat kasat mata oleh makhluk-Nya. Segala sesuatu akan indah pada waktunya. Kita hanya perlu bersabar dan sholat.

Dan minta pertolonganlah pada Allah dengan sabar dan sholat. Sesungguhnya hal itu sulit kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (Al Baqarah : 45)

Beberapa bulan yang lalu aku membawa orangtuaku ke Tangerang. Rumah yang aku beli di wilayah Tangerang, sementara tempatku bekerja di Jakarta Utara. Cukup jauh, kurang lebih satu jam untuk kendaraan pribadi dan satu setengah jam untuk kendaraan umum. Saat orang tuaku berada di Tangerang, aku merasakan bahagia tak terkira. Aku bersyukur pada Tuhan yang telah memberi kesempatan padaku untuk melihat senyuman mereka. Bagaimana mereka tidak bahagia, aku belum genap dua tahun bekerja tapi sekarang sudah memiliki rumah. Walaupun masih kredit tapi mereka sangat percaya aku mampu mengatur keuangan untuk melunasi kreditku.

Setahun pertama aku bekerja, gajiku hanya 1,8 juta. Dan baru 6 bulan menikmati gaji pegawai, sekitar 5 juta. Eh bulan depannya sudah dipotong cicilan kredit 2.7 juta. Menurut Ilmu ekonomi manajemen, komposisi keuangan seperti itu tidaklah sehat. Kredit itu maksimal 1/3 gaji yang kita terima. Sungguh benar-benar nekad. Padahal ide membeli rumah hanyalah karena aku sakit hati dengan apa yang tengah terjadi di tempat kerjaku.

Saat itu ada lomba K3 yang diadakan oleh kantor pusat di Surabaya, lomba ini diadakan bulan Maret. Beberapa bulan sebelumnya aku lah kandidat lomba cerdas cermat. Kupikir, cukup asyik bisa pulang kampung selama 3 hari. Namun tanpa pemberitahuan, namaku dicoret. Alasannya karena aku sedang menangani proyek. Padahal jadwal tanggal itu aku free. Sudah dua bulan, Januari dan Februari aku tidak dikirim untuk menghadiri rapat di wilayah timur. Padahal biasanya aku yang dikirim, benar-benar membuatku emosi. Itulah asal mengapa aku membeli rumah. Kupikir, jika aku rindu kedua orangtuaku aku hanya tinggal mengirim uang untuk transportasi mereka dan mereka bisa menginap agak lama di rumahku. Sedangkan kalau menunggu aku pulang ke wilayah timur itu belum pasti, apalagi hanya bisa beberapa hari saja.

Kini, masih terasa sunyi. Hampir saja aku berteriak untuk memecah kesunyian ini. Namun aku hanya mampu merasakan tangisan hatiku. Entah mengapa yang ada di benakku hanya sosok sepertinya. Kali ini aku benar-benar butuh dirinya. Padahal sudah berapa kali aku meninggalkan kehidupannya. Dan kini Tuhan memberi kesempatan kepada kami untuk berjumpa kembali. Aku benar-benar sangat membutuhkannya. Namun aku tak bisa mengungkapkan semua ini. Mungki hanya hati ini yang sangat merasa. Bahkan aku selalu berdoa pada Tuhan  untuk keselamatannya.

Bagiku, kehadirannya adalah hal yang luar biasa. Ketika hatiku begitu lelah dengan berbagai masalah di kehidupan ini, dia datang. Serasa membawa kado seuntai senyum, setiap pagi kurasakan harapan baru. Lalu, apa yang mesti aku lakukan? Bahkan bicara dengan hatiku pun aku tak mampu. Aku merindukan kehadirannya namun tak tahu bagaimana membuatnya hadir di depanku.

Namun kisah itu berakhir juga. Dia pergi meninggalkan kehidupanku begitu saja. Masih terasa perih akan kenangan yang telah ada antara kami. Sembilan bulan kucoba untuk menegarkan hatiku bersamanya. Namun dia memilih yang lain, wanita yang telah membuat hatiku luluh lantak. Semua harapanku menghilang. Semua impianku lenyap. Bagaimana aku mampu menghadapi ini semua. Sungguh, sangat menyiksaku. Setiap kali aku memasuki rumah, setiap kali aku melihat bayangannya  di sana.

Ya Rabb, sungguh hamba tak sanggup menghadapi ini semua. Hatiku ini terlalu rapuh untuk menghadapi goncangan seperti ini. Hatiku ini terlalu lemah untuk bertahan. Sungguh, hanya Engkau yang mampu menghapus kepedihan hati ini. Hanya Engkau yang mempu membuatku tersenyum menatap sang fajar.

Kucoba kembali menata diriku. Hatiku masih merasakan sakit itu. Diriku masih sering dihempaskan emosi. Terasa airmata ini tak berarti. Diriku kembali di pusara kesunyian. Merasa terabaikan. Ya Rabb, bagaimana aku bisa bertahan? Berikan petunjukMu. Sungguh aku lemah tanpaMu.

September 2012

Ini sudah memasuki bulan keempat pernikahanku. Padahal, tak pernah sedikitpun aku menyangka bisa menikah di tahun 2012. Sungguh, rezeki dan jodoh benar-benar di tangan Allah. Bersyukur karena Allah anugerahkan suami yang sabar bagiku. Terlalu sering dia menenangkan hatiku. Semoga Allah selalu melindunginya.

Kini, tak lagi aku menangis menantikan kehadiran lelaki sempurna. Karena bagiku, suamiku adalah lelaki tangguh yang merelakan dirinya untuk menikahiku. Suamiku adalah imam yang akan membawa kami menuju surga Allah. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan berkahnya bagi kita semua. Aamiin yaa Rabb…

Pagi ini kutatap sang fajar seraya tersenyum. Ya Allah, terima kasih atas kebahagiaan yang telah Kau beri padaku.

Tegarku, Harap-Mu




Pada suatu malam, ketika bintang-bintang seakan-akan enggan menampakkan dirinya dan gelap gulita menyelimuti dunia, Khadijah duduk di dalam rumahnya setelah thawaf beberapa putaran di sekeliling Ka’bah. Lalu dia beranjak menuju peraduannya dengan rasa puas dan seuntai senyum yang menghiasi bibirnya. Ia tidak pernah tahu, apa yang sebenarnya sedang tersembunyi di balik perasaannya saat itu. Tidak lama kemudian, dirinya telah terbuai dalam tidur yang tenang.

Di dalam tidurnya, Khadijah bermimpi ada matahari besar yang turun perlahan dari langit kota Makkah dan berhenti tepat di atas rumahnya. Seluruh sudut ruangan yang ada di rumahnya diterangi dengan sinar yang indah. Sinar itu memancar dan menerangi segala sesuatu yang ada di sekitarnya, sehingga menyenangkan hati sebelum menyenangkan mata setiap orang yang memandangnya.

Masih kubaca buku  Sirah Shahabiyah karangan Mahmud Al Mishri. Sungguh terharu aku membaca cerita pertalian jodoh antara Khadijah dan Nabi Muhammad. Khadijah yang sudah menikah dua kali dan kedua suaminya meninggal dunia. Khadijah yang kaya raya dan banyak yang berminat mempersuntingnya. Namun hanya karena mimpi itu dia lebih memilih untuk menunggu. Mimpi yang sangat menenangkan hatinya.

Dalam ikhtiarku, tentu aku kerap menangis. Masih terasa luka yang menyayatku tiga bulan lalu. Rasa kasihku yang dibalas dengan penyiaan. Aku masih berharap ini sebuah mimpi, di mana saat aku bangun rasa sakit itu tidak terasa lagi. Mungkinkah ini adalah ujian bagiku.

Setiap manusia mendapat ujian karena melalui ujian inilah akan tampak manusia baik dan buruk. Jelaslah siapa yang pantas mendapat pertolongan dan dimuliakan oleh-Nya dan siapa yang tidak pantas mendapatkannya, serta untuk memilih jiwa yang shalih. Semua dimurnikannya dengan ujian.

Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas (QS Az Zumar :10)

Entah mengapa ujian ini terasa berat bagiku. Mungkin karena aku telah berharap pada sesuatu yang salah, sesuatu yang fana. Ya Rabb betapa rapuhnya hatiku. Bahkan untuk bangkit kembali pun terasa berat. Serasa putus asa dan lemah setiap dayaku. Aku tahu, Allah sangat tidak menyukai hamba-hamba yang berputus asa. Namun rasanya semua ini begitu menyesakkanku.  Akalku tak mampu menerima apa yang terjadi begitu cepatnya. Merusak segala mimpi dan harapan yang telah kubangun. Bahkan aku tak tahu apa yang harus aku lakukan.

Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia, niscaya dia berpaling dan menjauhkan diri dengan sombong dan apabila dia ditimpa kesusahan, niscaya dia berputus asa (QS Al Isra’ : 83)

Sungguh, tak ingin aku mengingkari  semua nikmat  yang Allah berikan.  Namun entah mengapa kali ini perih ini begitu terasa. Heran, dengan diriku yang kini tak lagi tersenyum. Hati ini terlalu lemah. Hati ini terlalu rapuh.

Ini sudah hari yang kesekian, sedihku belum juga reda. Berulang kali ibundaku menghiburku, namun semakin terasa keperihan yang ada. Mimpi yang aku alami saat itu masih membayang. Namun aku masih tak mengerti apa yang harus aku lakukan.

Aku harus bisa menghadapi semua ini. Aku tak perlu khawatir karena Allah selalu ada untukku.  Allahumma ana, na’am? Allah tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya , semestinya tak ada ragu tentang semua itu.

Jakarta, Desember 2011