Lama sudah aku tidak berjumpa dengannya. Wanita yang tiga
belas tahun lalu sempat mendiami relung hatiku. Menciptakan berbagai kisah
indah dalam kehidupanku yang datar. Aku ragu apakah perjumpaan kali ini bisa sehangat
pertemananku belasan tahun lalu. Aku ragu apakah aku mampu menyembunyikan rasa
bersalahku padanya. Karena sesungguhnya aku yang telah meninggalkannya. Aku tak
tahu seberapa besar rasa kecewanya saat itu. Yang aku tahu dimana hari
pernikahanku wanita itu datang dan member ucapan selamat padaku. Entah mengapa
justru malah hatiku yang terluka. Mungkinkah sebenarnya wanita itu juga
mencintaiku sama seperti aku mencintainya.
“Assalamualaikum….” Sapa renyahnya. Entah mengapa suara itu
amat dekat denganku. Suara yang aku rindukan saat ini.
“Waalaikumus salam warahmatullah” jawabku.
Sejenak mata kami bertatapan. Ada rasa enggan dan rindu
bergelut dalam pikiranku. Tapi aku rasa semua itu sudah terlambat. Wanita itu
telah memiliki kehidupannya, akupun begitu. Aku memiliki dua orang anak, putri dan
putra. Wanita itupun sudah berkeluarga. Lalu mengapa aku masih belum bias mengendalikan
detak jantungku yang semakin tak menentu.
“Hai teman-teman. Maaf menunggu lama. Ini pertama kalinya
aku lebaran di Surabaya. Sebelumnya aku selalu lebaran di Semarang, tempat
kelahiran suami”
Aku tahu di sini tidak hanya kami berdua, namun ada empat
lagi teman sekelas ketika SMA dulu. Tapi entah mengapa hatiku malah hanya
memikirkan kami berdua.
“Hai Pram? Bagaimana kabar istri dan anak-anakmu?” tanyanya
memacah keheningan hatiku.
“Alhamdulillah sehat, kabar Riri sendiri?” tanyaku. Aneh juga
menyebut nama kesukaanya. Sebenarnya namanya Rista, tapi aku lebih suka
memanggilnya Riri.
“Alhamdulillah sehat. Pram ga berubah ya, awet muda”
pujinya.
Rista memang selalu ceplas-ceplos bicaranya. Tapi itulah
yang dulu membuatku jatuh hati kepadanya. Kepolosannya dan kejujurannya itu
tidak ada yang menandingi.
“Kamu juga tambah cantik” balasku.
“Wah kalau aku sudah chubby sekarang, maklum sudah jadi
mak-mak dengan dua orang anak” akunya.
Aku tersenyum mendengar celotehnya. Rista memang tidak
berubah. Hanya dengan mendengar suaranya aku sudah merasa nyaman.
“Ehem…” Yanti membuyarkan tatapan kami.
“Eh maaf, aku terpesona lagi nih sama Pram” jawab Rista asal
tapi malah melambungkan perasaanku. Memang bahaya jika reuni tanpa menyertakan
keluarga. Aku jadi tidak mampu menahan pandangan dan juga perasaan.
“Eeeaaa…kupikir kalian dulu itu pasangan paling serasi loh. Dimana
ada Rista disitu ada Pramana. Sifat kalian saling melengkapi. Rista yang
cerewet dengan Pramana yang kalem. Rista yang punya semangat tinggi sementara
Pramana yang bersifat let it flow. Tapi ternyata….Pramana nikah duluan”
Aku tersenyum kecut. Seandainya saja mereka tahu kondisiku
saat itu. Aku terjebak dalam satu kisah yang tidak mengenakkan. Terlalu banyak
fitnah tentangku. Seandainya saja aku menuruti kata-kata Rista, mungkin semua
tidak separah itu. Aku difitnah telah melakukan zina dengan wanita yang
kemudian menjadi istriku. Memang lambat laun aku mulai mencintai wanita itu,
apalagi telah lahir dari rahimnya dua anak darah dagingku sendiri. Tapi jika
mengingat lagi peristiwa yang menyakitkan itu, aku malah terkenang akan rasa
cintaku pada Rista. Cinta pertama yang aku rasakan semasa sekolah. Dengan kepolosan
yang kami miliki, kami saling melindungi meskipun tanpa ikatan pacaran. Dimana ada
aku, disitu ada Rista. Serasa dunia milik kami berdua. Aku sangat menikmati waktu
ketika bersamanya. Aku merasakan kenyamanan saat berbicara dengannya.
Sebenarnya ada yang ingin sekali aku tanyakan pada Rista. Pertanyaan
yang dari dulu kusimpan dalam hatiku. Apakah Rista pernah mencintaiku.
Mungkin sudah sangat terlambat menanyakan perihal tersebut. Istilahnya
basi, karena kini kami telah memiliki kehidupan rumah tangga masing-masing. Namun
sejak menatap senyumnya kali ini, keinginan untuk menanyakan hal itu meluap-luap dalam hatiku.
“Jodoh itu hak mutlaknya Allah, Yanti. Kita mungkin pernah
mencintai orang lain, tapi toh Allah akhirnya mempertemukan kita dengan orang
yang tepat. Bisa jadi orang yang tepat bukanlah orang yang kita cintai saat
itu, bahkan bisa juga bukan orang pilihan kita. Tapi yang pasti jodoh itu
adalah pilihan Allah buat kita” kata Rista menanggapi perkataan Yanti.
“Setuju” sahut Khairul, yang dari tadi sibuk menghabiskan es
buahnya.
“Idem” sahut Indira dan Alam.
“ Kalau seandainya sudah menikah tapi masih mengagumi orang
lain gimana ya Ri?” tanyaku.
Rista menatapku tajam, “Cinta yang seperti itu adalah cinta
yang salah. Cinta yang sudah tidak pada tempatnya. Seolah-olah kita telah kufur
terhadap nikmat yang Allah berikan yaitu pasangan hidup kita. Orang yang
bersedia mengikatkan diri dalam ikatan pernikahan dengan kita, itulah orang
yang sewajarnya menerima rasa kasih kita. Bisa jadi apa yang kita lihat diluar
lebih indah. Tapi apa yang menurut kita baik, belum tentu baik menurut Allah”
jawabnya.
“Tapi kita tidak bisa melupakan orang itu karena pernikahan
yang dijalani hanyalah sandiwara” kilahku.
“Pernikahan adalah mitsaqon ghalidhah, yaitu perjanjian
besar di hadapan Allah. Hal itu bukanlah suatu permainan. Memang ada beberapa
orang yang menikah karena ingin mendapat harta warisan. Hal itu membuat ikatan
pernikahan ternoda oleh niat yang tidak baik. Otomatis sakinah yang diharapkan
tidak juga muncul” jawabnya.
“Kalau kamu, apakah kamu mencintai suamimu?” tanyaku agak lancang,
tapi aku benar-benar ingin tahu apakah Rista telah melupakan semua kisah indah
yang klami rangkai belasan tahun lalu.
“Ya…lelaki sejati itu langsung melamarku, tanpa menawarkan
pacaran. Tentu saja aku menyukai orang yang mencintai karena Allah” jawabnya.
“Kamu wanita yang hebat Riri, bisa jadi lelaki itu segera
melamarmu karena tidak ingin meninggalkan sesuatu yang menarik menurutnya”
“Cinta itu tumbuh seiring pernikahan kami. Karena sebenarnya
ketika kami menetapkan tanggal pernikahan kami, kami sama sekali belum mengenal
satu sama lain. Hanya saja aku merasa nyaman di dekatnya, dan mungkin diapun
merasakan seperti itu”
“Ri, boleh aku tanya. Kamu pernah ngga suka sama aku?”
tanyaku.
Hening
===
Aku tahu ini salah. Sama seperti apa yang dikatakan Rista. Cinta
kepada orang lain tanpa suatu ikatan pernikahan adalah cinta yang salah. Namun hanya
satu hal yang ingin kukatakan dengan jujur bahwa aku masih mengagumi Rista,
menyayangi Rista hingga detik ini. Hingga belasan tahun telah berlalu