Selasa, 05 Oktober 2010

Asa Dalam Cinta


Kali ini telah hilang dayaku. Aku tak memiliki lagi kekuatan itu. Aku menyerah. Aku tak berdaya untuk berjuang lagi. Ini terlampau menyakitkan. Aku terlalu tulus untuk mencintai. Dan semua itu kini tak berarti. Bahkan airmata yang selama ini menetes dari mataku seakan terbuang sia-sia.


Kali ini ketakutan menyergapku. Membawaku dalam keputusasaan. Perlahan kelam hitam menghantui perasaanku. Bagaimana aku bisa merasakan payah tak berkesudahan, padahal dulu aku terlampau ceria. Aku tak pernah berpikir akan menangis tersedu seperti ini. Aku tak pernah memnbayangkan aku terlampau terluka. Aku tak pernah menginginkan kesedihan ini mengiringi langkahku.


Aku terlalu cinta. Aku terlalu terluka. Aku terlalu kecewa. Aku memang keterlaluan, meletakkan harapan diantara keajaiban. Padahal hanya kasih Tuhan yang membuatku bertahan. Entah sekarang aku masih mampu untuk bertahan atau aku akan berlari.


Ya Rabb, kini aku serahkan semua hatiku. Karena aku tak ingin menodai cinta ini. Saat menulis ini mungkin airmataku tak berhenti mengalir, seperti aliran sungai yang bermuara. Aku takut, aku terlampau takut kehilangan cinta suci ini. Bukankah semua yang Kau ciptakan ini tiada yang tersia. Lalu mengapa hatiku masih merasakan duka ini. Tak bisakah hamba-Mu yang hina ini berucap syukur atas apa yang terjadi. Bukankah telah Engkau tuliskan yang terbaik untukku. Mengapa tiada kesabaran diri untuk menanti.
=====

Mentari bersinar cerah saat aku menghampiri ibu tua di pinggiran jalan. Wajah sayunya tampak begitu letih. Dengan senyum tulusku menghampirinya. Ini ritual yang biasa aku lakukan di akhir minggu. Aku yang tidak mempunyai sanak saudara di kota sebesar Jakarta ini sering merasa kesepian.


Jujur aku merindukan saat-saat manis di Surabaya. Tiap akhir minggu aku selalu disibukkan oleh jadwal mengajarku. Sebagai tentor les privat, aku sangat menikmati hari-hariku. Aku merasa kehadiranku sangat berarti. Aku mendapatkan semangat, aku sangat bahagia. Sebelum akhirnya aku harus meninggalkan Surabaya, untuk menikmati udara Jakarta. Aku meridukan saat-saat mereka memerlukanku, mengharapkan kehadiranku. Namun kali ini hidupku hanya seperti rutinitas. Aku berangkat kantor pagi hari dan pulang malam dengan kepayahan.


Aku merindukan bocah-bocah kecil yang kerap meramaikan rumahku. Aku yang mengajari mereka menyanyi, membaca iqro’, belajar membaca, dan belajar mewarnai. Aku yang sering mendengar celoteh lugu mereka. Aku yang menggendong mereka ketika mereka mengangis. Kini semua hanya menjadi kisah kenangan di hidupku. Sungguh, aku merindukan saat-saat indah tersebut.


”Makasih Neng” ucap ibu tua itu padaku.
Aku tersenyum pada ibu tua itu, entah mengapa hatiku sekarang sangat mudah tersentuh. Aku meneteskan airmata ketika ibu tua tersebut segera makan roti bungkus yang kuberikan. Aku tak bisa berbuat banyak dengan melihat banyaknya tunawisma dan tunakarya di negaraku. aku hanya bisa membuat mereka tersenyum sementara waktu, melupakan lapar perut mereka sejenak. Aku tak bisa berbuat banyak.


Aku terus berjalan menyusuri jalan muara angke. Aku sangat menikmati pasar tradisional dengan becek di mana-mana. Bagiku ini adalah pengalaman nan indah, mengingat saat ini sudah jarang ada pasar tradisional, semua telah disulap menjadi mall. Padahal di pasar muara angke ini aku bisa melihat kesederhanaan yang nyata. Aku melihat bocah-bocah kecil dengan keterbatasan penampilan mereka. Tak ada yang berlebihan layaknya orang-orang yang sering mengunjungi mall.


Aku bisa menemukan diriku di sini, di keterbatasan yang dimiliki banyak orang. Sekalipun mungkin banyak yang mengira hidupku sekarang dilimpahi kemewahan, karena pekerjaanku sekarang yang berstatus pegawai di perusahaan listrik negara. Namun aku masih trenyuh oleh kesederhanaan, karena memang sejak kecil aku hidup dalam kesederhanaan.


Saat menyusuri jalan muara angke, aku bisa merasakan tangis batinku yang masih belum reda. Sejak tadi malam aku menangis, aku mengadukan semua kebuncahan hatiku pada Sang Pemilik Hati. Bibirku mengkin menyunggingkan senyum namun hatiku terus menangis. Aku kerap menangis karena kesendirianku. Aku terlampau lelah untuk sendiri. Aku terlampau lemah untuk sepi.


Sesampai di blok kontrakanku ada seorang ibu-ibu sedang menyapu halaman rumahnya. Kaget juga diriku disapa olehnya. Jujur perasaan hatiku sangat kacau. Aku masih dirundung kesedihan.


”Pagi mbak....dari pasar ya?”
”Inggih Bu (Iya Bu)”
”Tinggal di mana mbak?”
”Blok C Bu”
”Oh ya? Kok aku gak pernah lihat mbak ya?”
”Menawi mboten nyambut damel kula mlampah-mlampah teng pasar Muara Angke kok Bu. Kula teng mriki sampun dangu, saking November taun kala wingi. (Tiap libur saya selalu jalan-jalan ke pasar muara angke kok Bu. Saya di sini sudah cukup lama, mulai November tahun kemarin)”
”Kerja di mana mbak?”
”Taksih magang Bu teng PLTU. Insya Allah saking September mangke kula sampun dados pegawai. (Masih magang Bu di PLTU. Insya Allah mulai September nanti statusnya sudah pegawai).”
”Oh ya? Wah hebat dong, aslinya mana mbak?”
”Saking Surabaya Bu (dari Surabaya Bu).”
”Kok bisa ngomong halus ya? Aku dari Surabaya juga loh mbak. Tapi aku gak bisa ngomong sehalus mbak. Malah tadi aku pikir mbak orang daerah tengahan”
”Oh mboten Bu, kula sakng Surabaya. Ibu Surabaya daerah pundi? (Oh nggak Bu saya dari Surabaya. Ibu Surabaya daerah mana?)”
”Ketintang. Mbak?”
”Kula celak kalian FK Unair (Saya daerah dekat FK Unair)”
”Mampir gih mbak ke rumahku”
”Niki inggih Bu griyanipun? (Ini ya Bu rumahnya?)” kulihat rumah minimalis warna orange.
”Iya. Lagi gak ada orang di rumah. Anak-anakku lagi kerja, Bapaknya lagi nyekar di kuningan”
”Putranipun pinten Bu? (Putranya berapa Bu?)”
”Harusnya tiga, laki semua. Putraku yang pertama lahir tahun 82 meninggal usia 5 bulan karena diare. Putraku yang kedua kelahiran 85 dia lulusan Elektro UI, yang ketiga kelahiran tahun 86 kuliah di Komputer LP3I. Sekarang sudah kerja di perusahaan swasta semua. Bapaknya pensiunan PLN”
”Sampun nikah Bu putranipun? (Sudah menikah Bu putrannya?)”
”Belum mbak biar mapan dulu, apalagi putraku yang terakhir itu kerjanya gak pernah netap. Sebentar ke Bandung, sebentar ke Yogya, pokoknya muter-muter terus.”


Aku jadi ingat diriku yang kerjanya juga jarang ngantor. Kantorku memang di Jakarta Utara, tapi aku lebih sering ke Bekasi Utara. Malahan hampir tiap bulan selama dua hari aku jalan, entah ke Cirata atau Paiton. Pokonya keliling Jawa-lah.


”Mboten napa-napa Bu, mumpung taksih enom.(Tidak apa-apa Bu, mumpung masih muda)”
”Iya mbak. Oh ya mbaknya ini kuliah jugakah?”
”Inggih Bu. Kula lulusan saking teknik mesin ITS (Iya Bu. Saya lulusan teknik mesin ITS)”
”ITS Surabaya? S1?”
“Inggih Bu...kula S1 nanging kelahiran kula taun 87 (Iya Bu….saya S1 tapi saya kelahiran 87)”
”Loh masih muda ya?”

Aku tersenyum manis menyembunyikan identitasku sebagai siswa Akselerasi saat SMA. Bahkan aku menyembunyikan kemudahanku masuk ITS tanpa tes.


”Ibu, kula pamit rumiyin nggih...(Ibu, saya pamit dulu ya...)”
”Oh ya mbak, lain kali mampir ya ke rumah. Masa’ sudah hampir setahun di sini aku baru lihat mbak”


Aku tersenyum. Kali ini hatiku berbunga sekaligus mirip. Ini tak ada ubahnya dengan kisahku saat kuliah dulu. Di mana ada keluarga yang sangat menyayangiku dan menginginkanku mendampingi anaknya, namun pada akhirnya aku harus bersedih melihat anaknya memilih menikah dengan pacarnya. Aku terluka dan sangat kecewa sekalipun aku belum cinta padanya. Aku hanya menginginkan kehangatan sambutan keluarganya padaku. Cara mereka memanjakanku seolah aku ini anak mereka. Apalagi mereka tidak memiliki anak perempuan.



Mengapa semua ini berpola namun aku tak mengerti sampai kapan pola ini akan berakhir. Aku sering menjumpai seperti ini. Berada diantara keluarga yang memiliki saudara lelaki semua. Aku tak bisa menebak pola selanjutnya. Aku tak mampu mengerti rahasia yang diselipkan indah oleh Penciptaku. Namun hati lemahku selalu memohon agar dimudahkan setiap langkah kakiku. Aku tak ingin terluka, aku tak mau kecewa. Namun aku juga tak ingin menyakiti siapapun, siapapun.
=====

Kulangkahkan kaki menuju kantor. Biasanya akan kujumpai macet pada jalanan menuju kantor. Jakarta tentunya tidak pernah terbebas dari kemacetan. Apalagi setelah weekend.


Kejadian hari Minggu kemarin tidak lagi menjadi beban dalam pikiranku. Tangisku dan pertemuanku dengan Ibu tua yang bercerita tentang anaknya, semua itu hanya menjadi kisah yang mungkin harus aku lupakan.


Kali ini lelaki itu melihatku. Aku tak bisa lagi tersenyum padanya. Mengapa ia masih juga tak mengerti aku mengharapkannya. Aku berharap ia menyadari kehadiranku. Namun hanya tatapan bukan sapaan yang aku dapatkan.


Aku masih ingat betul pertama aku mendengar namanya. Aku marah karena teman dekatku menawarkan aku padanya. Saat itu aku sama sekali tidak mengenalnya. Akhirnya kami bertemu saat presentasi hasil overhaul di kantorku. Aku ingat ia datang terlambat saat itu, tapi mimik mukanya tanpa ada perasaan bersalah. Aku heran, dan merasa aneh dengannya, bahkan aku tak suka. Namun setelah aku tahu bahwa lelaki yang terlambat datang itu bernama Armada amarahku berubah menjadi rasa penasaran.


Setelah itu aku kerap menjumpainya di kajian-kajian. Aku salut dengan semangatnya dalam belajar agama. Dan aku baru tahu kalau ia ikhwan. Yang aku tahu lelaki ini memiliki dua saudara laki-laki. Nah pola yang sama dengan lelaki-lelaki sebelumnya dimana dalam keluarganya semua saudaranya laki-laki.


Armada, lelaki yang tinggi berkulit putih dan sangat berbeda denganku. Kurasa kehidupannya sangat mewah, berbeda denganku yang sangat sederhana. Aku lahir dari keluarga yang sangat amat sederhana. Menjalani hidup dengan sangat sederhana. Mungkin inilah yang membuatku ingin mengerti tentangnya. Dan sampai saat ini Armada sering menjadi perhatianku. Aku semakin takut dengan perasaan hatiku. Aku takut terjatuh. Aku takut terluka.


”Ya Rabb, jangan jadikan hati ini jatuh pada cinta yang semu.” pikirku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar