Jumat, 09 Juli 2010

HARAPAN SANG PEMIMPI


Takkan habis waktu berlalu, menghadirkan seuntai harapan. Sementara sang bintang malu untuk menampakkan diri. Gerimis masih membayang. Aku merindukan saat-saat di mana keheningan akan terhapus. Aku merindukan dunia tanpa rasa sepi. Namun semua masih terasa sunyi, menghadirkan kegundahan tak terhenti. Aku sungguh tak ingin sendiri. Aku ingin bercanda, tertawa, bahagia bersama kisah kehidupanku.

Lelah terasa memuncak, menghadirkan keengganan tak berhingga. Aku merasakan diriku makin terhempas dalam satu sudut kehidupan. Aku masih merindukan, di mana tawa bocah menghampiri telingaku. Aku merindukan kemanjaan yang indah bersama sang terkasih. Namun entah di mana dirinya berada.

Aku memimpikan hadirnya. Mungkin di sana dia tidak berharap sedikitpun kehadiranku. Mengapa harus aku yang mencintai, mengapa hanya aku yang merasakan kerinduan. Tak seharusnya semua ini yang kurasakan. Aku takut terluka kembali, merasakan kepedihan dalam hati. Aku benar-benar takut kecewa.

Di mana semua mimpi-mimpiku? Dulu selalu kubangun dengan ceriaku. Di mana kisah-kisah ini kan kutulis, sementara tangan ini telah lelah untuk menulis. Kini pikiranku serasa melayang, tak lagi berpijak pada logika. Terhanyut dalam bualan mimpiku. Terbelenggu akan ketidakpastian. Aku benci ini semua, namun aku tak bisa mengelak. Mimpi-mimpi itu semakin mengakrabiku, membujukku untuk ke luar dari dunia nyata.

Lalu mereka menertawaiku. Dalam keheningan jiwa aku terdiam. Aku semakin tersudut dalam ketidakberdayaanku. Aku tak ingin sendiri, aku takut sendiri. Bukankah sunyi ini terlalu naïf untuk kunikmati sendiri. Lalu kapan sang terkasih itu dating? Aku merindukannya, mencintainya, serta mengharapkan kehadirannya. Aku menginginkan untuk menghapus perih atas sepi ini.

Apakah semua mimpi ini harus kuhapus? Sementara aku tak ada alasan untuk bertahan kembali. Aku semakin lemah atas apa yang terjadi. Aku semakin terhempas atas apa yang kurasa. Kini aku bersujud pada hening malam, melantunkan doaku pada Sang Maha Kuasa. Semoga kegundahan hati ini terhapus, semoga kepedihan dan kesendirian ini terhapus. Semoga hati ini masih menahan sebagian cinta yang tersisa.

Aku masih merindukan kehadiran sang terkasih. Selalu merindukan kehadirannya. Dalam sabar diri serahkan segala hati penuh kerinduan pada Sang Maha Cinta.

Ya Rabb, hapuskan kesepian ini dari kehidupanku. Sebarkan cinta yang terus melingkari jiwaku. Tiada yang bisa kuminta selain pada-Mu. Tiada yang bisa kuceritakan melainkan pada-Mu. Dan hanya pada-Mu segala ini kuserahkan.

ANA WA UMI


Senyum itu tulus terkembang.
Menghadirkan sekian banyak kasih yang kau punya.
Apa yang kelak membuatmu menangis?
Tak ingin kau terluka, Ibundaku.

Menerawang hariku merindukanmu.
Ingin memelukmu dan terus menenangkanmu.
Begitu banyak rasa kasih yang telah kau beri.
Namun belum juga aku membuatmu bahagia.

Ibunda, sekian banyak kasih yang kau beri.
Menumbuhkan cinta tulus dalam alunan kehidupanku.
Doamu terus menyertai langkahku.

Ibunda, aku merindukanmu.
Setiap mimpiku menghadirkan senyum bahagiamu.
Seraya hati membelenggu kisah demi kisah antara kita.
Menelaah setiap waktu yang terlewati.

Ibunda, aku merindukanmu.
Kan selalu kuberdoa untuk kebahagiaanmu.
Namun mungkin tak sebanyak apa yang kau beri.
Semoga senyum tulus itu selalu terkembang dari Ibundaku, tercinta….

Harapan Indah, Bekasi 17 Juni 2010
Ditulis dengan penuh rindu pada Ibu

Rabu, 07 Juli 2010

SATU CAHAYA


Jantungku berdebar dengan ritme yang tak seperti biasanya. Kutenangkan diri dengan bacaan ayat-ayat suci. Ya Allah aku sungguh tidak mengerti hal yang aku alami saat ini. Kerinduan akan suatu kisah tentang seorang makhluk-Mu. Mengapa ini tak bisa lepas dari otakku. Aku benar-benar merasa letih. Seharusnya banyak hal yang bisa aku lakukan hari ini, namun aku hanya termenung. Tak bisakah semua ini berakhir. Hingga akhirnya aku menemukan jalan untuk kutempuh, menuju cahaya-Mu.

Berawal dari sebuah musholla kecil, aku sering bertemu dengannya. Dia tiada menyadari kehadiranku, atau sebenarnya dia menyadari kedatanganku hanya saja dia begitu asyik berdua dengan-Nya. Biasanya kuhempaskan diriku dalam alunan ayat suci-Nya hingga aku letih dan melihatnya usai menunaikan sholat Dhuha. Ada suatu kedamaian saat melihatnya setiap hari dalam kondisi yang sama, berdua dengan-Nya. Namun waktu teruslah berlalu membawanya tidak hanya dalam cinta kasih-Nya melainkan membawanya memasuki alam pikiranku. Jujur aku benci rasa ini. Tapi ini fitrah, layaknya Fatimah Az-Zahra yang menyimpan rasa untuk Ali bin Abi Tholib atau Khadijah yang menyayangi Muhammad Rasulullah. Sayangnya aku tak seindah Fatimah, tak sesabar Khadijah, atau bahkan tidak secerdas Aisyah. Aku tersenyum menyadari siapa diriku dibandingkan dengannya. Dan aku tak bisa berbuat apapun.

“Anti kenapa, kok sepertinya resah?”
Aku tersenyum pada sosok ayu di depanku. Bu Dokter ini sangat perhatian pada sesama. Terkadang aku berpikir bagaimana bisa wanita secantik, secerdas dan sebaik dr. Kamila Praditya masih belum menikah. Tahun depan usianya genap 30 tahun, tapi ia begitu tegar dan sabar bila ditanya masalah jodoh. Saat ini kegiatannya sangat padat, mulai dari kerja di puskesmas sampai banyak kegiatan sosial lainnya, tidak jarang pula dirinya menjadi pembicara dalam suatu seminar baik seminar kesehatan maupun seminar keislaman. Kemampuan mengajinya pun tidak diragukan lagi. Apalagi kontribusinya dalam menangani masalah-masalah yang terjadi pada umat islam di seluruh pelosok negeri. Dia berwawasan luas dan dan sangat peduli lingkungan. Menurutku, dia wanita yang sempurna, sangat indah.
“Tidak ada apa-apa Ukh, saya hanya capek saja.”
“Bagaimana tes kerja kemarin, sukses?”
Aku menggeleng lemah.
”Mungkin masih belum rezeki. Tapi Anti jangan berhenti berusaha ya.” tuturnya.
Hanya senyum yang bisa aku persembahkan untuknya. Senyum yang tak seindah senyumnya. Terkadang terbesit rasa iri diriku padanya parasnya yang ayu, sikapnya yang santun, pembawaanya yang ramah dan selalu ceria. Ah, dirinya memang terlalu indah.
”Lama kian Anti tidak mengaji. Saya pikir Anti di luar kota.” ucapnya tulus tanpa bermaksud menyinggungku yang sering bolos mengaji dengan berbagai alasan.
”Afwan Ukh” ucapku malu, ”Saya memang agak sibuk akhir-akhir ini. Adik didik saya menjalani ujian akhir, jadi saya mendampingi mereka belajar.”
”Tidak apa. Anti masih ingat materi terakhir yang saya sampaikan, kan?”
”Insya Allah. Tentang memahami islam secara menyeluruh yaitu Al Qur’an dan As Sunah sebagai satu-satunya sumber hukum, beribadah dengan sungguh-sungguh, menghindarkan diri dari perbuatan syirik, meminta pendapat ulama tentang hal-hal yang tidak kita ketahui, lebih mengutamakan amal daripada bicara, mensucikan dan mentauhidkan Allah, serta menjauhi bid’ah”
dr. Kamila tersenyum. Kemudian dia menatapku tajam, ”Ana merasa ada yang ingin Anti sampaikan hari ini. Ana melihat kecemasan di mata Anti.”
”Tidak ada Ukh.” elakku.
”Sungguh?” tegurnya lebih tegas.
Aku hanya bisa menatapnya tanpa kata.
”Ya sudah saya lanjutkan materi yaitu bagaimana cara mendapatkan kedisiplinan yang sempurna, yang pertama paham dengan islam yaitu yakin islam sebagai fitroh yang bersih. Yang kedua ikhlas semua perbuatan dan perkataan kita semata-mata untuk mencari ridlo Allah.”
Aku berhenti mencatat, ”Ukh, saya mau bertanya.”
Wanita berparas ayu itu mengangguk sempurna, ”Ya, silakan.”
“Bagaimana caranya bisa menerima apa yang telah terjadi dengan hati yang ikhlas?”
”Ikhlas memanglah suatu hal yang mudah diucapakan namun terkadang sulit untuk dilakukan. Jika suatu hal telah terjadi, kita tidak bisa terus-menerus menyesalinya dan kita harus yakin bahwa apa yang telah terjadi adalah jalan terbaik yang diberikan Allah.”
dr. Kamila menatapku, ”Apa ini ada hubungannya dengan acara pernikahan teman Anti minggu kemarin?”

Minggu kemarin di Ketapang, Probolinggo ada acara pernikahan Arga-Istiqomah. Awalnya aku menolak ajakan teman-teman untuk datang ke acara tersebut. Tapi teman-teman terus memaksa bahkan ada yang bertanya apakah aku cemburu pada calon istri Arga Sidharta, S Ked. Arga memang teman akrabku saat SMA tapi semenjak kuliah di tempat berbeda hubungan kami makin jauh. Saat itulah Arga mengenal sosok bernama Istiqomah yang kini menjadi calon istrinya. Terkadang aku bertanya di hati apakah aku benar-benar cemburu, ataukah ini hanya rasa tidak ingin kehilangan saja. Enam bulan terakhir ini memang Arga sering menulis short message padaku, isinya formal, dia menanyakan tugas akhirku, lalu perayaan wisuda di kampusku bahkan rencanaku bekerja di mana. Aku sendiri cukup shock ketika teman Arga mengabarkan pernikahan tersebut dalam H-5. Aku marah karena bukan Arga sendiri yang mengabarkan padaku berita penting ini, tapi akhirnya aku hanya sedikit menegurnya. Dia mengatakan bahwa sebenarnya dirinya telah lama ta’aruf dengan sosok bernama Istiqomah. Aku pikir ini semua tidak ada hubungannya denganku sebelum akhirnya secara kompak teman sekelasku saat SMA menyebut diriku mantannya Arga. Apalagi saat itu hanya diriku yang tahu nomor ponsel Arga terbaru serta saudara Arga yang belum menyelesaikan kuliahnya di fakultas teknik. Aku harus meluruskan semua ini. Antara aku dan Arga tidak pernah jadian ataupun putus, antara kami hanya murni berteman tanpa ada jalinan kisah asmara apapun.

Asmara? Kembali dirinya yang ada di benakku, lelaki yang sering kujumpai di musholla kecil. Harusnya aku menghapus perasaan ini, perasaan yang sewajarnya kupersembahkan untuk suamiku. Debaran jantung dengan ritme tak menentu yang hanya mampu disembuhkan oleh ayat-ayat suci-Nya. Bahkan perasaan ingin mendengar dirinya melantunkan ayat-ayat Al Qur’an tersebut. Ini tidak boleh terjadi. Semua ini harus dihapuskan. Harus.

“Afwan, apa yang sedang Anti pikirkan?” suara dr. Kamila menyadarkan lamunanku. Aku merasakan dinginnya telapak tanganku. Ini parah, hanya mengingat lelaki itu saja sudah membuat anggota tubuhku beraktivitas tidak normal. Udara Surabaya begini panas tapi tanganku terasa dingin.
“Tidak ada Ukh, tidak ada hubungannya dengan pernikahan Arga atau apapun juga. Saya cuma sedang tidak enak badan, jadi tidak bisa konsentrasi.”
”Anti sedang melamun, jelas saja tidak konsentrasi. Mungkin Anti harus belajar banyak tentang ikhlas.”
Aku mengangguk pelan.
”Jodoh itu di tangan Allah. Pastinya Allah tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Sebagai umat yang memiliki iman dan islam kita harus percaya dengan hal tersebut. Perbanyak sholat tahajud, dzikir malam dan membaca Al Qur’an. Insya Allah keresahan yang Anti rasakan akan berkurang. Fahimtum?”
“Fahimna Ukh.”
“Begitu juga dengan rezeki semua itu sudah diatur oleh Allah. Kita berikhtiar namun semua hasilnya itu menjadi urusan Allah.”
Pikiranku kembali mengembara membayangkan menemukan satu cahaya dalam gelapnya lorong perjalanan hidupku. Terkadang aku merintih dan mengeluh tapi aku tahu akan selalu ada jalan jika aku menemukan cahaya itu. Apakah aku akan menemukan cahaya indah itu dan terus mengikuti jejaknya, pikirku lelah. Hanya satu cahaya yang menjadi penantian dan pencarianku.

Surabaya, 11 Mei 2009

DEMI CINTA


Entah berapa lama ini akan bertahan. Aku mendengar tawa itu tapi semua terasa seperti sebuah ejekan untukku. Aku mendengar pujian itu tapi semua terlihat bagai sebuah ironi. Aku masih bisa merasakan denyut nadiku tapi semua saraf di otakku serasa tak berfungsi. Apakah semua ini akan berakhir begitu cepat, di mana hanya ada sedikit kenangan dalam pikiranku.

Detik-detik menyiratkan sisa waktu yang kupunya. Apakah mereka akan menangisi kepergianku ataukah mereka hanya menganggapku sesuatu yang tak berarti. Bukankah dulu aku sering menyakiti mereka. Bukankah dulu aku sering tidak mempedulikan mereka. Aku terlalu jahat. Bahkan aku belum pernah membahagiakan mereka. Inikah balasannya. Dalam detik-detik terakhir yang kupunya, aku sendiri.

Pagi masih menyisakan dinginnya malam. Meski selimut ini cukup tebal namun aku masih juga merasakan kedinginan. Tak adakah satu orang di sini yang menyambutku dengan segelas teh atau sepiring bubur ayam. Aku benar-benar merasa renta dan tak berguna. Di mana anak-anakku. Mengapa mereka meninggalkanku.
===============

Tiga puluh tahun yang lalu usai menamatkan pendidikan strata satu-ku. Kucium kedua pipi ibundaku, orang yang selama ini selalu ada di sisiku. Ia selalu memberikan support dalam setiap langkah kakiku. Orang yang paling aku hargai dan aku cintai. Wanita terhebat yang pernah aku kenal. Apalagi sejak ayahku terkena PHK kehidupan keluargaku bergantung pada ibunda. Dia mencari nafkah dengan berjualan kue, namun ia juga masih mengurusi pekerjaan rumah serta memberikan perhatian pada anak dan suaminya. Ibunda tak pernah mengeluh meski dia harus berjuang siang malam demi pendidikanku. Aku memang hanya seorang wanita, tapi ibunda tidak ingin aku kalah dengan kaum adam. Wanita tak bisa hanya pandai di rumah melainkan juga bisa bekerja mencari uang. Zaman sudah berubah, banyak suami yang menggantungkan kehidupannya pada istri.
Akhirnya aku mendapatkan pekerjaan itu. Meskipun aku tahu itu akan menyita seluruh waktuku, aku tidak peduli. Pekerjaan itu memiliki prospek yang cukup menjanjikan. Aku meninggalkan status pengajar pada sebuah lembaga pendidikan demi pekerjaan itu, meski aku harus meninggalkan ibundaku untuk merantau. ”Ibu selalu berdoa semoga dirimu dimudahkan oleh Allah dalam setiap langkah.” kata ibundaku seraya mengusap kepalaku.
Aku juga tidak bisa menaruh kepercayaan sepenuhnya pada kaum adam, layaknya teman-teman wanitaku yang lain. Mungkin hal itu terasa sangat aneh. Bahkan di usiaku yang cukup dewasa aku belum berpikir untuk punya pacar. Aku hanya menunggu waktu untuk bisa menemukan orang yang bisa benar-benar aku percaya untuk menjadi pendamping hidupku.
Namanya Fikri, lelaki yang cukup dewasa untuk bersamaku. Butuh waktu panjang agar aku bisa dekat dengannya. Dia tipe pekerja keras yang tidak begitu peduli urusan cinta-cintaan. Pendeknya, dia bukan tipe lelaki romantis. Namun semua bukan masalah bagiku yang tak suka dengan bunga atau hadiah kejutan ulangtahun. Ini sangat klop dengan diriku. Sampai akhirnya aku menikah dengannya. Pernikahan yang cukup membuat konflik karena dia bekerja di tempat yang jauh dariku. Sementara aku yang baru menapaki jenjang awal karir tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Aku akan bertahan di perusahaan itu. Meskipun gaji suamiku cukup besar, aku tetap tidak mau meninggalkan pekerjaanku. Sampai akhirnya kami hanya berstatus menikah dan hanya berjumpa dua minggu dalam setengah tahun. Sungguh suatu ironi. Meski aku telah memiliki Muhammad Ibrahim, putra pertama kami, tetap saja aku sibuk dengan urusanku sendiri. Ibrahim lebih banyak menghabiskan waktu di TPA (Tempat Penitipan Anak).
Terkadang timbul rasa iriku pada wanita-wanita biasa yang sering aku jumpai saat berangkat atau pulang kerja. Wanita tunakarya itu bisa menghabiskan seluruh waktunya untuk anak-anak mereka. Bahkan bisa tinggal seatap dengan suami mereka. Meskipun terkadang pertengkaran terdengar dari rumah mereka tapi toh akhirnya mereka berbaikan kembali. Hal yang sungguh berlawanan dengan diriku dan Fikri, kami tak pernah bertengkar tapi kami hidup dengan urusan masing-masing. Untuk menyiapkan sarapan atau makan malam pun aku tak pernah. Wanita macam apa diriku. Apakah pendidikan kemandirian yang diajarkan ibundaku telah merasuk kuat di dalam otakku hingga aku hanya peduli pada diriku sendiri. Egois dan sungguh keras kepala.
Anak keduaku adalah perempuan, berbeda tiga tahun dari anak pertamaku. Aku memberi nama Fatimatus Az-Zahra agar kelak ia bisa seperti Fatimah, putri Rasulullah SAW, menjadi wanita yang tunduk pada suami dan berbakti kepada kedua orangtua. Namun rupanya pekerjaan telah menguras seluruh waktuku. Perusahaan tempatku bekerja memang cukup ternama sehingga para karyawan dituntut bekerja lebih demi perkembangan dan kemajuan perusahaan. Ujung-ujungnya Fatima pun menjadi balita terfavorit di TPA yang sama dengan tempat Ibrahim aku titipkan. Ibu macam apa diriku, mempercayakan bibit generasi penerus bangsa pada sebuah tempat bernama TPA Kasih Bunda. Namun aku tak bisa memungkiri bahwa aku semakin asyik dengan pekerjaanku yang penuh dengan tantangan. Bahkan aku tidak peduli lagi jadwal Fikri untuk mengunjungi kami bertiga.
Meski di hadapan mertua dan orangtuaku sendiri semua terlihat baik-baik saja tapi aku tahu ada yang tidak sempurna. Sikapku pada Fikri tak lebih dari sikapku pada teman satu kantor, sangat formal. Aku memang menghargai dia, tapi aku tak pernah mengindahkan perkataannya agar aku mau tinggal di tempat di mana ia bekerja. Aku cukup merasa nyaman dengan kondisiku, Fikri tidak akan memandangku sebelah mata karena pendapatanku pun kini hampir sama dengannya.
Kebahagiaan memang tak bisa diukur dengan materi. Kehidupanku memang mapan tapi aku sering merasa kesepian. Pekerjaankulah yang telah membuang jauh rasa kesepian yang aku alami. Aku juga masih punya Ibrahim serta Fatima yang menemaniku setiap akhir pekan.
”Aku menikah lagi.” ucap Fikri suatu hari. Aku marah, benar-benar marah atas keputusannya. Aku tahu dalam islam diperbolehkan lelaki memiliki istri lebih dari satu asalkan lelaki itu bisa bersikap adil. Aku percaya Fikri bisa bersikap adil, rasa percaya yang masih sama dengan saat pertama aku mengenal Fikri. Aku selalu menghargai dia, dia memang lelaki yang sholeh, sayang ia menikah dengan wanita sepertiku. Aku heran mengapa seorang yang sholeh seperti dia berjodoh dengan wanita tak tahu diri sepertiku. Akhirnya aku merestui pernikahan itu dengan syarat pihak keluargaku tidak tahu perihal pernikahan siri tersebut. Kali ini aku merasa seperti Khadijah, mengizinkan Rasulullah SAW menikah lagi.
Waktu demi waktu telah menghanyutkanku dalam dunia yang begitu fana, hingga rentan. Putra-putriku tumbuh dengan cerdas hanya saja mereka terkadang bersikap seenaknya sendiri, persis seperti apa yang aku lakukan di waktu muda. Aku merasa kesepian yang teramat sangat ketika tidak lagi bekerja. Fikri masih tetap mengunjungi kami dua minggu dalam setengah tahun. Kondisinya cukup rentan tapi parasnya selalu berseri-seri ketika berbicara dengan istri keduanya. Aku cemburu. Baru kali ini aku bisa merasakan cemburu. Hatiku terluka. Kemewahan dan kemapanan yang aku punya tak sanggup menghapus airmataku. Benarkah semua ini telah terlambat. Mungkinkah Fikri mau memaafkanku jika aku bersedia untuk tinggal bersama dengannya. Fikri selalu memaafkanku, aku yakin itu. Suamiku adalah lelaki terbaik yang pernah kukenal. Ketakutanku akan adanya lelaki yang melepaskan tanggungjawabnya sebagai suami hilang sudah dari otakku. Tapi terlambat, di sisi Fikri telah ada bidadari lain. Bidadari yang membuat Fikri begitu jatuh hati dan merasakan bahagia. Bidadari yang menyiapkan sarapan serta makan malam dengan penuh cinta. Alangkah indah kehidupan mereka. Lalu apa yang selama ini aku lakukan. Anakku tumbuh tanpa pengawasan ekstra seperti yang dulu ayah lakukan padaku. Anakku tumbuh tanpa merasakan manis asinnya masakan ibunya karena aku sendiri tidak suka pekerjaan dapur. Ironi sekali.
===============


Ibrahim menatapku iba. Aku masih belum juga menoleh dan peduli pada kehadirannya. Meskipun pagi ini masih menyisakan kesal bagiku. Fatima tak juga kelihatan batang hidungnya padahal napasku bagai hitungan jari, sangat lambat. Ibrahim menyentuh tanganku yang dingin. ”Aku tidak akan meninggalkan Ibu. Meskipun dulu aku sering marah karena Ibu tidak pernah peduli akan diriku. Meskipun dulu Ibu menitipkanku pada TPA seolah-olah aku ini anak yatim piatu. Meskipun Ibu yang memutuskan untuk bekerja jauh sehingga aku dan Fatima jarang bertemu dengan bapak. Meskipun terkadang aku marah melihat bapak bahagia dengan istri keduanya dan saudara-saudara tiriku.”
Airmataku menetes. Aku hampir selalu teringat pada Fikri. Aku selalu menangis saat mengingatnya. Hal yang sama ketika aku mengenal Fikri di bangku kuliah. Satu-satunya lelaki yang mampu membuatku jatuh hati. Namun semua ini serasa tiada berarti. Aku sendiri yang telah mengacaukannya. Bahkan putriku Fatima pun rupanya tak peduli akan keadaanku. Dia kini juga sibuk dengan karirnya. Aku benar-benar sendiri. Ibrahim masih menggenggam tanganku saat aku merasakan lelah. Aku lelah karena selama ini aku baru menyadari apa yang aku lakukan ternyata salah. Menjadi wanita karir tentu ada batasan, bukan berarti seluruh hidupku kuhabiskan dengan karir. ”Ibu, Ibrahim sayang sama Ibu. Dari dulu Ibrahim selalu berharap bisa menemani Ibu, bisa membuat Ibu tersenyum bahagia, Ibrahim benar-benar ingin Ibu kembali sehat. Ibrahim janji akan membawa bapak di sini dan akan tinggal bersama kita. Ibu harus kuat ya, pasca operasi Ibrahim akan menepati janji, Insya Allah.” kata Ibrahim menghanyutkanku dalam lamunan tak terbatas. Masih adakah waktu untukku. Adakah pintu maaf bagi seorang yang begitu khilaf sepertiku. ”Ya Allah ampunilah hamba dan kuatkanlah hamba dalam menghadapi detik-detik terkhir ini. Amin.” gumamku. Ibrahim menatapku seperti tatapan seorang Fikri tiga puluh tahun lalu, teduh dan sangat berkharisma. Andai saja aku bisa memilih kembali, aku akan menjadi ibu rumah tangga yang baik yang bisa menjadi satu-satunya istri dunia akhirat bagi Fikri dan menjadi ibu yang sempurna bagi anak-anakku.

Surabaya, 11 Juni 2010
Ditulis oleh : Eka S

RAHASIA HATI


Bekasi
Riana
Ya Rabb, jangan biarkan hati ini mencintai dirinya jika memang dia bukan jodohku.

Setiap kali kulihat dirinya, berjuta kerinduan seakan berlomba untuk ke luar dari lubuk hatiku. Jujur saja aku takut jatuh cinta. Aku takut perasaan ini salah. Aku takut jika dan hanya jika dia bukanlah pendamping hidupku nanti.

Tidakkah semua rasa ini biarlah mengalir seperti air, melewati tiap bebatuan yang ada. Namun serasa tak bisa diri menyembunyikan perasaan yang kian hari meresahkan. Harusnya ini tak pernah terjadi. Cintakah ini? Kuharap hanya rasa kagumku yang masih belum bisa kubendung.

Kutunggu warna hijau muncul dari lingkaran kecil chat di facebookku. Mengapa dia tak pernah online lagi. Aku ingin menyapanya. Bahkan hanya sekedar basa-basi menanyakan kabarnya yang sekarang jauh dariku. Aku ingin sekali bertemu dengannya. Payah, aku benar-benar merindukannya.

Ya Rabb, mengapa hati ini begitu rapuh? Tak bisakah aku mencoba tegar menanti jawaban dari-Mu

Warna hijau itu akhirnya muncul. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 12.30. tentunya dia sedang istirahat.
”Assalamualaikum...”
Lima menit kutunggu tanpa jawaban. Mungkin dia masih sibuk, kutenangkan pikiranku.
”Wa’alaikum salam, afwan Dek baru bales”
”Hmm..baru selesai sholat dhuhur ya Mas?”
”Iya ^_^”
”Adek sudah?”
”Sudah Mas”
”Masih di Bekasi?”
”Iya...Mas lagi sibuk ya?”
”Enggak juga...oh ya aku belum sempat tanya orang predictive maintenance data kWh meternya”
”Oh iya...baru saja mau aku tagih”
”Entar sorean masih online?”
”Sepertinya iya”
”Oke...aku off dulu ya, entar nyambung lagi”
”Yup ^_^”
”Assalamualaikum”
”Wa’alaikumsalam”

Ya Rabb, tunjukkan kuasa-Mu. Mengapa diri ini begitu lemah. Mengapa harus kulewati lagi fatamorgana cinta. Tak bisakah hatiku tegar, kuat dan selalu bersama cinta-Mu. Jangan Kau lepaskan diriku. Aku ingin terus mencintai-Mu.

Jakarta
Ferdyan
Kulihat jam tangan G-Shock ku yang menunjukkan pukul 12.45. lima belas menit lagi istirahat selesai tapi Ibu belum juga menelponku. Aku masih tak habis pikir tiba-tiba saja pagi tadi Ibu mengatakan ada hal penting yang harus dibicarakan. Hal penting apa?
Handphoneku berbunyi, kulihat gambar ibuku di sana. Rindu juga aku pada Ibu. Sudah sebulan ini aku tidak pulang kampung. Pekerjaan telah menyita waktu yang biasanya kuluangkan untuk keluarga.
”Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumsalam Ibu”
”Le, sabtu iki iso mulih?”
”Insya Allah, wonten punopo Bu?”
”Ana sing nakoke kowe Le”
”Bu...Ian dereng siap nikah”
”Kowe ngenteni opo to Le? Cah Ayu kuwi tho wis ora gelem bali karo kowe”
“Kula mboten ngentosi Ayu, Bu”
“Lha terus ngenteni opo tho Le? Ibu iki yo wis pingin duwe putu”
“Mbenjing kula telpon malih nggih Bu, niki sampun jam kerjo.”
”Yo wis dak enteni lho Le”
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam…barakallah Le”
“Aminnn Bu….”
Ku hempaskan tubuhku di kursi. Pikiranku masih penuh dengan bayangan Ayu, mantan pacarku. Minggu depan Ayu dan kekasih barunya akan menyelenggarakan pernikahan. Hatiku ragu untuk datang, mungkin jauh dalam lubuk hatiku masih sangat menyayanginya. Aku masih berharap suatu keajaiban akan muncul sehingga Ayu kembali hadir dalam kehidupan cintaku.

Solo
Ayunita
Kupandangi foto kenanganku dengan mantan. Ferdyan, sosok tinggi putih yang selalu membuatku merasa nyaman di dekatnya. Lelaki itu sangat penyabar. Lama juga kami tak berjumpa. Terakhir bertemu dengannya dua bulan lalu pada acara reuni akbar UGM di Aston Jakarta. Dia masih menarik bagiku. Mungkin keputusanku untuk meninggalkannya adalah kesalahan yang besar, namun aku tak bisa mengubah keputusan itu kembali. Aku masih interest dengan karirku, sebagai konsultan hukum di Solo. Sementara dia bekerja di Jakarta, kota yang paling aku benci. Selain polusi yang luar biasa, kemacetan juga di mana-mana. Jika sudah begitu mana mungkin aku bebas membawa mobil terios kesayanganku. Lagipula mencari kerja di Jakarta juga susah dan aku tak mau jika hanya dijadikan sebagai ibu rumah tangga.

Aku berkenalan dengan Ferdyan Anggara saat aku menginjak semester empat di jurusan hukum. Waktu itu Ferdyan menginjak semester enam di jurusan teknik Elektro. Sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Elektro nama Ian cukup terkenal. Apalagi sikapnya yang dewasa, membuat banyak wanita mengaguminya. Lelaki yang berasal dari Solo ini adalah pacar pertamaku, kami jadian cukup lama yaitu lima tahun. Sampai akhirnya aku harus meninggalkannya karena ia lebih memilih Jakarta daripada kembali ke Solo.

Lebih tepat alasan mengapa aku meninggalkannnya adalah pihak keluarganya yang menginginkan menantu berjilbab dan santun. Sementara aku memiliki banyak sahabat laki-laki dan aku masih belum ada rencana mengenakan jilbab.

”Halo”
”Ayu...” suara bass yang selalu kurindukan kini kudengar lagi, ”syukurlah nomer ponselmu nggak ganti, hehe...”
Masih sempat juga dia bercanda, padahal jantungku berdegup sangat kencang. Aku masih menyayanginya.
”Mas Ian apa kabar?”
”Baik. Ayu sendiri?”
”Baik juga”
”Sudah makan siang?”
”Sudah tadi di kantin kantor”
”Hmmm...”
”Tumben Mas Ian menelpon”
”Lagi kangen ma mantan. Kangen banget...”
”Waduh padahal minggu depan mantannya in mau merit loh. Kok berani-beraninya bilang kangen...hehe”
Kunetralkan perasaanku yang sebenarnya masih berharap Ferdyan akan mengatakan bersedih atas pernikahanku. Bahkan mungkin aku berharap Ferdyan mengucapkan cinta padaku.
”Oh iya ya... selamat ya...aku turut berbahagia” ucap Ian
Aku merasa terhempas oleh pengharapanku sendiri. Terkubur dalam angan yang selama ini menaungi pikiranku. Ternyata tak ada yang berubah sejak putusnya hubungan asmara kami setahun lalu.
”Makasih Mas Ian”
”Yup...apapun yang membuatmu bahagia adalah bahagiaku juga”
Seandainya saja bisa kuteriakkan aku bahagia jika kau ada bersamaku.
”Mas kapan nikah?”
”Belum ada calonnya”
”Masa’ cowok seganteng Mas Ian gak ada yang naksir”
”Ya gimana lagi kan kantorku 80 % isinya pegawai laki-laki”
”Iya...ya...”
”Ada sih beberapa cewek tapi ya sama aja kelakuannya seperti cowok”
”Cewek teknik? Keren dong”
”Hehe...keren dilihat dari mananya Yu. Kamu aja tomboy eh malah ada yang lebih tomboy”
”Masa’?”
”Betul itu Yu...”
”Wah merit sama cewek itu aja Mas”
”Kok Ayu bisa ngomong begitu?”
”Daripada kehabisan stok. Hehe”
”Bukannya dari hasil sensus tuh jumlah cewek empat kalinya jumlah cowok ya?”
”Tapi sensusnya nggak nyampai di kantornya Mas Ian”
Terdengar suara Ferdyan tertawa kecil. Tawa yang selalu kurindukan.
”Yu...”
”Ya Mas”
”Sekali lagi selamat ya atas pernikahanmu”
”Iya, doakan lancar ya Mas”
”Insya Allah”
”Oh ya satu lagi Mas. Pertimbangkan tuh cewek teknik, kan keren”
”Haha...”
”Serius nih, umurmu udah tua lho....”
”Tapi kan aku masih imut...”
”Innocent sih iya...tapi...”
”Tapi kenapa Yu?”
”Tetap aja usia gak bisa bo’ong”
”Yu...Ayu...kamu tuh ya, bisa-bisa aja”
”Emang bisa, kan Ayu udah kenal Mas Ian lamaaaa banget”
”Iya...iya... oke deh entar aku telpon lagi ya...”
”Gak boleh!!!”
”Lho kok???”
”Entar Ayu jatuh hati lagi sama Mas Ian”
”Hehe...”
”Kok malah ketawa?”
”Ya itu sih resiko ketemu ma cowok ganteng kaya’ aku”
”Ge eR banget nih cowok...hihi”
”Ya emang ganteng kan?”
”Tapi kok nggak laku-laku ya?”
”Hmmm...kasih tahu nggak ya kenapa”
”Apa karena hatinya penuh tiga huruf A.. Y... U...”
”Waduh kok jadi Ayu yang Ge eR???”
”Haha...kan Ayu cantik seperti Luna Maya”
”Cantik sih...tapi...”
”Tapi kenapa?”
”Tapi judes abis, suka ngatur, es krim mania, duh...tekor deh jalan ma Ayu”
”Wah buka rahasia nih...hihi”
“Hmmm…fakta kan?”
“Nggak nyangka ya Ayu bakal nikah duluan”
”Iya...”
”Eh Mas, Ayu balik kantor dulu ya...”
”Dah Ayu honey-ku...”
”Dah Mas Ian baby-ku....”
“Hehe…”
“Hihi…”
Aku tersenyum kecil ketika telpon dari mantanku terputus. Hatiku masih bertanya-tanya apakah dia masih mencintaiku. Aneh juga rahasia Tuhan, sekalipun aku sangat menyayangi Mas Ferdyan dan juga sebaliknya masih juga antara kami tidak ada ikatan jodoh. Sungguh aku masih merasa aneh.

Jakarta
Riana
Subhanallah mengapa semua jadi berbeda? Kulihat sosok lelaki baru ke luar dari masjid Raudhatul Jannah. Aku menghampirinya di pelataran masjid.
”Assalamualaikum”
”Eh Adek, wa’alaikumsalam” sahut Ferdyan
”Kok kelihatannya capek banget?”
”Iya, baru balik dari Solo. Nyampai Jakarta pagi tadi”
”Oh...”
”Lho kamu kok di Jakarta?”
”Off satu hari, banyak kerjaan di Jakarta”
”Sering sholat di sini?”
”Terkadang aja Mas...tadi kebetulan mampir ke Bengkel”
”Lho katanya kamu sudah nggak terjun ke lokal lagi?”
Aku tersenyum menatapnya. Matanya yang jernih membuatku terpaku sejenak. Sungguh sesuatu nan indah telah hadir nyata di hadapanku.
”Sesekali saja...”
”Tapi kan sudah nggak pake wearpack”
”Hehe...”
Perjumpaan pertamaku dengan lelaki ini tepatnya di bengkel listrik, itupun yang kami bahas adalah masalah perbedaan ratio current transformer.
”Aku lagi bingung nih Dek”
”Hah??? Memangnya kenapa Mas? Dijodohkan?”
”Kok Adek tahu?”
”Hehe...hanya menebak saja Mas”
”Terus?”
”Hatiku belum bisa sreg”
”Masih ingat mantan?”
”Mantanku udah milik orang dan mereka akan segera menikah”
”Oh..”
”Eh kok aku jadi curhat begini”
”Enggak apa-apa Mas”
”Dek, menurut Adek apa yang harus aku lakukan?”
”Istikharah...insya Allah akan ada jawaban terbaik dari-Nya”
”Sudah”
Deg deg deg...mengapa detak jantungku malah berpacu cepat. Mungkin aku hanya bisa jujur pada Allah tentang perasaanku pada Mas Ferdyan. Tapi saat ini aku hanya bisa terdiam tanpa bisa mengatakan apapun.
”Terus?” tanyaku hati-hati, aku takut melukai hatiku atau aku hanya ingin memenangkan diriku.

Aku berusaha menetralkan perasaanku. Tidaklah mungkin seorang yang tampan seperti Ferdyan memikirkan tentang kehadiran seorang Riana, sekalipun tiap akhir sholat aku selalu menyebut namanya.
”Ya Mas Ian harus sabar menghadapi ini semua. Sesuatu yang berhubungan dengan hati memang sangat berat”
”Beberapa hari ini aku sering bermimpi tentang Adek, kenapa ya?”
”Kangen kali...”
”Bagaimana kalau jawaban istikharah itu...”
”Enggak mungkin”
”Kenapa enggak?”
”Ah sudahlah Mas, mungkin Mas ingat ma aku karena kita sering chatting”
”Mungkin sih”
”Nah istikharah dulu lagi ya Mas. Sabar...”
”Insya Allah”
”Hmm...Riana mau balik lagi ke bengkel ya. Wassalamualaikum...”
”Waalaikumsalam”
Aku bergerak meninggalkan Ferdyan yang masih berdiri di pelataran masjid. Aku merasa kedua matanya masih mengikutiku. Hatiku berbunga namun ada satu rasa sakit terselip, apakah aku juga akan melukai hati. Bukankah telah ada wanita di sana yang menunggu kehadiran Ferdyan untuk menjadi pendamping dunia akhirat. Dan pantaskah aku untuk bersama Ferdyan?

Solo
Ayunita
Berulangkali kuhubungi ponsel mantanku namun tiada yang menyahut. Aku benar-benar marah ketika tahu dia akan dijodohkan dengan Maharani. Bukan karena aku cemburu, tapi karena aku tahu sisi lain Maharani. Wanita itu memang berasal dari keluarga ustadz-ustadzah namun...

”Mas Ian...”
”Kenapa Yu, kok kelihatannya penting banget sampai miscal lima belas kali”
”Apa ibu menjodohkan Mas dengan mbak Maharani?”
”Iya”
”Mas terima?”
”Kamu cemburu ya Yu???”
”Bukan begitu”
”Terus?”
”Ayu pernah lihat dia di club, ia lepas kerudung dan lagi asyik bermesra sama cowok”
”Ayu mungkin salah lihat”
”Enggak mungkin Mas”
”Itu bener mbak Maharani”
”Alhamdulillah...”
”Lho kok???”
”Karena aku belum memberi jawaban iya”
”Syukurlah Mas. Menurutku mendingan nikah ma cewek teknik yang sering Mas ceritakan itu daripada mbak Maharani”
”Memangnya nggak ada calon lain ya Yu???”
”Hmmm...gimana ya? Ayu merasa ada ikatan kuat antara kalian berdua”
”Sok tahu”
”Karena Mas Ian sekarang jauh lebih baik sejak mengenalnya”
”Boleh juga alasannya”
”Apa Mas Ian tidak merasakan?”
”Apa?”
”Wah parah nih...eh berapa nomer telpon cewek itu biar Ayu yang bilang”
”Bilang apa?”
”Mas Ian suka ma dia...hehehe”
”Yee...”
Aku menghela napas panjang. Entah mengapa tiba-tiba rasa cintaku pada Ferdyan menguap begitu saja. Mungkin ini jawaban yang diberikan Tuhan atas doa-doaku selama ini. Aku memang marah karena terang-terangan keluarga Ferdyan menolak kehadiranku, namun saat ini perasaanku menjadi sangat berbahagia.

Entah darimana aku merasa cewek teknik nan tomboy itu adalah jodoh dari mantanku, Ferdyan Anggara. Hmmm... saatnya aku mempersiapkan diriku untuk menjadi seorang isteri.

”Yu...makasih ya..”
”Siiip deh Mas...”
”Eh bentar nih aku lihat Riana lagi online”
”Hmmm...okeh deh”
”Dah Ayu honney-ku...”
“Dah Mas Ian baby-ku…”
“Hehe…”
“Hihi…”

Bekasi, 18 Mei 2010
Ditulis : Eka S

Cinta di Perbatasan Langit


Langit masih menyisakan mendung. Sementara tetesan air hujan telah reda. Aira berdiri menatap mendung dekat jendela kamarnya. Jilbab putihnya berkibar terbawa hembusan angin. Wanita itu seolah menunggu sesuatu atau ia sedang menunggu seseorang. Parasnya tampak tidak tenang. Bibirnya terus mengucapkan istighfar pada Allah. Aira bahkan tidak tahu sudah berapa lama ia mematung menatap langit. Ia hanya merasakan detik demi detik yang berlalu sangat cepat.

Semua ini terasa begitu berat. Peristiwa demi peristiwa terjadi begitu cepat tanpa bisa ia prediksikan. Dirinya menangis namun secara sadar ia menghapus airmata yang tidak akan pernah mengubah keadaan. Ia yang telah memilih jalan itu, dan ia pula harus bertanggung jawab serta menerima apapun konsekuensi atas pilihannya itu. Hanya saja mengapa semua terjadi begitu cepat.

Enam bulan lagi, waktu yang cukup singkat. Suatu kesalahan menulis hal yang tidak bisa masuk logika. Tapi bukankah hidup itu penuh dengan keajaiban. Aira selalu percaya suatu saat nanti akan tiba waktunya. Namun kepercayaan itu menipis sedikit demi sedikit. Apa yang tertulis dalam lauhul mahfudz-Nya, pikir Aira.

Aira menatap foto pernikahan Rahmat, sahabatnya saat di bangku SMA. Di sebelah mempelai wanita tampak Aira yang menggunakan baju warna coklat muda. Sedangkan di sebelah mempelai pria terdapat teman SMA Aira. Rahmat memang lelaki yang baik, pengetahuan agamanya di atas rata-rata, cerdas dan selalu menghargai wanita. Hanya wanita bodoh yang menolak untuk menjadi istri lelaki sesempurna Rahmat Adi Herwanto, S. Ked. Suatu saat kelak lelaki itu akan menggantikan ayahnya yang menjadi dokter spesialis jantung terkenal yang bertugas di salah satu rumah sakit besar di Surabaya yaitu dr. Aribi Herwanto, sp JP.

Tidak terasa semua cepat berlalu. Masalalu tinggallah lukisan tak berharga. Hanya menjadi kepingan cerita tak berbentuk. Dan Rahmat adalah secuil kisah lalu yang tak pantas untuk datang kembali. Aira kembali menatap langit yang mendung. Pikirannya cemas dan untaian istighfar belum juga terhenti. Apa kiranya yang kini sedang terjadi. Mengapa ia begitu resah. Apakah karena cahaya itu. Cahaya yang membuatnya kembali pada-Nya. Cahaya yang tiap kali membuatnya menangis dalam sujudnya. Entah sejak kapan ia berubah menjadi melankolis. Entah sejak kapan ia lebih menunggu malam di mana ia akan bertemu dengan sang Pencipta dalam tahajudnya serta menunggu datangnya pagi untuk dhuha. Menghabiskan seluruh waktunya untuk membaca Kitabullah. Sungguh Aira bahkan sering merasa asing pada dirinya sendiri. Apakah cahaya itu yang telah mengubahnya.

Langit mendung kini mulai pergi. Sinar matahari mulai nampak, sementara adzan dhuhur berkumandang. Apakah ia di sana juga masih bisa menunaikan sholat berjamaah, apakah ia masih melantunkan ayat-ayat suci di setiap pagi dan petang, apakah ia masih menjaga tahajudnya, apakah ia masih menunaikan shaum senin-kamisnya, apakah ia baik-baik saja. Lelaki yang sangat asing bagi Aira. Lelaki yang selalu dijumpainya di dalam masjid kampus, yang setiap kali memberikan senyuman bagi semua jamaah, yang selalu menundukkan pandangan ketika bertemu dengan akhwat. Subhanallah. Lelaki yang dulu adalah aneh bagi sosok Aira yang tidak mengenal islam kini sering hinggap dalam pikirannya. Lelaki yang baik untuk wanita yang baik dan lelaki yang tidak baik untuk wanita yang tidak baik pula. Apakah aku termasuk wanita yang tidak baik?, pikir Aira. Tentu saja lelaki asing itu adalah lelaki yang baik, yang luar biasa cinta pada-Nya, dan melebihi semua cinta yang ia miliki. ”Ya Allah lindungilah selalu dirinya. Berikanlah kemudahan dalam setiap langkah hidupnya. Meskipun hamba tidak tahu apakah masih ada kesempatan untuk bertemu lagi dengannya. Berikanlah yang terbaik untuknya. Ya Allah kutitipkan dia pada-Mu, ampunilah hamba yang kini merindukannya. Amin.”

Segera Aira mengambil air wudhu lalu melaksanakan sholat jamaah di masjid dekat rumah. Tak lupa ia sholat rowatib Qobliyah dan Ba’da. Hati Aira seperti tersiram es, dingin. Kerinduan pada lelaki asing itu berganti dengan rasa syukurnya pada sang Pencipta. Setidaknya ada perubahan di tiap tahap kehidupannya, ia juga berdoa semoga Allah tidak akan pernah membiarkannya terlepas dari-Nya. Ia takut sendiri, ia takut terlepas dari kasih sayang-Nya yang tak terbatas. Mungkin inilah perasaan lelaki itu saat melantunkan ayat-ayat Allah hingga airmata membasahi pipi. Perasaan takut akan jauh dari-Nya.

Usai sholat dhuhur Aira membaca surat Ar Rahman, surat favoritnya. Bukan karena surat itu mirip dengan nama Rahmat melainkan satu ayat yang dibaca berulang di sana, Fabiayyi alaa irobbikuma tukadziban, dan nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan.

Aira menghentikan bacaan kitab sucinya dan bergegas melanjutkan membaca novel Di Atas Sajadah Cinta. Telepon selulernya berdering, Aira menghentikan bacaan novelnya.
”Assalamualaikum Ukhti Aira” sapa Nisa.
”Waalaikum salam. Aduh jangan manggil diriku Ukhti dong, belum pantas.”
”Ukhti Aira ini tidak berubah ya, sama persis dengan Aira yang kukenal sewaktu SMA, suka bersikap litotes.”
”Ah Ukhti Nisa berlebihan. Saya hanya bicara apa adanya. Bagaimana kabar Ukhti?”
“Alhamdulillah baik. Ukhti sekarang sudah gawe-kah?”
“Belum.”
“Sabar dulu. Ukh, sudah lihat film Ketika Cinta Bertasbih?”
“Sudah pernah baca novelnya tapi lupa ceritanya bagaimana, paling-paling si ikhwannya itu perfect banget.”
“Subhanallah. Mengapa Ukhti kelihatannya tidak senang melihat ikhwan yang baik.”
“Habiburrahman El Shirazy yang selalu menulis bahwa si ikhwan itu begitu ganteng mendapat istri si akhwat yang begitu cantik. Semua dibuat manis. Nah kalau wanita yang nggak cantik sepertiku tidak akan pernah masuk dalam cerita cinta.”
“Jika Habiburrahman tidak mau menulis cerita wanita tak cantik mendapat suami lelaki sholeh yang ganteng, Ukhti saja yang membuat cerita, kan Ukhti suka tuh menulis. Judulnya apa ya...Cinta di Bawah Atap Manarul Ilmi. Nanti kalau ceritanya bagus dan mau dibuat film kan tidak perlu jauh-jauh ke Mesir, tinggal shooting saja di kampus kita.”
“Tuh kan ngaco...”
“Eh siapa tahu kalau ternyata Ukhti Aira ada satu cerita yang berkesan di masjid kampus kita, iya kan?”
“Cerita apaan?”
“Ya cerita cintalah Ukh, mungkin sama ikhwan yang dulu asyik berbincang dengan Imam Masjid kampus.”
”Ngaco lagi...”
”Afwan, oh ya september akhir nanti teman-teman SMA berencana mengadakan reuni di Jakarta. Ukhti datang ya...”
”Tidak adakah tempat yang lebih bagus dari Jakarta?”
”Lha kan teman-teman banyak yang bekerja di Jakarta.”
”Insya Allah, tapi sebenarnya saya malas ke Jakarta. Ruwet, ribet.”
”Ya entar berangkatnya bareng ana.”
”Iya insya Allah.”
”Oke. Ya sudah Ukh dilanjutkan lagi aktivitasnya, Assalamualaikum.”
”Waalaikum salam.”

Apa yang aku tunggu? Enam bulan itukah. Bagaimana jika ia tidak pernah datang. Bagaimana jika ternyata ia malah mengirimiku undangan walimatul nikah. Apa yang tertulis dalam Lauhul mahfudz. Apakah lelaki itu hanyalah cahaya yang sejenak hinggap dalam kehidupanku ataukah semua ini hanya kepingan cerita yang tak perlu aku indahkan. Jangan pernah tanya soal cinta, karena aku benar-benar tidak tahu. Kehadirannya memang telah mengubahku untuk semakin dekat dengan-Nya, namun belum tentu aku mencintainya. Aku heran bagaimana semudah itu Habiburrahman menuliskan kata cinta. Mengapa aku bahkan tidak pernah berharap lebih dari jalan hidupku kecuali membuat orang-orang di sekitarku bahagia. Aneh, sesuatu yang aneh, pikir Aira. Cinta, cinta, cinta, harusnya hanya ada sang Khalik di sana, serta habibullah Muhammad SAW. ”Ya Allah tunjukkanlah jalan bagi hamba. Hamba ingin meraih kasih suci-Mu bukan hanya kebahagiaan semu.”

Hafiz tidak menyangka betapa cinta yang diberikan Allah terlalu besar untuknya. Usai menamatkan pendidikan strata satu-nya dan meraih gelar ST segera dirinya mendapat pekerjaan. Tak berhenti sampai di situ, ia juga telah menemukan bidadari pujaan hatinya dalam ta’aruf dua minggu yang lalu. Kini ia tinggal menunggu hitungan minggu untuk mempersunting bidadari ayu nan sholihah, sosok yang kelak menemani hari-harinya, menjadi istri dunia akhirat sekaligus ibu dari putra-putrinya. Semua persiapan walimatul nikah hampir selesai, sebentar lagi Hafiz akan mengabarkan berita gembira ini pada teman-teman mujahid Allah. Hafiz akan menikah dengan bidadari cantik nan sholihah. Subhanallah, Maha suci Allah yang telah menjadikan makhluk-Nya berpasang-pasangan, pikirnya.

Ponselnya bergetar, sebuah sms masuk.
Dari bidadarinya.
Assalamualaikum. Afwan bisakah Antum menunda pemberitaan walimatul nikah kita, sebab ana ingin istikharah lgi. Afwan bkn ana meragukn Antum. Ana thu Antum adl lelaki yang sholeh. Tapi ana bharp Antum bs mengerti.
Hafiz menatap langit biru yang kini tertutup mendung. Ada apa kiranya sang bidadari tiba-tiba menulis sms tersebut.
”Ya Allah tunjukkanlah jalan bagi hamba-Mu ini. Amin.”

Di perbatasan langit tampak pelangi nan indah. Seindah untaian cinta sang Khalik pada makhluk-Nya. Para malaikat pun berdzikir pada-Nya. Aira takkan pernah tahu apa yang akan terjadi. Lelaki asing yang bernama Hafiz pun tiada menahu rahasia sang Illahi. Semoga Allah selalu memberikan rahmat dan ridho-Nya bagi orang-orang yang berjuang menegakkan agama-Nya. Bidadari-bidadari surga tersenyum menatap Hafiz yang kini membaca tartil surat An-Nur. Betapa cahaya selalu berada di sisi orang-orang yang bertaqwa. Semua rencana Allah sangat sempurna dan semua itu tertulis dalam Lauhul Mahfudz-Nya.

Surabaya, 10 juni 2009
Ditulis oleh : Eka S

KISAHKU KISAHMU


Jingganya senja makin hilang ditelan hitam. Burung-burung telah berarak pulang menjemput kehangatan dan melepaskan lelah di sarangnya. Kamu dengar suara-suara itu. Malam mendendangkan lagu nina bobo untuk semua makhluk yang lelah bergulat dengan terang. Tidakkah kamu lelah juga, Sayang ? Kemarilah dan tidurlah di atas pangkuan Ibu. Biarkanlah Ibu bercerita tentang kehidupan nyata, bukan dongeng happy ending seperti yang selalu kamu inginkan dariku. Bukannya aku tak ingin melakukannya untukmu, kehidupan inilah yang tak mengizinkanku untuk mengenal aneka dongeng pembawa mimpi indah itu. Ibu menceritakan ini bukan mengharapkan airmatamu atas perih yang pernah kualami. Sekali lagi, tidak pernah. Ibu hanya ingin kamu menjadi seorang manusia yang tegar, bukan anak cengeng yang biasa tidur dalam pelukan hangat, karena kehidupanmu kelak tak selalu berjalan seperti yang kamu inginkan.


Masa kecilku

Seorang manusia tak pernah bisa memilih akan lahir dari keluarga yang seperti apa, dan hal itu juga berlaku untukku. Aku tak tahu kapan tepatnya pertama kali kuhirup wanginya udara di dunia ini. Aku hanya tahu diriku lahir pada tahun 1965 di sebuah desa kecil yang bernama Kedung Pring, kabupaten Gresik Jawa Timur. Aku adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Namun anak pertama dan kedua meninggal sebelum usia mereka genap satu tahun. Aku memanggil orangtuaku dengan sebutan Emak dan Bapak layaknya teman-temanku. Keluarga kami hidup sangat sederhana. Bapak bekerja sebagai petani, pagi-pagi berangakat ke sawah pulang ketika sore tanpa membawa sepersen uang apapun. Terkadang Bapak memetik sayur-sayuran di pinggir sawah untuk makan kami esok hari.

Anak pertama, kedua dan ketiga adalah seorang laki-laki. Anak keempat, kelima dan keenam adalah perempuan. Sedangkan anak terakhir adalah laki-laki. Seperti yang telah aku ceritakan anak pertama dan kedua meninggal sebelum mereka genap berusia satu tahun. Emak menceritakan kematian misterius kedua anaknya tersebut. Orang-orang bialng mereka meninggal karena dimakan oleh setan, maklum di belakang rumah banyak semak-semak yang terlihat cukup angker. Kematian keduanya hampir sama yaitu beberapa minggu setelah kelahiran, tubuh mereka kebiruan dan tangis mereka tak berhenti sampai ketika mereka menghembuskan napas terakhir. Dengan kematian kakak pertama dan keduaku maka tanggung jawab beralih pada kakak ketigaku. Ketika Emak dan Bapak sibuk di sawah, dialah yang mengawasi dan menjaga kami berempat.

Suatu ketika, ada seorang pengemis datang ke rumah. Waktu itu kakak laki-lakiku sedang mengantarkan makanan ke sawah tempat Emak dan Bapak bekerja. Di rumah hanya ada kakak perempuanku, aku, adik perempuanku yang berusia tiga tahunan dan adik laki-lakiku yang masih belum genap satu tahun. Pengemis itu bertanya pada aku dan kakak perempuanku di mana kedua orangtua kami. Dengan polos kami jawab mereka sedang di sawah dan baru pulang menjelang senja nanti. Melihat kondisi kami yang tak terawat dan rumah kami yang reyot pengemis itu malah memberikan satu tandon pisang yang di dapatnya dari tetangga sebelah. Entah tetangga sebelah yang mana, setahuku di kampungku tidak ada orang kaya. Kami semua hidup sangat sederhana. Namun aku dan kakak perempuanku hanya mampu mengucapkan terima kasih. Setelah itu pengemis itu pergi seraya tersenyum pada kami dan menasihati supaya kami menjaga adik-adik kami dengan baik. Untuk selanjutnya aku tak pernah lagi bertemu dengan pengemis tersebut, pengemis yang bisa meredam keruyuk lapar di perut kami.

Kakak laki-laki, kakak perempuan serta diriku disekolahkan oleh Emak dan Bapak. Sebenarnya mereka keberatan jika anak perempuan melanjutkan sekolah sampai tingkat tinggi. Di pikiran mereka asalkan aku dan kakak perempuanku bisa baca tulisan dan mengaji itu sudah cukup. Kami sekolah tanpa menggunakan seragam, bahkan tanpa alas kaki. Maklum hal seperti ini lumrah untuk desa-desa yang terpencil seperti di desaku. Tapi pada saat olahraga kami diharuskan membeli seragam olahraga. Inilah yang membuat pikiranku berkembang. Tak mungkin Emak dan Bapak memberikan uang begitu saja untuk membelikanku seragam olahraga, jadi aku harus bekerja. Tiap kali aku ke sekolah membawa permen yang aku beli dari tetangga lalu kujual lagi pada teman-temanku dengan keuntungan yang tipis. Aku juga tidak pernah jajan di sekolah meskipun Bapak memberiku uang lima sen sebagai uang jajan. Lama-lama aku bisa mengumpulkan uang banyak untuk modal baik dari uang saku maupun dari keuntungan tipis penjualan permen. Kini tak hanya permen aku juga menjual jajan-jajan lain yang harganya terjangkau. Aku pun akhirnya mampu membeli seragam olahraga dari hasil jerih payahku sendiri.

Berbeda denganku, kakak perempuanku terus merengek minta dibelikan seragam olahraga. Uang saku yang diberikan Bapak selalu habis untuk jajan. Entah karena dia lebih cantik dari aku atau entah karena apa, Emak selalu menuruti keinginan kakak perempuanku. Emak tidak pernah peduli akan kebutuhan dan keinginanku. Bahkan untuk pakaian Emak selalu membelikan baju model terbaru untuk kakak perempuanku dan memakaikannya padaku saat baju itu sudah tak muat lagi.

Aku jarang makan di rumah. Aku biasanya menginap pada tetangga yang merupakan guru mengaji. Guru mengaji tersebut memiliki pondok dengan sedikit santri, disitulah aku menginap berbaur dengan santri-santri yang usianya lebih tua dariku. Selain mendapat makan aku juga bisa belajar mengaji di sana. Tentu saja aku tidak berpangku tangan, tiap pagi sebelum sekolah aku membersihkan rumah tetanggaku itu. Bahkan tiap sore aku sering disuruh memetik kangkung atau sayur-sayuran lain di halaman belakang rumah. Jangan dibayangkan halaman belakang rumah itu bersih dan terawat. Halaman belakang itu penuh dengan semak belukar sehingga seringkali kakiku terkena duri tanaman-tanaman yang ada di dalamnya. Kakak laki-lakiku juga mengaji di sana tapi tak pernah mau menginap di sana karena jika di pondok itu ada aturan untuk melaksanakan sholat tahajud. Pada tengah malam semua isi pondok dibangunkan apabila bandel maka akan terkena pecut dan tentu saja akan terasa sakit di punggung sampai berhari-hari. Pecutan tak hanya diberikan untuk kami yang malas bangun sholat tahajud melainkan juga kami yang terbata-bata dalam mengaji. Itulah sebabnya kakak perempuanku enggan belajar mengaji.

Sering juga aku dimintai tolong oleh tetangga lain yang pekerjaannya adalah berdagang. Mereka menyuruh aku ke pasar untuk berbelanja barang-barang yang akan mereka jual, diantaranya gula, tepung, jagung, kedelai dan sebagainya. Dengan mengayuh sepeda kebo (sepeda berukuran besar yang digunakan para peternak untuk mengangkut pangan sapi) disertai dua ronjot (tempat dagangan yang tebuat dari bambu tipis) aku berangkat menuju ke pasar. Tentu saja hal itu menyulitkanku mengingat ukuran tubuhku yang kecil apalagi jalanan yang penuh dengan bebatuan. Itu belum seberapa, jika musim penghujan tiba jalanan menjadi becek dan licin. Hal tersebut jauh lebih menyulitkanku. Tapi demi uang dan makanan aku mengerjakan semua itu tanpa mengeluh sedikitpun. Toh buktinya aku bisa makan empal dan ayam goreng sedangkan saudaraku yang lain cuma makan seadanya di rumah, tanpa lauk yang bergizi.

Di sekolah aku termasuk anak yang pintar. Selama tiga tahun sekolah aku sudah pandai membaca dan sedikit berhitung. Tentu saja berbeda dengan kondisi saat ini di mana anak kelas tiga SD sudah pandai perkalian bersusun. Dulu tidak ada sekolah TK dan anak kelas tiga SD baru diajari pertambahan dan pengurangan bersusun jadi sama sekali belum mengenal perkalian. Aku selalu mendapat rangking kedua di sekolah, prestasi yang cukup membanggakan mengingat kakak laki-laki dan kakak perempuanku tidak pernah rangking tiga besar. Namun suatu ketika ada pakdhe dan budhe datang dari pulau Kalimantan ke rumah. Mereka membutuhkan seorang perawat bayi untuk mengawasi anaknya. Akhirnya aku bersedia ikut mereka karena mereka menjanjikan akan menyekolahkanku dan memberikan uang saku lebih banyak dibanding yang kuterima dari Bapak.

Betapa beruntungnya aku saat ini. Aku bisa sekolah, memakai pakaian yang layak dan tidak pernah kelaparan. Lalu, apa lagi yang harus kukeluhkan saat ini? Tidak ada. Betapa egoisnya diriku yang tidak pernah menghargai apa yang telah engkau berikan kepadaku.
” Mengapa kamu murung, Sayang? ” tanya Ibu ketika aku pulang sekolah.
” Bu, teman-teman selalu dijemput pakai mobil. Paling nggak pakai sepeda motor. Masa’ aku dijemput paki sepeda onthel. Besok aku mau naik bemo ke sekolah. Lagipula tadi ada temanku bertanya apakah orang yang biasa menjemputku adalah kakekku. ” ucapku seolah menerangkan begitu malangnya diriku.

Ibu tersenyum manis sambil mengelus rambutku yang panjang, ” Kamu mau naik bemo? Ya sudah besok Ibu tambah uang saku kamu buat naik bemo. Sebenarnya Ibu tidak tega melihatmu naik bemo sebab si supir kadang suka kebut-kebutan kejar setoran. Tapi kalau kamu malu dijemput Bapak naik sepeda ya Ibu mempebolehkan kamu naik bemo. ”
” Kenapa sih Bu, Bapak tidak beli sepeda motor saja. Daripada uang diberikan pada saudara-saudara yang tidak jelas digunakan untuk apa.” protesku.
Ibu hanya tersenyum mendengar komentarku. Aku sangat tidak suka dengan kelakuan Bapak yang suka memberi berlebih pada saudara-saudaranya karena kupikir mereka baik karena ada maunya. Bahkan terkadang aku melihat ketidakadilan yang dilakukan oleh nenekku. Nenek selalu membelikan sepupu-sepupuku barang-barang yang mereka inginkan tapi tak pernah bertanya padaku apa yang aku inginkan.

Awal Perahu Kehidupanku
Pakdhe dan Budhe membawaku pergi ke Kalimantan dengan naik kapal selama beberapa hari. Harapanku melambung tinggi, aku bisa terus sekolah sekaligus akan mendapat uang yang banyak, mungkin aku juga tidak akan kesulitan untuk makan. Di rumah dulu tak pernah ada lauk untuk dimakan, makanya aku rela tinggal di rumah tetangga dengan konsekuensi akan dipecut ketika melanggar aturan. Tak apalah yang penting sekarang aku sudah bisa membaca Al Qur’an jauh lebih baik dibanding saudara-saudaraku yang lain. Apalagi sekarang kehidupanku akan segera berubah. Aku hanya mampu berdoa semoga kehidupanku lebih baik.

Harapan tinggallah harapan. Mungkin pupus terbawa angin laut di selat Jawa. Ternyata kondisi Pakdheku yang tinggal di Kalimantan itu tak jauh lebih baik dari kondisiku di rumah. Janji tinggallah sebuah ucapan tanpa pertanggungjawaban. Mereka tidak menyekolahkanku karena memang tak ada sekolah di dekat perkampungan mereka. Jika ingin sekolah harus berangkat ke kota yang letaknya sangat jauh dari perkampungan. Hal itu sangat tidak mungkin aku lakukan melihat rumah reyot dan kehidupan pas-pasan Pakdhe. Ternyata Pakdhe punya sebuah warung kecil. Tiap hari aku membantu mereka merawat bayi, memasak, berjualan, bahkan menimba air. Hal yang paling membuatku bersedih adalah saat menimba air. Aku harus bangun pukul dua pagi lalu menuruni bukit terjal melewati semak-semak sambil membawa dua timba. Alam Kalimantan masih sangat liar, para biawak hidup dengan tenang di sana. Untunglah aku tidak pernah menjumpai mereka ketika aku berjalan menuju lembah padahal tempat yang aku lewati konon hidup berpuluh-puluh biawak liar.

Aku harus bisa kembali ke Pulau Jawa. Akhirnya aku berpikir untuk bekerja dan pilihanku jatuh pada berjualan es temulawak. Penjualan es itu aku lakukan setelah semua pekerjaan rutinku selesai. Meski tak dibayar aku selalu melakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh. Hasil yang aku dapat dari penjualan es temulawak cukup lumayan. Di samping itu, aku juga bersedia disuruh mengantarkan pesanan pada langganan oleh beberapa pedagang dengan upah tertentu. Para langganan pun tidak tinggal diam ketika aku mengantarkan makanan atau minum pesanan mereka. Mereka memberi aku upah yang cukup besar mengingat profesi mereka sebagian besar adalah wanita penghibur. Mungkin juga mereka kasihan melihatku, tubuh yang kurus dengan berbagai pekerjaan yang menumpuk.

Setelah hampir tiga tahun di Kalimantan akhirnya aku bisa kembali ke Pulau Jawa dengan uang hasil jerih payahku sendiri bukan pemberian dari Pakdheku. Aku naik kapal menuju pulau Jawa. Tak terbendung rasa senang di dalam hatiku. Aku mengelilingi seisi kapal sampai akhirnya aku dimarahi oleh seorang Kapten. Setelah bertanya dengan siapa aku berada di kapal Kapten itu justru mengajakku ke dapur kapal. Di dapur tersebut aku boleh memilih makan sesukaku. Ternyata di kapal itu ada banyak drum penyimpanan air. Dulunya aku berpikir bahwa kapal tak perlu membawa air toh bisa mengambil air dari laut. Air laut itu asin sedangkan yang kita butuhkan untuk minum dan memasak adalah air tawar, begitu penjelasan sang Kapten. Orang-orang di kapal ini tidak pernah meninggalkan sholat wajib. Hal ini sangat berbeda jika kita melihat kehidupan di daratan yang bahkan ada yang dengan sengaja melupakan sholatnya. Mungkin karena kehidupan di kapal ini sangat dekat dengan kematian jadi para penghuni kapal senantiasa berdzikir dan mengingat Tuhan.

” Bu, kuliahku akan mengadakan studi ekskursi nanti awal Juli. Bayarnya mahal Bu soalnya kami akan pergi ke Kalimantan.” kataku, ” Bener sih aku sudah punya penghasilan sendiri hasil dari memberi les privat tapi kan eman kalau uangnya dibuat ke Kalimantan sebanyak itu.”
” Kamu ke sana kan buat belajar. Ibu ingatkan sama kamu jangan pernah pelit untuk urusan pendidikan. Itu juga kan untuk masa depanmu. ” kata Ibu tenang.
” Tapi Bu bayarnya mahal sekitar satu jutaan itu hanya biaya transport. ”
” Kalau kamu nggak ada uang biar Ibu yang bayar. Ibu nggak pingin nanti kamu menyesal karena tidak bisa ikut acara tersebut. ”
” Nggak usah Bu, Eka ada uang kok buat membayarnya. ” ucapku seraya mencium pipi Ibu.
Sebenarnya aku tidak yakin Ibu mengizinkanku pergi sejauh itu. Melintasi laut Jawa, naik pesawat terbang. Padahal awal tahun kemarin ada berita yang cukup menggemparkan sebuah pesawat Adam Air yang akan terbang ke Sulawesi hilang tak berbekas. Serpihan-serpihan pesawat telah ditemukan warga sekitar pulau tersebut namun tak satupun bangkai manusia ditemukan. Pemerintah disibukkan dengan pencarian kotak hitam pesawat yang mungkin terlempar di dasar laut. Bahkan adikku pun tidak diperbolehkan tur ke Bali karena adanya kasus tiga siswa SMA Negeri 4 surabaya tewas tergulung ombak pasang di pantai Kuta. Tapi mengapa aku diperbolehkan ke Kalimantan, naik pesawat lagi. Mungkinkah Ibu ingin aku mengulang sejarahnya. Bukannya ia pernah hidup menderita di pulau terbesar se-Indonesia itu, Kalimantan.

Lelaki itu jodohku
Kondisi ekonomi keluargaku juga tak kunjung membaik. Kakak laki-lakiku, adik perempuanku dan adik laki-lakiku bersekolah. Sedangkan kakak perempuanku telah berhenti sekolah. Kakak perempuanku memiliki kekasih namun orangtua tidak merestui hubungan mereka. Aku sendiri kemudian ikut Ibu Suti, tetanggaku yang punya warung cukup terkenal di desa. Wanita cantik itu tak punya anak meski talah berpuluh tahun berumah tangga. Akhirnya aku menjadi salahsatu dari dua anak angkatnya. Anak angkatnya yang lain adalah laki-laki yang umurnya sekitar tujuh tahun di atasku. Aku tak lagi bersekolah meskipun guruku sempat memaksaku untuk kembali ke bangku sekolah. Aku membantu Ibu Suti untuk berjualan di warung. Aku membuat bumbu pecel, soto dan banyak masakan lainnya. Dari warung ini aku belajar banyak kemampuan memasak. Dari warung ini aku juga mengenal banyak orang, terutama para pedagang di pasar yang sering singgah untuk makan dan mengobrol di warung. Memang banyak warung berjejer tapi warung Ibu Suti terkenal dengan masakannya yang enak.

” Mau ana kancamu SD mrene. Dheweke nggawa buah-buahan uakeh. (Tadi ada teman SD kamu yang main ke rumah. Dia bawa buah-buahan yang cukup banyak.) ” kata kakak perempuanku tentu saja dengan bahasa Jawa yang kental , ” Kayak’e dheweke tresna menyang awakmu. Eh dheweke iku sugih tenan lho. Sawahe lapang, ternake akeh pisan. (Dia naksir kamu kayaknya. Eh dia itu anak orangkaya lho. Sawahnya luas, ternaknya banyak.) ”
” Bojoku mene wong Surabaya, aku gak perlu neng sawah maneh. (Suamiku nanti orang Surabaya, jadi aku tidak akan ke sawah lagi.) ” jawabku santai.
Kakak perempuanku tertawa terbahak-bahak, ” Ngimpi kowe. (Mimpi kamu.) ”
Aku sering mendengar bahwa hidup di Surabaya itu enak. Bisa beli apapun yang kita inginkan apalagi sangat mudah mendapatkan uang di sana. Dulu Bapak kalau pergi ke Surabaya pasti pulangnya bawa baju dengan model terbaru dan oleh-oleh yang banyak sekali. Meskipun aku tidak tahu di mana tepatnya Surabaya itu tapi aku sangat ingin tinggal di sana.

Ternyata usaha teman lamaku tak hanya berhenti sampai di situ. Selain memberikan buah-buahan tiap akhir pekan ia juga membelikanku sebuah sepeda. Ya dulu sepeda merupakan salahsatu barang mewah. Laki-laki itu bilang kalau sepeda itu untuk kendaraan pergi ke warung Ibu Suti di pasar. Daripada aku jalan kaki akhirnya aku terima sepeda roda dua itu. Namun aku tak pernah memberi jawaban yang jelas atas pernyataan cintanya ke aku. Aku tak pernah pacaran. Lagipula setahuku saat mengaji dulu, pacaran termasuk dalam perbuatan zina dan zina adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah.

Suatu hari ada seorang pembeli yang cukup membuatku jengkel. Yang pertama dia cuma mau dilayani olehku meskipun masih ada pembantu Ibu Suti yang lain. Yang kedua dia itu cerewet banget, minta inilah itulah. Yang ketiga dia tidak pernah melepas kacamata hitamnya. Memang waktu aku menjadi anak angkat Ibu Suti berat tubuhku mendekati ideal. Aku juga sudah bisa membeli perhiasan sendiri. Jadi selain bisa makan enak, Ibu Suti juga memberi upah atas hasil kerjaku. Hal yang sangat berbeda dengan nasibku di Kalimantan dulu.

Aku heran menjumpai laki-laki menyebalkan itu di rumahku. Aku lebih terkejut lagi ketika tahu ia datang untuk melamarku. Ternyata aku sudah mengenal Ibu laki-laki itu yang merupakan pedagang sayur serta lauk di pasar. Kami pun menikah beberapa minggu kemudian, tepatnya 12 Desember 1984. Laki-laki itu berbeda usia sekitar sepuluh tahun di atasku, perbedaan yang cukup mencolok. Setelah kami menikah, ia membawaku pergi ke Surabaya. Ternyata ia bekerja dan telah memiliki rumah di Surabaya. Satu peristiwa penting yang aku ingat sebelum menikah adalah aku pergi ke rumah teman SD yang katanya telah lama menaruh perhatian padaku, aku mengembalikan sepeda yang telah ia berikan padaku. Aku tak pernah menjelaskan padanya bahwa aku akan menikah dengan laki-laki lain. Aku cuma mengembalikan sepeda itu dan mengucapakan terimakasih. Lambat laun berita pernikahanku pasti akan terdengar juga olehnya.

” Jadi kamu akan kuliah di jurusan Teknik Mesin? ” tanya salah seorang teman akrabku saat SMA. Aku mengangguk pelan.
” Kenapa nggak ikut SPMB saja? ” tanyanya lagi. Aku melihat ada rasa tidak ikhlas dari teman-teman SMA tentang keputusanku mengambil jurusan tersebut. Mungkin saat ini aku belum bisa memberi penjelasan apapun. Aku sudah cukup bersyukur Tuhan memberiku jalan untuk dapat melanjutkan pendidikan.
” Aku sudah capek buat ikut tes lagi. Lagipula aku sudah merasa sreg akan melanjutkan pendidikanku di jurusan itu. ” jawabku
” Tapi wanita sebaik kamu nggak pantas kuliah di jurusan itu. ” protesnya. Aku tahu perhatian dari teman-temanku ini terlalu berlebih. Mungkin karena kami sekelas sudah bersikap layaknya saudara. Kami menjalani dua tahun dalam suka maupun duka. Aku tak bisa membayangkan betapa kecewanya mereka ketika aku hanya bersikap pasrah terhadap kenyataan. Tapi aku yakin selama kejujuran masih tergenggam erat di hatiku, Tuhan akan memberikan jalan untukku. Aku dengar kamu sudah jadian? Tapi kuurungkan diriku untuk bertanya hal tersebut. Itu adalah privasi. Aku tak akan bertanya sebelum lelaki tinggi berambut ikal itu menceritakan sendiri padaku. Toh dia hanya sahabatku yang sudah kuanggap sebagai kakak sendiri karena sikapnya yang dewasa.

Teman akrabku itu masuk jurusan Kedokteran. Jurusan yang dulu sempat aku impikan. Aku selalu memanggil sahabatku itu Pak Dokter. Hubunganku dengannya selama ini hanya sebatas sms (short message service). Pribadinya yang sederhana membuatku merasa nyaman berada di dekatnya, meskipun ia anak orang berada.

Surabaya, aku datang
Di Surabaya suamiku mengajak aku pergi ke pasar dan memborong semua peralatan rumah tangga. Sungguh tak pernah kukira jika suamiku ini telah hidup mandiri selama beberapa tahun. Pekerjaannya memang bukan kantoran karena pada saat itu pegawai negeri hanya bergaji kecil. Suamiku seorang wiraswasta yang berhasil, ia seorang penjual jamu keliling. Tiap hari ia memperoleh penghasilan yang lebih dari cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Rumah yang ia punya pun begitu megah, rumah dua tingkat dengan fondasi yang kuat dan dinding yang kokoh. Jika dibandingkan dengan rumah milik tetangga rumah suamikulah yang terbaik.

Aku begitu dimanja oleh suamiku. Hingga aku tidak pernah merasa menyesal menjual semua perhiasanku demi biaya pernikahan. Tentu saja orang tuaku tidak mampu membiayai biaya pernikahan kami. Pada tahun 1985 aku hamil namun janin di tubuhku ini tak bertahan lama. Aku keguguran. Tapi Allah pun menggantinya, Ibu mengandung dirimu anakku. Cobaan pertama datang sebelum dirimu terlahir di dunia. Kakak laki-laki Bapakmu meminjam sejumlah uang untuk membeli bangunan disamping rumahnya. Rencananya bangunan itu akan dijadikannya kos-kosan. Dia berjanji akan mengembalikan pinjaman itu ketika kamu lahir. Pada awal tahun 1987 dirimu lahir dengan sehat dan selamat. Di akte kelahiran namamu Eka Sulistiyowati. Dulu kamu pernah bertanya apa arti namamu. Eka adalah satu tapi untuk nama belakang Ibu tak tahu sama sekali apa artinya. Nama itu diberikan oleh tetangga karena saat itu kondisi Ibu kritis pasca operasi. Pada tahun itu pula Pakdhe, bapaknya Bapakmu meninggal dunia.

Kamu tumbuh menjadi bayi yang sangat sehat. Aku selalu memberimu ASI dan setelah agak besar Ibu membuatkanmu bubur tim yang sehat. Bubur yang kamu makan bukanlah produk dari makanan bayi yang saat itu sudah tersedia di toko-toko. Ibu khusus membuatkannya untukmu. Bubur itu tediri atas nasi tim dengan wortel, kaldu daging serta hati yang sudah lumat. Hidup Ibu sehari-hari hanya untuk menjaga dan memberimu makan. Bapakmulah yang mencuci pakaian, mencuci piring bahkan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya. Waktu tidur Bapakmu berkurang drastis sejak kelahiranmu. Kakek dan nenekmu hanya berkunjung sebentar, bahkan mereka terlihat tidak begitu peduli akan kelahiranmu. Oh ya mengenai kakak laki-laki Bapakmu itu tak menepati janjinya, ia tidak membayar pinjaman yang tempo hari digunakan untuk membeli bangunan di samping rumahnya.

Perlu Ibu jelaskan sedikit tentang keluarga Bapakmu. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Anak pertama, kedua, ketiga, keempat adalah laki-laki. Sedangkan anak paling bungsu adalah perempuan. Anak kedua meninggal saat ia masih bujangan. Ketiga anak laki-laki yang tersisa mencari kehidupan di Surabaya. Sedangkan anak perempuan masih ikut dengan Mbok dan Pakdhe di desa Balung Panggang, kabupaten Gresik Jawa Timur. Bapakmu adalah anak yang terakhir menikah di keluarganya, ini berarti masa bujangnya lebih lama dibanding yang lain.

Selama Ibu mengurus dirimu untuk urusan masak memasak dikerjakan oleh bulekmu, istri adik laki-laki Bapakmu. Waktu itu ia memang sudah punya dua orang anak perempuan. Anak pertamanya berusia sekitar tujuh tahun dan anak keduanya berusia sekitar tiga tahun. Kami memang tinggal satu kampung jadi ia dengan uang pemberian Bapakmu membeli segala bahan baku untuk masak-memasak.

Cobaan dalam kehidupan berumah tangga sudah pasti ada. Sekalipun Ibu merasa apa yang Allah berikan ini terlalu baik untuk gadis miskin seperti Ibu. Semua saudara Bapakmu suka meminta uang. Paklikmu sering minta uang untuk berjudi. Pekerjaannya cukup banyak menghasilkan uang yaitu menjadi penjual roti keliling, tapi uangnya selalu habis di meja judi dan mabuk-mabukkan. Pakdhemu sering minta uang untuk mengurusi keempat anaknya. Dia memiliki empat anak. Anak pertama dan keempatnya adalah laki-laki. Sedangkan anak kedua dan ketiganya adalah perempuan. Anaknya yang bungsu berbeda usia sekitar satu tahun di atasmu. Sebagai penjual soto, pakdhemu selalu merasa kekurangan dalam hidupnya. Ia selalu mengeluhkan biaya hidup keempat anaknya. Karena Bapakmu masih punya satu anak maka Bapakmulah tumpuan kekurangan hidupnya. Bulekmu yang berada di desa punya seorang anak perempuan yang usianya empat tahun di atasmu. Ia tak begitu banyak meminta kala itu. Tapi si Mbok, Ibu kandung Bapakmu seringkali minta uang pada Bapakmu. Terkadang uang itu digunakannya untuk membantu keuangan Pakdhe dan Paklikmu. Orangtua itu berpikir bahwa perhatian ke saudara itu lebih penting dibandingkan istri yang notabene adalah anak orang lain.

Dirimu tumbuh menjadi balita yang cerdas namun tak semua orang mau mengakuinya. Seringkali dirimu dicemooh. Memang rambut di kepalamu tak juga tumbuh sampai berusia dua tahun tapi Ibu tak henti-hentinya mengoleskan kepalamu dengan lidah buaya. Apalagi ukuran dahimu yang lebar, istilahnya nonong. Ibu selalu mengajarimu doa-doa sholat, makan, wudhu, baca turutan, membaca dan menyanyi. Kemampuan menerima ilmumu luar biasa. Dalam usia lima tahun kamu sudah bisa membaca koran, membaca juz A’mma, bernyanyi berbagai lagu anak-anak maupun dangdut, hafal doa-doa yang Ibu ajarkan, serta bisa menulis dengan lancar bahkan sudah bisa menulis latin. Kamu juga sudah pandai berhitung baik penjumlahan, pengurangan maupun perkalian.

Kamu tumbuh sebagai anak yang lincah. Ibu tidak pernah sedetikpun jauh darimu sebelum akhirnya pada 7 Mei 1992 Ibu melahirkan bayi laki-laki yaitu adikmu. Kelahiran adikmu ini bertepatan dengan satu tahun meninggalnya bapaknya Ibu. Masih juga Ibu menjalani operasi ketika melahirkan adikmu karena pinggul Ibu terlalu sempit untuk melahirkan secara normal. Ibu menitipkanmu pada tetangga dan bulekmu. Kamu juga mulai berangkat sekolah TK bersama teman-temanmu. Sungguh sebenarnya Ibu sangat rindu denganmu, Ibu ingin mendengar cerita-cerita yang sering kau sampaikan saat pulang sekolah. Tapi rupanya adikmu terserang penyakit muntaber sehingga harus mendapat perawatan cukup lama di rumah sakit. Ibu sangat khawatir akan kondisi adikmu. Sampai-sampai Ibu tak begitu bereaksi ketika kamu menceritakan hari-harimu pada Ibu. Kelahiran adikmu adalah awal dirimu mengenal nasi. Sebelumnya kamu tidak pernah bisa makan nasi. Ibu selalu membuatkanmu kacang hijau, agar-agar, hati ayam dan telur ayam kampung setengah matang untuk makananmu. Tentu saja cuma itu yang bisa masuk di dalam lambungmu. Jika ada makanan selain itu kamu akan muntah. Entah itu merupakan suatu penyakit atau karena kebiasaanku memanjakanmu. Dengan penghasilan Bapakmu yang cukup lumayan kamu selalu mendapatkan perawatan yang terbaik. Jika sakit kamu tidak akan sembuh sebelum dibawa ke dokter spesialis anak.

Banyak hal yang sering kau keluhkan tentang sikap kakek nenek kepadamu. Sikap mereka yang memanjakan saudara sepupumu membuat dirimu iri tapi Ibu selalu meyakinkanmu bahwa sebenarnya mereka juga sayang padamu. Seolah kamu mengerti apa yang tengah terjadi pada keluarga kita, kamu tak pernah menaruh rasa suka pada saudara Bapakmu. Ibu pikir kamu masih terlalu muda untuk mengetahui segalanya namun seiring berjalannya waktu Ibu tahu bahwa kamu memang benar-benar tahu apa yang terjadi. Bapakmu memang kasar, dia sering memukul Ibu. Sebenarnya bukan salah Ibu sepenuhnya. Ibu hanya mengingatkan Bapakmu supaya tidak menghambur-hamburkan uang pada saudara-saudaranya. Memang saat itu kebutuhan keluarga masih kecil tapi bukankah seiring bertambahnya usiamu kebutuhan itu akan semakin membesar.

Sebelum adikmu lahir Ibu juga mengalami cobaan dan hampir saja nyawa Bapakmu melayang. Waktu itu kami sedang butuh uang. Bapakmu bersedia menjadi kuli bangunan namun ketika ia memasang batu bata ada satu yang terjatuh dan mengenai kepala seorang perempuan. Kepala perempuan itu berdarah-darah. Suaminya yang merupakan orang Madura pun mengejar Bapakmu sambil membawa berang. Tentu saja Bapakmu lari sekuat tenaga menuju kantor polisi yang letaknya sekitar 300 meter dari tempat kejadian. Beruntung amarah laki-laki itu bisa diredam oleh polisi. Tentu saja dengan perundingan yang cukup lama dari kedua belah pihak. Dan setelah mendapat upah dari kuli bangunan, uang itu dipinjam oleh Pakdhemu. Sungguh Ibu tak bermaksud membuatmu membenci Pakdhemu, Ibu hanya ingin menunjukkan bahwa hidup di dunia penuh dengan cobaan.

” Ibu, aku pingin beli cincin. ” kataku merengek pada Ibu. Saat itu usiaku sekitar delapan tahun. Aku sudah memiliki uang tabungan sendiri. Maklum aku tak pernah jajan seperti kebanyakan teman-temanku. Sebenarnya banyak hal yang berbeda antara aku dan teman-temanku. Dulu waktu TK aku anti dengan karnaval, menurutku karnaval adalah tindakan yang bodoh. Kita sudah dandan cantik-cantik tapi harus berjalan dari stasiun radio RRI ke Taman Remaja Surabaya. Apalagi dilihat oleh banyak orang di jalanan. Oleh karena itu,aku lebih sering tampil di panggung. Penampilan yang sebentar tapi mampu menarik perhatian dan kekaguman orang-orang. Untuk urusan kemampuan belajarku tak diragukan lagi. Bahkan dulu guru TK menyarankan agar aku langsung melanjutkan pendidikan ke SD tidak perlu naik kelas nol besar. Rupanya orngtuaku yang sibuk dengan kelahiran adikku tak begitu memperhatikan saran guru TK. Lagipula mereka berpikir bahwa aku masih cengeng untuk menjadi anak SD.
” Ya entar beli sama Embok. ” kata Ibu. Aku memanggil Ibu dari Bapakku dengan sebutan Embok.
Di sinilah awal mulanya aku mendapat bukti bahwa si Mbok tidak pernah sayang padaku. Aku dan kedua anak paklikku diajak ke sebuah toko perhiasan di pasar Tambak Rejo. Di sini aku memilih cincin yang aku sukai, cincin bergambar mickey mouse namun Mbok memberiku cincin bayi. Ia berusaha menjelaskan padaku bahwa aku belum pantas menggunakan cincin yang kupilih. Sementara itu, kedua sepupuku dibelikan anting yang mereka inginkan. Satu kenyataan yang pahit adalah aku membeli cincin itu dengan uang tabunganku dan sebenarnya itu masih bersisa hanya saja uang sisa itu masuk ke kantong si Mbok. Dan sepupuku itu murni dibelikan memakai uang Mbok sendiri.

Perjuangan Ibu demi dirimu
Bapakmu memang perangainya kasar. Setelah memberikan sejumlah uang pada saudara-saudaranya, emosinya meluap. Tak jarang Ibu terkena sasaran amarahnya. Pernah suatu ketika ia menutup rumah dari dalam. Sementara Ibu menggendong adikmu dan memegang tanganmu di luar rumah. Kamu mungkin bertanya-tanya ada apa sebenarnya. Tapi kamu hanya diam dan menyimpan pertanyaanmu itu di dalam hati. Hal-hal itulah yang Bapakmu lakukan ketika emosi.

Saat kamu menginjak kelas enam SD kamu ingin mengikuti bimbel di luar sekolah. Waktu itu biayanya 300 ribu, jumlah yang tidak sedikit. Bapakmu menolak mentah-mentah. Ketika Ibu mengingatkan berapa banyak uang yang dikeluarkan olehnya demi saudara-saudaranya itu, dia begitu marah. Akhirnya dengan uang hasil jerih payah Ibu kamu bisa ikut lembaga bimbingan Primagama. Saat itu Ibu memang sudah lebih dari setahun mengkreditkan pakaian pada teman-teman Ibu. Usaha yang dimodali pas-pasan oleh Bapakmu ini kerap kali menimbulkan konflik namun Ibu dengan gigih mempertahankan pekerjaan ini. Sebenarnya waktu masih kecil kamu juga minta les ini itu. Pernah kamu minta les menari, les bahasa asing, atau les sempoa. Tapi maaf Ibu tak bisa memenuhi keinginanmu.

Harapan yang kamu miliki terlalu tinggi Anakku. Kamu ingin masuk di SMP paling favorit di Surabaya. Ibu dengar biaya untuk masuk ke sana jutaan. Bahkan guru SD-mu menyarankan untuk masuk SMP yang lain. Keinginanmu seolah tak terbantahkan, nilaimu sangat cukup untuk masuk SMP terfavorit tersebut. Kamu tak ingin mundur atau berapaling. Akhirnya kamu bisa masuk SMP itu. Ada perubahan mimik setiap kali kamu pulang dari sekolah. Kamu selalu bertanya mengapa kamu merasa tidak nyaman berada di sekolah tempat anak orang kaya. Teman-temanmu selalu dijemput dengan mobil atau sepeda motor tapi kamu dijemput Bapakmu menggunakan sepeda ontel. Mungkin kamu sempat merasa kecewa saat itu. Tapi entah mengapa pada tahun kedua berada di sana kamu bisa berterus terang pada teman-temanmu mengenai kondisi ekonomi keluargamu. Jelas Ibu bangga padamu apalagi nilai-nilai kamu yang terus menanjak naik. Ibu yakin namamu mampu menjadi legenda di sana. Seorang anak penjual jamu yang berjuang demi masa depan.

Kondisi ekonomi keluarga makin membaik. Memang penjualan jamu yang telah menetap di sebelah rumah paklikmu sejak dirimu lahir itu mengalami penurunan. Tapi usaha pengkreditan pakaian, dan penjualan es lilin meningkat drastis. Ibu semakin bisa mengembangkan sayap. Bahkan khusus menjelang hari lebaran Ibu panen uang dari hasil penjualan makanan kering. Ibu juga ikut sebuah MLM (multi level marketing) yang cukup ternama, CNI. Ibu mendapat angka penjualan produk-produk CNI cukup tinggi untuk ukuran distributor baru. Oh ya pada saat kamu menginjak SMP, si Mbok meninggal. Segalanya berubah setelah meninggalnya orang yang paling dicintai Bapakmu itu. Saudara-saudara Bapakmu tak sesering dulu mengganggu kami. Akibatnya kehidupan keluarga kita berangsur-angsur menjadi tenang.

Menjelang lulus SMP kamu sempat minta persetujuan Ibu untuk melanjutkannya ke luar negeri tapi Ibu tidak setuju. Lalu kamu menginginkan sekolah di Taruna Nusantara Magelang, sekolah itu memiliki asrama dan keseluruhannya dibiayai oleh sebuah yayasan. Itu juga Ibu tidak setuju. Menurut Ibu selama masih ada sekolah yang baik di Surabaya kamu tak perlu repot-repot pergi ke luar kota. Ibu memilihkanmu SMA lima, salah satu SMA favorit di Surabaya. Dengan prestasimu yang luar biasa saat SMA tentunya kamu bisa dengan mudah menjadi salah satu siswa SMA lima Surabaya. Kamu mendapat NEM (nilai ebtanas murni) 48,37 yang merupakan peringkat 9 di SMPN 1 dan peringkat 18 penerimaan siswa SMA 5. Satu lagi permintaanmu atas penolakan permintaanmu untuk sekolah di luar Surabaya yaitu kelas Akselerasi. Kelas itu dikhususkan untuk anak-anak yang memiliki prestasi dan ingin menyelesaikan SMA dalam waktu 2 tahun. Setelah melewati Psikotest (IQ dan EQ), dan tes akademik akhirnya kamu menjadi salah satu dari 23 siswa akselerasi.

Hal yang menyulitkan adalah semangat kerja Bapakmu menurun. Apalagi biaya sekolahmu sangat tinggi yaitu 175 ribu per bulan hanya untuk biaya SPP, belum adikmu yang menginjak kelas lima SD. Pada tahun kedua kamu SMA beban Ibu bertambah lagi, kamu dan adikmu akan lulus bersamaan. Adikmu akan melanjutkan ke SMP dan kamu pastinya tak akan berhenti sampai SMA. Bapakmu sudah tak bekerja. Waktu itu Ibu memperluas pekerjaan Ibu yaitu dengan berdagang nasi lele, nasi tempe, bihun, dan nasi goreng yang dititipkan di kantin sekolah adikmu. Tak jarang Ibu membuat lontong lodeh, sate Cecek untuk dijual sendiri. Bisnis CNI sudah tidak Ibu lanjutkan karena Bapakmu tidak ingin melihat Ibu pulang malam dari acara training. Layaknya orang yang membuka warung Ibu jarang tidur waktu malam. Ibu harus membeli sayur, ikan lele, tempe dan segala yang dibutuhkan sebelum adzan Subuh berkumandang. Kamu mungkin sudah melihat sendiri perjuangan Ibu demi dirimu dan adikmu.

Tahun 2004, adikmu masuk SMP negeri yang terletak dekat rumah. Karena sikapnya yang pemalas ia tidak bisa masuk SMP terfavorit seperti dirimu. Tapi Ibu tahu pasti kemampuan berpikirmu dan adikmu tidak jauh berbeda. Kalian mendapat asupan gizi yang cukup saat balita. Dirimu lulus PMdK Reguler jurusan Teknik Mesin ITS. Jujur sebenarnya Ibu tidak terlalu mengerti tentang perkuliahan. Ibu hanya lulusan kelas 3 SD dan Bapakmu lulusan kelas 6 SD. Ibu juga tidak mengerti mengapa kamu memilih jurusan itu. Kamu bilang itu jurusan paling bagus yang ditawarkan program PMdK (penelusuran minat dan ketrampilan) ITS. Tentu saja Ibu selalu percaya pada setiap perkataanmu karena kejujuran selalu Ibu tanamkan pada anak-anak Ibu. Tapi Ibu berpikir ada tujuan lain mengapa kamu memilih jurusan yang hanya memiliki sedikit mahasiswi tersebut.

Aku sering melihat kepura-puraan di mata Ibu. Aku tahu Ibu tidak ingin melihatku menangis untuknya. Bahkan di kala aku sakit Ibu selalu mengatakan Andai saja sakit itu bisa dipindahkan pasti Ibu rela mengganti rasa sakitmu itu. Itulah pengorbanan seorang Ibu yang tiada pernah berakhir. Apalagi semenjak Bapak tidak bekerja kehidupan keluarga bergantung sepenuhnya pada Ibu. Ibu tak pernah mengeluh dan menampakkan sedihnya padaku. Tapi aku tahu hatinya berduka. Kini ia harus bekerja keras supaya aku dan adikku bisa terus melanjutkan sekolah. Itu semua demi masa depan kami sendiri. Ibu tak ingin kelak ada penyesalan susahnya menanggung kebutuhan hidup hanya karena tidak berpendidikan.

Aku terkadang berpikir mampukah diriku berjuang seperti Ibu yang dari kecil berusaha mencari makan dan kehidupan sendiri. Memang di mata orang kehidupan keluarga kami sangat harmonis. Apalagi melihat sekolahku dan adikku berhasil. Orang akan iri hati melihat ketentraman dan ketenangan keluarga kami. Mungkin sikap sederhana yang ditanamkan Ibu sejak masih kecil ini membuatku berbeda dengan anak-anak seusiaku. Mereka suka shopping, perawatan ke salon bahkan jalan-jalan dengan lawan jenis yang tak tahu entah kemana. Keluargaku sangat memegang teguh Islam. Meskipun sebelum kematian si Mbok Bapak tak pernah berpuasa dan sholat, namun kini ia sudah mulai meng-Islamkan diri.

Saat ini merupakan saat yang istimewa bagi keluarga kami. Aku akan diwisuda. Perjuangan Ibu tidaklah sia-sia. Sekarang aku sudah memasuki tahapan terpenting dalam hidupku yaitu kedewasaan secara lahir dan batin. Selalu aku berdoa semoga Tuhan memberi jalan yang terbaik untukku.

Ibundaku tercinta tak banyak kata yang mampu aku ucapkan. Terlalu banyak kasihmu mengiringi perjalanan hidupku. Kau bagaikan sinar mentari yang takkan mengharap apapun atas cahayamu. Aku sangat kagum atas ketegaranmu. Airmatamu tak akan terbuang sia-sia. Aku akan menjadi cahaya dalam kehidupan ini. Aku akan berusaha menjadi seperti namaku Eka Sulistiyowati, seorang wanita yang cantik dan baik hati. Terimakasih atas segalanya Ibu, semoga doamu terus mengiringi langkahku. Amin.

Ditulis oleh Ananda tercinta
Eka Sulistiyowati.

Tuhan yang Tahu Ku Cinta Kau


Tia menutup pintu kamarnya. Entah mengapa hatinya demikian gundah. Ia menatap cermin yang memantulkan bayangan dirinya. Seorang gadis berjilbab hijau yang kian menatap sendu. Adakah yang membuat hatinya demikian terluka?
Masih dipandanginya wajah sendu itu, apakah ia telah jatuh cinta dan tak mampu melepas ikatan cinta dalam hatinya? Apakah cinta ini yang menjadikannya alasan untuk bertahan? Lalu mengapa mesti tumbuh cinta dalam lubuk hatinya. Bukankah Tuhan tahu rasa cinta di hati Tia itu terlalu tulus, lalu mengapa rasa itu mesti ada?

Pagi itu tanpa sengaja ia bertemu dengan seseorang yang dijumpainya sebulan lalu. Seseorang yang mampu membuatnya tersenyum sekaligus menangis. Tersenyum karena dari awal lelaki itu memberi harapan untuk tinggal tak jauh dari keluarganya. Menangis karena saat ini telah tumbuh cinta dalam hatinya. Lelaki itu bernama Anggono Rahmansyah. Saat ini lelaki itu sedang berbicara dengan atasannya yaitu Adi Bagus Dharma. Entah mengapa di tengah pembicaraan mereka berdua, Anggono menatap Tia.
”Bagaimana Mbak, apa Mbak Tia berminat untuk pindah kantor ke Gresik?” tanya Anggono seraya tersenyum pada Tia.

=======

Adi Bagus Dharma, adalah general manager unit pemeliharaan wilayah Barat, tempat Tia bekerja. Kota yang dulu sangat Tia benci yaitu Jakarta. Kota yang tak lepas dari kata macet dan kerusuhan. Sedangkan Anggono Rahmansyah adalah general manager unit pemeliharaan wilayah timur yang bertempat di kota Gresik Jawa Timur. Tia bertemu dengan Anggono pada acara rapat perusahaan yang saat itu diselenggarakan di Bandung.

Lelaki berkacamata itu tersenyum menatap Tia, sementara Tia hanya menganggukkan kepala sebagai tanda penghormatan pada atasannya.
”Selamat datang di Bandung Bapak Anggono” sapa Adi seraya menyalami Anggono dan Anggono membalasnya.
”Kok saya baru lihat Mbak?” tanya Anggono yang melihat Tia berada di samping Adi.
”Saya masih magang Pak” jawab Tia
”Bagaimana jika dia jadi pegawai saya” ucap lelaki berkacamata itu seraya menatap Tia. Tia jadi salah tingkah dibuatnya. Ya itulah salahsatu mimpinya dulu. Bekerja di wilayah timur tanpa harus berjauhan dengan keluarga. Keluarga Tia berada di Surabaya dan sekarang Tia bertugas di Jakarta Utara.
”Saya telah berpikir dan sedikit menimbang. Sebenarnya di kantor kami masih butuh banyak pegawai. Namun jika Hadistya menghendaki ya...silakan.” jawab Adi, General Manager tempat perusahaan Tia.
Terus terang ada bintang kebahagiaan tumbuh di hati Tia yang saat itu mendengar pembicaraan dua general manager tersebut.

Dari awal perjumpaan tampak di mata Anggono bahwa dia sangat menghargai kehadiran Tia, sekalipun saat itu Tia masih berstatus magang. Entah darimana rasa itu muncul menghadirkan sejuta tanya di hati Tia. Apakah ia kini memiliki arti dalam perusahaan tempat ia bekerja. Padahal dari awal telah ada benih-benih kebencian dari beberapa pihak di tempat ia bekerja.

=========
Angga menatap layar monitor laptop di hadapannya. Jemarinya mengetikkan angka-angka ajaib yang sangat penting bagi perusahaannya. Equivalent Availibility Factor, adalah angka ajaib yang sangat di sanjung di perusahaannya. Bahkan rapat antar general manager sebulan lalu khusus untuk membahas declare EAF.

Menghitung besarnya EAF sekaligus menganalisa efektivitas peralatan pada sistem pembangkitan adalah tugas utamanya dalam perusahaan. Sebagai perencana dan pengendali operasi sistem pembangkitan listrik. Dia bekerja khusus di sektor PLTGU, pembangkit listrik tenaga gas dan ua. Penggabungan antara siklus rankine dan brayton.

Ponselnya bergetar. Telpon dari Ibu.
”Assalamualaikum Bu...”
”Waalaikumsalam Le, piye kabare?”
”Sae-sae kemawon Bu, Ibu kalian Bapak supados pundi kabaripun?”
”Alhamdulillah sehat Le”
”Adek Mirsa kalian Dek Alfian sae sekolahipun?”
”Yo Le, adekmu kuwi rajin kok sekolahe”
”Alhamdulillah menawi kados mekaten”
”Kok wis suwe ora mulih nang Solo, sibuk tha Le?”
”Mboten Bu”
”Opo tha ora wani polahe dhek wingi ditaksir anake lurah?”
”Dheweke taksih alit lho Bu”
”Wong bedo mung limang tahun Le, yo ora cah cilik maneh kuwi jenenge”
”Inggih Bu, namung...”
”Yo wes, Ibu ora mekso. Ibu namung ngelingno kowe, wes wolu lekor lho Le...”
”Ibu wes kepingin nggadah putu nggih?”
”Lha iyo, wes pinter ngunu Le...”
”Insya Allah Bu, menawi Allah maringi jodoh kula bakal sanjang kalian Ibu”
”Lha kuwi jodoh ora mung meneng wae, digoleki tha Le”
”Inggih Bu, insya Allah”
”Lha ning panggon kerjomu ora ono tha Le?”
”Taksih dereng wonten Bu”
”Lha kuwi jarene ono cah magang, opo yo wes diangkat dadi pegawai?”
”Lare kuwi tha Bu? Dheweke inggih taksih alit, benten gangsal tahun kalian kula”
”Lah iku ora cilik Le...wes ndang dilamar bae...”
”Dos pundi tha Bu, kula mboten tresno kalian Tia”
”Lah kuwi jenenge wae kowe apal, wes ndang dilamar gih”
”Kula mboten tresno, Bu”
”Sing penting dheweke tresno marang kowe, Le...”
”Kula pikir rumiyin nggih Bu...”
”Yo...insya Allah yen dheweke sayang marang kowe iku bakal setia terus”
”Menawi kula mboten saged tresno?”
”Tresno kuwi jalaran Allah. Lek dalanmu kuwi becik insya Allah tresno kuwi timbul dhewe. Lan biso dadi keluarga sing sakinah mawadah warahmah”
”Kados mekaten nggih Bu?”
”Iyo Le...”
”Bapakmu biyen yo kaya kuwi, ora wani kawin”
”Kula mboten ajre Bu, namung...”
”Yo pada wae kuwi jenenge, ora usah alasan”
”Kula tahajud rumiyin kemawon nggih Bu”
”Yo wes. Mugi-mugi Allah maringi kowe isteri shalihah Le...”
”Amin ya Rabbal Alamin”
”Ya wes Le, saiki lapo kowe?”
”Niki Bu, wonten tugas kantor kagem rapat mbenjing senin”
”Dino Sabtu kok isih kerjo tha Le...mengko yen wes duwe bojo lak ora kaya ngene...”
”Mboten kados mekaten punopo tha? Ibu niki saged kemawon”
”Lah iyo awakmu kuwi sibuk kerjo terus”
”Inggih Bu, insya Allah”
”Ndang kawin, Ibu iki pingin nggendong putu”
”Inggih Bu”
”Wes nyarap? aja lali mangan kowe Le..”
”Inggih Bu”
”Assalamualaikum”
”Waalaikumsalam warahmatullahi wabrakatuh”
”Barakallahu fik”
”Amin, insya Allah”

Masih ditatapnya layar monitor laptopnya. Ditutupnya sheet microsoft excell 2007 lalu menancapkan modemnya, activate internet. Di doble klik mozilla.
www.facebook.com
search : Hadistya Rahmawati
Segera gambar kartun wanita berhijab muncul.
Dibacanya profil milik Tia, dilihatnya wall facebook wanita itu. Rupanya telah lama wanita itu tidak meng-update status.

Setelah membaca profil Tia, ia membuka profilnya.
Seorang teman kuliah menulis di wall-nya.
’Kowe saiki ora karo Ayudya maneh tho?’
Tapi ia tidak berminat memberikan komentar. Ayudya adalah mantan pacarnya. Wanita cantik jelita yang jadi pujaan sekian banyak lelaki kini tak lagi bersamanya. Bahkan jika melihat foto Ayudya di album facebook, akan tampak beberapa phose mesra sang mantan dengan pacar barunya.

Ayudya tentu saja gadis yang amat sangat menarik. Cantik dan selera humornya tinggi. Mahasiswi komunikasi ini sangat bisa membuat orang lain terpikat hanya dalam hitungan detik. Nah ini yang membedakan seorang Ayudya dengan Hadistya.

Hanya ada satu kata untuk menggambarkan kepribadian seorang Tia yaitu SIMPLE. Wanita ini cenderung tidak peduli pada penampilan. Namun cara berpikirnya logis, pantaslah dia masuk jurusan teknik. Padahal jurusan teknik itu cenderung diminati kaum Adam. Nah sekalipun Tia bukan gadis semenarik Ayudya, teman prianya sangat banyak. Bahkan dia bekerja di area pekerjaan pria.

Mungkin naluri sebagai lelaki akan memilih Ayudya sebagai pasangan hidup. Membayangkan bodinya saja tidak membuat bosan. Tapi apa yang dibutuhkan anak-anakku pada nantinya adalah ibu yang penuh kasih sayang. Bukan isteri yang terus menerus menghabiskan uang suami untuk shopping serta perawatan kecantikan. Bukan pula ibu yang pulang malam atau sering menginap di tempat lain karena tuntutan karir. Sungguh pilihan yang sangat sulit.

Ya Rabb, tunjukkan jalan yang Kau ridhai untukku....

========
Tia masih menatap message dari sahabat di Surabaya. Sahabatnya akan merantau di Jakarta sebagai seorang guru di sekolah swasta. Dan kini sahabatnya itu menulis message yang meresahkan hatinya. Sahabatnya menawarkan diri untuk menjadi pendamping hidupnya. Sebenarnya Tia telah menduga dari awal, karena semua itu terlihat dari sikap dan tatapan matanya. Tapi...

Berulang kali Tia menghapus message yang telah ditulisnya untuk Haris. Bagaimana ia harus bersikap, ia benar-benar tidak tahu. Tia ingin menikah dalam waktu dekat, namun selama ini hatinya sering mengucap satu nama yaitu Angga. Lelaki yang di mata Tia sangat dewasa ini menarik perhatian Tia. Apalagi mereka satu jurusan teknik, mereka mempelajari hal yang sama. Ini memudahkan komunikasi antara Tia dan Angga. Memang akhir-akhir ini Tia lebih banyak meluangkan waktu di Bekasi, walaupun kantornya di Jakarta Utara. Dan itulah yang membuat pertemuan antara Tia dan Angga terbilang sangat jarang.

Ketika Tia menghadapi ujian pengangkatan pegawai ia bertemu dengan Angga. Di sana Tia tampak canggung dan grogi sementara Angga memberinya semangat serta meyakinkan bahwa Tia mampu menghadapi ujian tersebut. Betapa Tia tidak terpesona oleh sikapnya yang santun dan dewasa?

Bagaimana jika Haris mengatakan kembali kesediaannya untuk mendampingi hidup Tia. Bukankah diantara teman-temannya hanya ia yang berstatus SINGLE. Memang dia sangat menghindari yang namanya pacaran. Bukankah hal itu dilarang agama karena mendekati zina? Meskipun Tia bukanlah muslimah yang kolot namun dia menjunjung nilai-nilai kandungan ayat Al Qur’an. Dan Tia sangat percaya keajaiban. Seperti pertemuannya dengan lelaki shalih bernama Angga.

Pertemuan-pertemuan dan sapa kecil ketika berada di tempat pengajian sangat membuat hati Tia berbunga-bunga. Bukankah lelaki yang selama ini Tia cari ada dalam diri Angga. Lalu mengapa Allah belum juga menunjukkan jalan, apakah Angga kelak menjadi jodoh dalam hidupnya. Tiap malam ia berdoa semoga segera ada jawaban atas perasaan hatinya. Tia merasa bersalah jika ada cinta lain di hatinya selain cinta pada Allah serta Rasulullah. Dan saat ini justru dia malah dihadapkan pada pilihan yang sulit. Menerima tawaran nikah dari sahabat yang telah ia kenal dan menyayanginya atau menunggu jawaban dari Allah atas rasa hatinya pada Angga. Seandainya ia bisa jujur maka ia mengatakan bahwa ia bersedia mendampingi hidup lelaki yang terkenal keshalihannya seperti Angga.

Illahi syafarat yadayya fatrubhuma....
Hujan mngguyur cukup deras, namun bukan karena itu Tia tidak meneruskan tidurnya. Biasanya usai tahajud ia kembali meneruskan tidurnya. Tapi kali ini perasaannya sangat terganggu. Bukankah semua jalan telah terbuka untuknya, tapi mengapa sang jodoh belum juga hadir. Apakah Haris yang menjadi jodoh di dalam Lauhul Mahfud-Nya. Lalu mengapa ia tidak dapat menghapus perasaannya pada Angga?

Ia membaca perlahan surat Ar-Rahman. Hatinya bergetar hebat. Tangis menghiasi matanya yang sedu. Fa biayyi alaa irabbikuma tukadzibaaan..
Bergegas ia mengambil wudlu kembali usai menamatkan bacaan tartilnya. Ia tak ingin hatinya terus berduka.

Ya Rabb, tunjukkan jalan yang harus hamba tempuh.....

===========
”Gile abis nih, anak magang yang baru rencana diangkat pegawai bulan depan udah bisa pindah ke wilayah timur” oceh Bram.
”Pagi-pagi sudah mengoceh ria begitu. Jangan lupa entar rapat Combustion Inspection GT 1.1 loh di gedung sebelah” tegur Angga.
”Busyet dah, hebat kali ya tuh anak magang” omel Bram tanpa mengacuhkan perkataan teman satu kantornya, Angga.
”Memangnya siapa? Kok bisa? Bukannya harus nunggu lima tahun ya?”
”Ya itu kan aturannya. Masalahnya Mister Anggono tuh yang narik langsung.”
”General manager pemeliharaan wilayah timur?”
”Yup...tapi anehnya nih anak magang malah nolak”
”Memangnya daerah asal anak magang ini di mana? Jangan-jangan rumahnya Bandung kan wajar kalau dia nolak”
”Asalnya Surabaya, justru itu yang aneh. Kan enak tuh biaya hidup di Gresik murah dan dekat lagi sama keluarga. Dasar anak yang aneh...”
”Hadistya?”
”Iya, tuh nama nak magang yang aneh”
”Kok bisa ya?”
”Maksudnya?”
Bram menatap temannya yang lagi gusar.
Angga segera mengambil buku agendanya dan berjalan menjauh dari Bram,
”Kemana?” tanya Bram heran.
”Gedung sebelah” jawab Angga.
”Buat rapat? Kan masih kurang lima belas menit?”
”Buat ketemu sama Tia”
Bram mengernyitkan dahi. Wah ada yang tidak beres rupanya.

Entah mengapa langkah kaki Angga begitu mudah. Ia tidak mengerti apa yang akan dia lakukan. Tapi dia merasa harus bertemu dengan Tia.

Aku bisa merasakan kehadirannya.
Namun ketika dia menghampiri, aku tak mengerti.
Benarkah dia yang dikirim oleh-Nya.
Atau hanya perasaan sesaat saja.
Ya Rabb, seandainya aku harus mencintai.
Biarkan cinta itu mengalir karena-Mu.
Sebab hatiku akan rapuh tanpa-Mu.
Sebab ku tak mampu melangkah tanpa ridha-Mu.
Sisipkan selalu kasih-Mu dalam sukmaku.
Ya Rabb, jangan biarkan aku menjauh dari jalan-Mu.
Izinkan aku menjalani hidup ini hanya karena-Mu.
Seandainya aku harus mencintai.
Aku hanya ingin atas ridha-Mu.


Jakarta, 19 Juni 2010
Ditulis oleh : Eka S