Aku…aku dan aku…selalu saja itu yang kau katakan. Aku
maunya ini aku maunya begitu. Jangan seperti ini, jangan seperti itu. Harus
begini, harus begitu. Entah sampai kapan ucapan-ucapan itu pergi dari hidupku.
Aku juga ingin kau beri pujian. Bukan makian, apalagi cercaan kesalahan. Memang
kesalahan terbesarku adalah satu, yaitu menikahimu. Menikahi wanita sepertimu
sepertinya tidak cukup hanya kesabaran, tapi juga kewarasan. Karena hampir tiap
jam, tiap menit, tiap detik dirimu mencaciku. Memukul telak diriku dengan
cemohan-cemohanmu.
Dua tahun yang lalu.
Seta, nama gadis ayu itu. Siapa yang tak tergoda dengan
wanita cantik dari keluarga berada itu. Bahkan kedua orangtuanya sering kali
menjodohkannya dengan pria mapan dan kaya raya. Namun entah mengapa Seta tetap
setia kepadaku. Awalnya aku bimbang, karena ibuku tidak merestui hubungan kami.
Menurut ibuku, Seta bukanlah calon istri yang baik untukku. Tapi semakin ibu
melarang, semakin besar juga keinginanku untuk mendapatkan Seta, apapun
konsekuensinya. Dan akhirnya aku benar-benar membawa Seta hadir dalam
kehidupanku. Aku menikahinya tanpa persetujuan ibuku dan juga kedua
orangtuanya. Seta kucuri, kuasingkan dari kehidupannya yang dulu serba mewah.
Kami bahagia. Ya, awalnya memang begitu bahagia. Layaknya
anak kecil yang disuruh mamanya tidur siang, tapi berhasil melarikan diri untuk
main laying-layang. Hatiku sangat bahagia, melayang-layang di udara, aku
memiliki istri yang cantik, aku memiliki wanita pujaan banyak pria.
Namun ada satu peristiwa yang membuat segala mimpi ini harus
berakhir. Ketika Seta menyadari dirinya terlalu banyak berubah. Gaunnya yang
dulu begitu mahal digantikan oleh daster yang mudah kusut serta robek. Istana
yang dulu ditinggalinya berubah menjadi gubuk yang hampir rubuh. Tangannya yang
halus kini berubah warna menjadi kehitaman karena menajdi buruh tani di sebuah
pedesaan. Belum lagi parfum wanginya yang mahal kini berubah menjadi kucuran
keringat yang mengalir deras tiap siang hari. Ah, apalah dayaku, diriku yang
belum lulus kuliah yang mencoba untuk hidup berumah tangga. Kini kuliahku
terhenti, akupun menjadi kuli panggul di pasar. Apapun kulakukan agar bisa
bertahan hidup. Sejujurnya aku ingin memanjakan bidadariku, namun apalah daya.
Aku hanya salah langkah. Aku tak bisa sedikit lebih bersabar untuk melanjutkan
kuliahku, bekerja di kantoran, lalu melamar Seta. Terlepas dari kedua
orangtuanya menerima atau menolak lamaranku, harusnya aku tak peduli.
Sekarang aku menyesal. Benar-benar menyesal. Ternyata
kehidupan pernikahan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ujian demi
ujian kami hadapi dengan teguh. Tapi akhirnya bidadariku terbangun dari mimpi buruknya. Memberontak dengan sekuat
tenaga. Melepaskan semua amarahnya kepadaku. Ya, kemana lagi kalau tidak
kepadaku. Hanya akulah penyebab semua mimpi buruknya ini. Hanya akulah yang
mengubah seorang bidadari menjadi upik abu. Hanya akulah yang salah seperti
semua ucapannya selama ini.
“Semua ini salahmu” ucapnya sesenggukan.
Aku ingin sekali memeluknya, menenangkannya, menghaus
airmatanya. Bidadariku yang tercantik. Bahkan tanpa berdandan pun menurutku dia
sangat cantik. Bahkan ketika kulitnya tak lagi putih seperti dulu menurutku
masih cantik.
Aku masih ingin bersamanya. Aku ingin bahagia bersamanya. Bersama
bidadariku tercinta. Tak peduli berapa makian dari mulutnya terucap. Aku masih
mencintainya, cinta yang sama saat pertama kali bertemu dengannya.
Tangannya mengayunkan sesuatu ke dadaku. Aku tahu, karena
aku waras. Tapi aku tak ingin menghindarinya. Aku tak ingin membuatnya bersedih
lagi. Aku tak ingin melihatnya menangis. Membiarkan semua ini terjadi karena
ternyata kesabaranku sudah mencapai puncaknya. Aku benar-benar bersabar atas
semua tindakannya. Dan kali ini mungkin terakhir kalinya.
“Seta, aku selalu mencintaimu, sampai kapanpun” ucapku lalu
menutup mata.
Entah Seta sudah sadar atau belum bahwa akulah sosok yang
terkena tusukan pisau darinya. Akulah suami yang selalu mencintainya. Akulah yang
dua tahun ini menjaga kesabaran dan kewarasan saat hidup dengannya. Akulah
cinta pertamanya.
Kudengar suara teriakan Seta, tapi akupun sudah lemah. Tak bisa
lagi membuka kedua mataku. Tak bisa lagi merangkul meredakan kesakitan yang
dideritanya. Mungkin Seta mau menyusulku. Ah, aku tahu, sebenarnya Seta juga
masih mencintaiku.
End….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar